Logo
>

Ekspedisi Obi di Balik Purnama Bersaput Awan Tipis (2)

Investasi Harita, Kontroversi Lingkungan, dan Masa Depan Hijau?

Ditulis oleh Uslimin Usle
Ekspedisi Obi di Balik Purnama Bersaput Awan Tipis (2)
Tim KabarBursa.com tengah menyimak penjelasan dari Harita Nickel mengenai dry stack tailing facility di Pulau Obi, 11 Juli 2025. (Foto: Dok. KabarBursa)

KABARBURSA.COM – Dari balik senyap malam Kawasi yang tak lagi sunyi, mesin-mesin pabrik terus berderak seperti tak kenal lelah. Sejak menjejakkan kaki di tanah Obi, tim ekspedisi KabarBursa.com disuguhi perubahan yang nyaris tak terbayangkan: sebuah desa nelayan terpencil kini menjelma menjadi nadi industri nikel nasional. Tapi setiap kemajuan selalu menyisakan pertanyaan, tentang siapa yang diuntungkan, siapa yang tergeser, dan bagaimana alam menanggung semuanya. 

Maka pagi berikutnya, langit masih gelap ketika jam menunjuk angka 05.00 WIT. Suasana di lantai dasar Living Quarter (LQ) Blok 14, tempat tim ekspedisi KabarBursa.com menginap, masih senyap. Lorong panjang dan area lobi menyala terang, namun udara subuh masih dingin dan lengang. Di luar, samar-samar terdengar derap sepatu berat bergerak menjauh dari blok utama. Beberapa saat kemudian, suara mesin mobil pengangkut karyawan menggeram pelan, lalu menghilang ditelan jalanan tanah merah yang belum beraspal.

Begitulah ritme pagi di kawasan industri pertambangan milik Harita Group di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Tak ada waktu santai. Sejak dini hari, denyut aktivitas industri sudah terasa. Ini bukan sekadar rutinitas. Tapi, wajah baru kawasan yang dulunya sunyi dan kini menjelma menjadi salah satu episentrum nikel nasional.

Pulau Obi dan Harita Nickel: Aktivitas industri mulai berdenyut bahkan sebelum fajar. (Infografis: KabarBursa/Andrew Bernard)

 

Sudah lebih dari 15 tahun Harita Group berkiprah di Obi. Dimulai dari eksplorasi sumber daya, kini mereka menjadi salah satu perusahaan nikel terintegrasi terbesar di Indonesia. Harita tidak hanya membangun tambang, tetapi menciptakan ekosistem industri, dari hulu ke hilir, yang menjadi bagian penting dari rantai pasok global untuk kendaraan listrik dan baja tahan karat.

Tim KabarBursa.com yang menjelajahi situs tambang Harita selama empat hari, mulai 10 hingga 13 Juli 2025, menyaksikan langsung bagaimana kawasan terpencil ini berubah menjadi pusat industri strategis. Geliat mesin, lalu-lalang truk pengangkut ore, serta irama hidup karyawan di kawasan LQ, membentuk mozaik tentang masa depan Indonesia yang kini bertumpu pada nikel sebagai "emas baru".

Transformasi yang Tak Terelakkan

Tak jauh dari kompleks industri, tersimpan kisah tentang perubahan sosial. Kawasi Lama, sebuah permukiman kecil yang dulunya menjadi tempat tinggal masyarakat lokal, kini ditinggalkan. Kondisinya memprihatinkan: rumah-rumah reyot, jalan setapak tanah, dan minim fasilitas dasar. Kawasan ini tidak lagi ideal bagi kehidupan yang layak. Namun bukan karena eksploitasi tambang semata. Kawasi Lama memang telah lama mengalami ketertinggalan.

Harita menyadari, pertambangan tak boleh berjalan sendiri tanpa jejak sosial yang bertanggung jawab. Maka dibangunlah Kawasi Baru, permukiman yang lebih modern, dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan tempat ibadah yang layak. Ini bukan sekadar relokasi, tapi restrukturisasi sosial dan ruang hidup masyarakat lokal.

