KABARBURSA.COM - Gerakan "Indonesia Gelap" yang muncul belakangan bukan sekadar aksi simbolik. Gerakan itu merupakan cerminan dari ketidakpuasan publik terhadap situasi ekonomi dan tata kelolakeuangan negara yang semakin memburuk. Puncak kegemasan dan menjadi extra anomaliterhadap angan Indonesia Emas 2045 yang tanpa malu terus digaungkan.
Di tengah janji pertumbuhan ekonomi yang inklusif, realitas di lapangan justru menunjukkangejala sebaliknya. Kebocoran anggaran, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, dan skandal korupsi, justru semakin menggila. Setali tiga uang dengan utang luar negeri yang menggunung dan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan. Bangsaini seperti terperosok dalam krisis kepercayaan dan kebangkrutan moral ekonomi.
Skandal terbaru yang menyeret Pertamina kembali menegaskan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis, kerap menjadi ladang bancakan bagi elite yang rakus. Dugaankorupsi proyek Liquefied Natural Gas (LNG) yang nilainya mencapai miliaran dolar AS,bukan hanya merugikan keuangan negara. Tapi, juga mengancam stabilitas energi nasional. Kasus ini semakin memperlihatkan betapa sistem pengawasan di tubuh BUMN masih lemah. Bahkan di perusahaan sebesar Pertamina yang seharusnya menjadi tulang punggungketahanan energi bangsa.
Ironisnya, skandal ini mencuat di saat rakyat sedang berjibaku menghadapi kenaikan hargabahan bakar minyak (BBM) dan lonjakan biaya hidup. Transparansi yang dijanjikanpemerintah dalam pengelolaan BUMN tampaknya masih jauh panggang dari api. Alih-alihmenjadi alat pembangunan, banyak BUMN justru menjadi sarang praktik rente yang hanyamenguntungkan segelintir orang.
Di sisi lain, beban utang negara terus meningkat tanpa tanda-tanda pengelolaan yang lebihprudent. Hingga akhir 2024, utang pemerintah diperkirakan telah menembus lebih dariRp8.000 triliun. Meningkat drastis dalam satu dekade terakhir. Sayangnya, lonjakan utang initidak selalu dibarengi dengan produktivitas ekonomi yang memadai. Infrastruktur memangbertambah, tetapi industri manufaktur melemah, investasi asing cenderung stagnan, dan dayabeli masyarakat terus menurun.
Pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan tidak bisa menutupi fakta bahwaketimpangan semakin lebar. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, sementarasegelintir elite terus menumpuk kekayaan. Alih-alih memperkuat perekonomian dari dalam, pemerintah justru semakin bergantung pada investor asing dan utang luar negeri yang berisiko tinggi.
Harga kebutuhan pokok yang melambung menjadi bukti lain dari ketidakseimbangankebijakan ekonomi saat ini. Bukannya mengendalikan harga, pemerintah tampaknya hanyamengandalkan subsidi yang semakin membebani keuangan negara. Inflasi pangan menjadiancaman serius, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang semakin sulitmemenuhi kebutuhan dasar mereka.
Pemerintah perlu mengambil langkah lebih dari sekadar intervensi pasar sesaat lewat gerakanpasar murah. Tanpa strategi ketahanan pangan yang jelas, Indonesia akan terus bergantungpada impor yang semakin menekan neraca perdagangan. Pertumbuhan ekonomi yang sehattidak bisa hanya diukur dari angka-angka makro ekonomi, tetapi dari sejauh mana kebijakanmampu memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan rakyat.
