KABARBURSA.COM - Pemilihan Presiden Amerika Serikat selalu menjadi sorotan dunia. Tidak terkecuali Indonesia. Sebagai kekuatan ekonomi terbesar global, kebijakan AS di bawah presiden terpilih, kerap memberi dampak besar pada ekonomi internasional. Indonesia yang bergantung pada perdagangan luar negeri dan aliran modal asing, tentu turut terimbas. Setiap perubahan kebijakan AS membawa pengaruh nyata bagi perekonomian Indonesia.
Jika presiden terpilih AS memiliki pandangan proteksionis, seperti pendekatan "America First" ala Trump, Indonesia perlu siap menghadapi potensi tarif lebih tinggi pada produk ekspornya. Sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, dan agrikultur—di mana ekspor Indonesia ke AS cukup dominan—akan sangat rentan terhadap kebijakan proteksionis ini. Kenaikan tarif akan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS dan berdampak pada industri yang berorientasi ekspor.
Sebaliknya, presiden pro-globalisasi kemungkinan akan membuka akses pasar yang lebih luas bagi produk Indonesia di AS, khususnya manufaktur dan tekstil. Dukungan terhadap perjanjian dagang, baik bilateral maupun multilateral, memberikan peluang bagi Indonesia untuk memperluas pasar di negara-negara mitra AS.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa neraca perdagangan Indonesia-AS, terbilang cukup besar. Pada bulan September 2024, Indonesia mencatat surplus perdagangan nonmigas terbesar dengan tiga negara, yaitu Amerika Serikat, India, dan Filipina. Amerika Serikat menjadi penyumbang surplus terbesar dengan nilai sebesar USD1,386 miliar, meskipun terjadi penurunan dari Agustus 2024 yang mencapai USD1,707 miliar. Surplus dengan India juga cukup signifikan, mencapai USD942,1 juta, sementara Filipina menyumbang surplus sebesar USD783,9 juta.
Di sisi lain, Tiongkok, Australia, dan Thailand merupakan tiga negara penyumbang defisit terbesar dalam neraca perdagangan nonmigas Indonesia pada bulan September 2024. Defisit terdalam terjadi dengan Tiongkok sebesar USD-630,7 juta, disusul Australia sebesar USD-369,4 juta, dan Thailand sebesar USD-317,9 juta.
Masih menurut data terbaru BPS, surplus perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat terutama didorong oleh ekspor mesin dan perlengkapan elektrik senilai USD277,8 juta, pakaian dan aksesoris rajutan senilai USD214,3 juta, serta alas kaki senilai USD213,2 juta. Sementara surplus dengan India didorong oleh ekspor bahan bakar mineral yang mencapai USD506,4 juta, lemak dan minyak hewani/nabati sebesar USD196,6 juta, dan besi serta baja senilai USD175,7 juta.
Dengan negara tetangga, Filipina, surplus didominasi oleh ekspor kendaraan dan bagiannya senilai USD285,4 juta, bahan bakar mineral sebesar USD238,3 juta, dan lemak serta minyak hewani/nabati senilai USD51,2 juta. Lihat infografis.
Maka dari itu, memahami dampak kebijakan presiden AS yang baru terhadap ekonomi Indonesia,sangatlah krusial. Pemerintahan Prabowo-Gibran mesti berhitung baik-baik dalam mengambil setiap langkah dan kebijakan di bidang ekonomi.
Dari FDI hingga Inflasi
Hasil Pilpres AS juga berpotensi memengaruhi minat investasi dari AS ke Indonesia. Kebijakan luar negeri yang stabil dan ramah investasi dari presiden terpilih, dapat meningkatkan aliran investasi asing langsung alias FDI (foreign direct investment) dan investasi portofolio ke Indonesia. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor manufaktur, infrastruktur, dan teknologi.
Namun, ketidakpastian akibat Pilpres AS berpotensi memicu volatilitas di pasar keuangan global. Saat ketidakpastian meningkat, investor cenderung beralih ke aset safe haven seperti emas atau obligasi AS, menyebabkan arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini dapat menekan nilai tukar Rupiah dan menimbulkan risiko inflasi dalam negeri.