Namun rupanya, pindah dari kampung lama ke permukiman baru, bukanlah hal mudah. Tapi perubahan sering kali menuntut pengorbanan. Juga perlawanan. 

Di Kawasi Baru, warga mendapat rumah layak huni, listrik, air bersih, hingga akses pendidikan dan lapangan kerja. Harita mengklaim langkah ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap komunitas yang terdampak langsung oleh aktivitas industri mereka. 

Dalam pantauan tim, terdapat area perumahan dalam empat tipe (36, 54, 72, dan 108) di Kawasi Baru yang terbentang di atas lahan yang cukup luas. Di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang bangunan masih ada ruang tersisa yang bisa dimanfaatkan untuk pelebaran rumah atau bahkan tempat usaha. 

Tapi, tetap saja ada yang menolak direlokasi ke area baru. Informasi selentingan yang terendus Tim KabarBursa.com, itu bagian dari residu dan buah busuk dari intrik politik. Imbas dari pemilihan kepala desa Kawasi. 

Trimegah Bangun Persada atau Harita Nickel terus melakukan banyak transformasi meski dihadapkan kontroversi dan tantangan. (Infografis: KabarBursa/Andrew Bernard)

 

Hal ini pun sesuai dengan laporan perusahaan. Merujuk “Sustainability Reports 2024 Trimegah Bangun Persada”, Kawasi Baru kini memiliki fasilitas jalan yang lebih baik, penyediaan air bersih, dan akses yang lebih mudah menuju layanan dasar seperti sekolah dan pusat kesehatan. 

Corporate Affairs Harita Nickel Anie Rahmi dalam keterangannya kepada tim KabarBursa.com mengungkapkan fakta soal Kapasitas Water Treatment Plant (WTP) yang ada di belakang Salam Kawasi. 

“Namanya lebih tepat adalah Purification Plant (Unit Penjernihan Air) sesuai design mampu mengolah air sungai dengan flow 543 M3/Jam,” ujarnya.

Ia menambahkan, fasilitas tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai penyedia air bersih. “(Sumbernya berasal) dari Sungai Akelamo,” tutur Anie.

Harita telah membangun 259 unit rumah layak huni di Kawasi Baru sebagai bagian dari proyek Ecovillage untuk menyediakan tempat tinggal yang lebih layak bagi masyarakat yang sebelumnya tinggal di kondisi yang kurang memadai.

Mesin Besar Hilirisasi

Secara korporasi, Harita Group beroperasi di Pulau Obi melalui anak usaha PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) dan PT Halmahera Persada Lygend. Keduanya merupakan pemain utama dalam rantai produksi nikel, mulai dari Nickel Pig Iron (NPI), Nickel Matte, Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), hingga Nickel Sulfate. Produk-produk ini menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik (EV) dan baja tahan karat.

Berdasarkan public expose Harita Nickel pada 18 Juni 2025, volume penjualan total nikel dalam bentuk FeNi, MHP, dan NiSO₄ naik 93 persen secara tahunan.

Produksi dari fasilitas KPS, proyek RKEF ketiga perseroan, telah beroperasi penuh sejak Maret 2025 dan menjadi kontributor utama pertumbuhan penjualan. Total kapasitas produksi KPS mencapai 185.000 ton kandungan nikel per tahun dalam bentuk FeNi. Jalur pertama hingga keempat telah aktif seluruhnya sepanjang kuartal I tahun ini.

Tak hanya itu, Perseroan juga melaporkan kegiatan eksplorasi lanjutan di berbagai wilayah tambang seperti TBP Kawasi, GTS Loji, JMP Jikodolong, dan GTS. Dalam laporan bulanannya, NCKL menyatakan telah menyelesaikan pemboran lebih dari 317 titik selama periode April–Juni 2025, dengan hasil kandungan nikel limonit dan saprolit yang tetap berada di atas ambang ekonomi minimum (CoG 0,7 persen dan 1,3 persen).

