KABARBURSA.COM - Satu momentum menentukan keberlanjutan pembangunan nasional baru saja terlewati. Momen dimaksud adalah deadline penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) bagi seluruh Wajib Pajak orang pribadi. Dari pelaporan SPT (pribadi) tersebut, akan ketahuan seberapa besar potensi pendapatan pajak negara dari Wajib Pajak orang pribadi.
Kewajiban pelaporan SPT sendiri terdiri atas dua jenis. Yaitu, SPT orang pribadi yang masa tenggat pelaporannya Ahad, 31 Maret tengah malam tadi. Satu jenis lainnya adalah SPT badan usaha. Masa tenggat pelaporan SPT badan berselang sebulan dari SPT orang pribadi, yakni akhir (30) April 2024.
Bagi Wajib Pajak, SPT ini menjadi sarana untuk melaporkan secara mandiri sekaligus mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak selama satu tahun terakhir. Di samping, juga sebagai wadah untuk melaporkan objek pajak dan atau bukan objek pajak, serta harta dan kewajiban sesuai ketentuan UU Perpajakan.
Pelaporan SPT orang pribadi dan badan, sifatnya mandiri. Diharapkan lahir dan muncul dari kesadaran setiap Wajib Pajak atau warga negara yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kendati demikian, penyerahan SPT bisa dibilang sebagai kewajiban. Karena, Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan, bakal dikenakan sanksi administrasi bahkan hingga pidana, jika telat atau bahkan tidak melaporkannya secara benar dan tepat hingga batas waktu yang ditentukan.
Ketentuan mengenai sanksi administrasi bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan yang telat melaporkan SPT, diatur dalam UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Tepatnya pada pasal 7 ayat 1 UU KUP dengan sanksi berupa denda Rp100.000 bagi Wajib Pajak orang pribadi, dan Rp1 juta untuk Wajib Pajak badan.
Sementara untuk sanksi pidana, mengintai para Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak melaporkan SPT. Atau melaporkan SPT tidak secara benar dan tidak lengkap yang berimplikasi pada terjadinya kerugian negara.
Seperti diatur dalam pasal 39 ayat 1 UU KUP, Wajib Pajak yang mengabaikan pelaporan SPT atau melaporkan secara tidak benar diancam pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun. Yang bersangkutan juga bakal dijatuhi sanksi berupa denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
Ancaman sanksi administrasi dan atau bahkan pidana itu, sejauh ini boleh dibilang belum terlalu efektif. Terbukti, dari 19,273 juta Wajib Pajak yang teridentifikasi, hingga batas akhir pelaporan SPT orang pribadi tengah malam tadi, Kementerian Keuangan baru menerima SPT dari 12,603 juta Wajib Pajak saja. Angka itu memang mengalami peningkatan 4,46 persen dibandingkan tahun 2023 lalu. Namun, jelas masih jauh dari angka Wajib Pajak; 19,273 juta orang.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Dwi Astuti, tengah pekan lalu mengungkapkan bahwa target penerimaan pajak 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun. Kabar baiknya, walau hanya 12,603 juta Wajib Pajak saja yang melaporkan SPT-nya hingga deadline kemarin, pendapatan negara dari sektor pajak relatif bisa membuat senyum Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani merebak mekar.
Seperti disampaikan sendiri Sri Mulyani awal pekan lalu, realisasi penerimaan pajak pada tahun 2023 mencapai Rp1.869,2 triliun. Hal itu melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang sebesar Rp1.718,0 triliun. Bahasa lainnya, secara tahunan penerimaan pajak tumbuh 8,9 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp1.716,8 triliun.
Menkeu merinci, Rp203,92 triliun atau setara 19,18 persen dari target, bersumber dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) non migas. Selebihnya, Rp121,92 triliun atau 15,03 persen dari target, berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Sektor pendapatan lainnya bersumber dari realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya yang tercatat sebesar Rp2,56 triliun atau 6,79 persen dari target. Sementara realisasi penerimaan dari PPh migas tercatat Rp14,48 triliun atau setara dengan 18,95 persen dari target.
Sri Mulyani berdalih, penerimaan pajak sektor PPh migas mengalami tekanan akibat harga komoditas yang menurun sejak 2023. Akibatnya, kata dia, perusahaan meminta restitusi sehingga restitusi neto juga mengalami tekanan. Dampak lanjutannya, dan ini yang wajib diwaspadai, pertumbuhan pendapatan negara menjadi negatif 5,4 persen.
Lantas, akankah itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional? Atau sebaliknya, tetap tumbuh hingga 5,2 persen seperti pernah disampaikan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjito awal Maret lalu? Saat itu, Gubernur Bank Sentral tersebut juga meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi nasional tidak hanya akan terjadi tahun ini, tapi bahkan hingga tahun depan. “Kami menargetkan pertumbuhan sedikit di atas 5,2 persen pada tahun 2025, papar Perry seperti dikutip media ini pada Selasa, 5 Maret 2024.
Sepertinya, para pengambil kebijakan di sektor perpajakan, wajib melakukan berbagai terobosan. Selain untuk merangsang pertumbuhan dan kesadaran membayar pajak serta melaporkannya secara jujur dalam SPT, juga agar terjadi peningkatan jumlah Wajib Pajak. Hal itu dipandang penting dan sejalan dengan pernyataan Wakil Presiden Terpilih Gibran Raka Buming Raka dalam Debat Pilpres lalu.
Kala itu, Gibran menyampaikan dan menggunakan analogi kebun binatang. Menjawab pertanyaan paslon lainnya, Gibran mengatakan bahwa pihaknya akan mengakhiri tradisi berburu di kebun binatang jika memenangkan Pilpres 2024. Sebaliknya, putra sulung Presiden Joko Widodo itu ingin memperluas kebun binatangnya, alias memperbanyak Wajib Pajaknya. Ya, Gibran mengisyaratkan akan melakukan ekstensifikasi objek dan Wajib Pajak.
Meski Gibran dan pasangannya Prabowo Subianto, baru akan secara resmi melanjutkan kepemimpinan Jokowi pada Oktober mendatang, setidak-tidaknya arah kebijakan mereka sudah bisa dibaca dan diterjemahkan oleh Dirjen Pajak dan jajaran terkait di Kemenkeu. Sehingga, pendapatan negara dari sektor pajak dapat terus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Bukan bersikap masa bodoh dan berprinsip tiba masa tiba akal. Atau lebih konyol lagi, mengerat dan menggerogoti pendapatan negara dari pajak untuk memuaskan syahwat duniawi. (*)