Ketidakpastian politik di AS biasanya berdampak pada nilai tukar Dolar AS, yang kemudian memengaruhi Rupiah. Saat ketidakpastian meningkat, Dolar AS cenderung melemah, memberikan keuntungan jangka pendek bagi Rupiah. Namun, jika presiden AS terpilih menerapkan kebijakan moneter ketat, Dolar dapat kembali menguat, menekan Rupiah dan berdampak pada biaya impor, termasuk bahan baku dan energi.
Tekanan pada nilai tukar Rupiah ini bisa memicu inflasi, terutama jika harga barang impor seperti minyak mentah dan bahan baku industri naik. Dengan ketergantungan pada energi dan bahan baku impor, fluktuasi nilai tukar menjadi tantangan utama bagi Indonesia. Maka, kebijakan stabilisasi nilai tukar menjadi sangat penting untuk menghadapi ketidakpastian yang mungkin datang dari Pilpres AS.
Geopolitik dan Keamanan Asia-Pasifik
Kebijakan geopolitik presiden AS yang terpilih juga akan berdampak pada stabilitas di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Jika AS memperketat sikap terhadap Tiongkok, ketegangan di Laut China Selatan --pemerintah Indonesia menyebut wilayah yurisdiksinya di kawasan itu sebagai Laut Natuna Utara-- bisa meningkat, mengganggu jalur perdagangan dan mengurangi minat investasi di kawasan yang dianggap rentan konflik.
Selain itu, jika AS kembali berkomitmen pada perjanjian iklim global seperti Paris Agreement, hal ini membuka peluang investasi hijau di Indonesia. Kebijakan pro-lingkungan dapat mendorong proyek energi terbarukan dan konservasi lingkungan, memperkuat sektor energi terbarukan Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Sentimen pasar global sangat dipengaruhi oleh arah kebijakan presiden AS yang baru. Presiden yang pro-bisnis akan menyebarkan sentimen positif ke pasar keuangan global, menarik investasi ke negara berkembang seperti Indonesia. Sebaliknya, jika presiden terpilih cenderung proteksionis atau menimbulkan ketidakpastian, pertumbuhan ekonomi global bisa terhambat. Situasi ini berisiko bagi Indonesia yang bergantung pada perdagangan dan investasi internasional.
Dalam perdagangan bilateral, AS telah menjadi mitra dagang strategis Indonesia. Pada Agustus 2024, surplus perdagangan Indonesia mencapai USD2,9 miliar, menunjukkan potensi Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui perdagangan internasional. Jika presiden AS yang baru mendukung kebijakan perdagangan terbuka, Indonesia dapat mempertahankan, bahkan memperbesar, surplus ini.
Secara keseluruhan, pilpres AS membawa dampak kompleks bagi ekonomi Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu merespons dampak ini dengan kebijakan yang tepat di bidang perdagangan, investasi, nilai tukar, dan keamanan. Menghadapi ketidakpastian, diversifikasi pasar ekspor, penguatan daya saing industri, dan peningkatan cadangan devisa akan menjadi kunci menjaga stabilitas ekonomi.
Di tengah dinamika ini, Indonesia juga dapat memanfaatkan peluang investasi, terutama di sektor hijau dan energi terbarukan. Pilpres AS kali ini bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di Asia-Pasifik dan membangun ekonomi yang lebih berkelanjutan serta tangguh terhadap gejolak global.
Maka, langkah Presiden Prabowo Subianto bersama Tim Ekonomi Kabinet Merah Putih, yang akan menyambangi AS dan Tiongkok dalam kunjungan kerja luar negeri perdananya sebagai Presiden RI, semoga saja bisa mereduksi dampak negatif dari hasil pilpres AS. Siapapun yang akan memenangkan pemungutan suara di pilpres AS, 5 November 2024: Donald Trump, atau Kamala Harris. (*)
https://youtu.be/kxFkB4Z4TCs?si=fQ5Uft8MzQ3iWOEU