Polemik Danantara dan PHK Massal
Di tengah krisis ekonomi yang melanda, pemerintah justru meluncurkan Danantara, sebuahlembaga pengelola investasi baru yang menuai kontroversi. Dengan skema mirip Indonesia Investment Authority (INA), kehadiran Danantara memicu pertanyaan besar tentang urgensidan efektivitasnya. Kritikus menilai bahwa bukannya menjadi solusi, Danantara justruberpotensi menambah beban fiskal dan menjadi alat bagi kepentingan elite tertentu. Jika tidakdikelola dengan transparansi dan pengawasan ketat, Danantara bisa berakhir seperti proyekinvestasi lain yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Di sisi lain, badai PHK melanda berbagai sektor industri. Perusahaan tekstil besar sepertiSritex dan sejumlah manufaktur lainnya, melakukan PHK massal akibat menurunnya dayabeli dan melemahnya industri nasional. Gelombang PHK ini menunjukkan bahwa narasipertumbuhan ekonomi yang positif tidak selalu mencerminkan realitas di lapangan. Ribuanpekerja kehilangan mata pencaharian tanpa ada jaminan pekerjaan baru dari pemerintah.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan kebijakan yang tidak mendukung industri padatkarya. Alih-alih memberikan stimulus kepada sektor manufaktur, pemerintah tampaknyalebih fokus pada proyek-proyek besar yang belum tentu berdampak langsung pada penciptaanlapangan kerja. Jika tren PHK ini terus berlanjut, maka tingkat pengangguran akan meningkatdan memperburuk ketimpangan sosial di Indonesia.
Indonesia memiliki segudang potensi, tetapi juga segudang tantangan. Korupsi yang mengakar, birokrasi yang lamban, dan ketimpangan ekonomi menjadi bayang-bayang gelapyang menghambat kemajuan. Retorika tentang Indonesia Emas 2045 sering digaungkan, tetapi tanpa langkah konkret dan reformasi radikal, itu hanya akan menjadi slogan kosong.
Transformasi menuju Indonesia Emas bukan sekadar pembangunan infrastruktur fisik, tetapipembangunan karakter bangsa. SDM unggul tidak lahir dari sistem pendidikan yang tertinggal, dan ekonomi maju tidak tumbuh dari kebijakan populis yang hanyamenguntungkan segelintir elite.
Jika pemerintah serius ingin menyulap kegelapan ini menjadi kejayaan, transparansi harusditegakkan, hukum harus ditegakkan tanpa tebang pilih, dan inovasi harus didorong tanpahambatan birokrasi. Jika tidak, "Indonesia Emas" hanya akan menjadi dongeng belaka, sementara realitas tetap berada dalam kegelapan.
Salah satu dampak paling berbahaya dari situasi ini adalah krisis kepercayaan publik terhadappemerintah dan institusi ekonomi. Masyarakat semakin skeptis terhadap janji-janji pemulihanekonomi yang kerap tidak terealisasi. Kejenuhan terhadap korupsi yang terus berulang, disertai dengan lemahnya penegakan hukum, membuat publik pesimistis bahwa perubahandapat terjadi dalam waktu dekat.
Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas, dampaknya bisa jauh lebih buruk. Kepercayaan investor akan semakin luntur, pelaku usaha semakin enggan berinvestasi, dan rakyat bisa kehilangan harapan terhadap institusi negara. Yang lebih mengkhawatirkan, ketidakpuasan ini bisa meledak menjadi gelombang ketidakstabilan sosial yang lebih luas.
Untuk keluar dari jerat krisis ini, pemerintah harus melakukan reformasi ekonomi yang nyata. Bukan sekadar jargon politik. Pengelolaan utang harus lebih disiplin dengan fokus pada proyek-proyek yang benar-benar produktif. Transparansi dan akuntabilitas BUMN harusdiperketat agar tidak lagi menjadi sapi perah bagi kepentingan tertentu.
Selain itu, pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama. Tanpa penegakan hukumyang tegas, praktik rente akan terus menggerogoti keuangan negara. Kasus korupsi di Pertamina harus menjadi momentum untuk membersihkan BUMN dari oknum-oknum yang merusak.
Gerakan "Indonesia Gelap" adalah tanda peringatan bagi penguasa. Jika ketidakpuasan initerus diabaikan, maka bukan hanya ekonomi yang terancam, tetapi juga stabilitas sosial dan politik bangsa ini. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan semakin gelap dan menggelap. Nah, agar Indonesia dapat segera bersinar kembali, sudah saatnya pemerintah membuktikan bahwamereka benar-benar berpihak pada rakyat. Bukan sekadar melayani kepentingan segelintirelite yang menikmati hasil dari ekonomi yang timpang ini. (*)