Rencana tindak lanjut eksplorasi masih berlanjut, termasuk untuk anak usaha seperti PT Obi Anugerah Mineral dan PT Gane Tambang Sentosa, yang seluruhnya dilakukan dengan pendekatan geologi terintegrasi dan metoda XRF Spectrometry. 

Ini merupakan hasil positif lanjutan dari tahun sebelumnya, yang telah tercapai dengan baik. “Total kapasitas produksi pada 2024 mencapai 120.000 ton feronikel per tahun, 55.000 ton nikel dalam bentuk sulfat, dan 6.750 ton kobalt dalam bentuk sulfat,” ungkap manajemen Harita dalam keterangan resminya.

Pada tahun sebelumnya, 2023, perusahaan ini telah memproduksi lebih dari 100.000 ton nikel sulfat dan kobalt sulfat. Kapasitas smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang dioperasikan oleh Harita pun melonjak hingga 95.000 ton nikel per tahun. Ini menjadikan Obi sebagai salah satu sentra produksi nikel terbesar yang terintegrasi dengan proyek hilirisasi nasional.

Untuk mengantisipasi permintaan global terhadap nikel kelas I, khususnya untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik, Harita mempercepat ekspansi terintegrasi melalui dua anak usaha, PT Obi Nickel Cobalt (ONC) dan PT Karunia Permai Sentosa (KPS). ONC memulai produksi dari jalur pertama pada April 2024 dan mencapai kapasitas maksimal di bulan berikutnya. Jalur kedua dan ketiga menyusul masing-masing pada Juni dan Agustus, mengangkat kapasitas ONC menjadi 65.000 ton Ni per tahun dalam bentuk MHP.

Tahun 2024, Harita menargetkan produksi yang jauh lebih tinggi. Kini, memasuki 2025, target itu hampir seluruhnya terealisasi.

Sementara itu, KPS difokuskan untuk mengembangkan fasilitas RKEF berskala besar dengan kapasitas 185.000 ton Ni per tahun, ditopang oleh pembangkit listrik berdaya 1x380 MW. Proyek ini dirancang menjadi tulang punggung produksi feronikel jangka panjang. Gabungan dari kedua proyek ini membawa total kapasitas terpasang Harita menjadi 250.000 ton Ni per tahun di penghujung 2024, meningkat dari 160.000 ton pada akhir 2023.

Namun bukan hanya soal angka dan tonase. Di balik pencapaian itu, ada ribuan pekerja, tepatnya 22.000 orang, yang menjalankan operasi dari pagi hingga malam yang terbagi dalam beberapa shift kerja. Mayoritas di antaranya, manajemen Harita Group merilis angka 85 persen, adalah tenaga kerja dalam negeri. Dan dari angka itu, 45 persen di antaranya berasal dari Maluku Utara. Itu belum termasuk 8.000-an pekerja kontraktor. Peluang kerja ini jelas menjadi kontribusi ekonomi penting yang tak dapat dikesampingkan.

Hasilnya adalah, Trimegah Bangun Persada berhasil mempertahankan kinerja yang solid sepanjang tahun 2024 hingga kuartal I 2025. Anak usaha nikel dari Grup Harita ini mencatatkan pertumbuhan stabil baik dari sisi pendapatan maupun laba, serta dengan margin yang tetap terjaga.

Analis pasar modal dari Traderindo, Wahyu Laksono menyebut perusahaan yang dikenal dengan kode emiten NCKL ini memiliki posisi strategis di industri nikel nasional, dengan rantai bisnis yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Nikel sendiri merupakan salah satu bahan utama dalam produksi baterai kendaraan listrik, khususnya tipe NMC (nikel-mangan-kobalt), yang masih banyak digunakan oleh produsen EV besar dunia.

“NCKL punya posisi kuat karena mereka tidak hanya menambang tapi juga mengolah nikel jadi produk bernilai tinggi seperti MHP dan nikel sulfat. Ini relevan langsung dengan tren EV,” kata Wahyu kepada Kabarbursa.com, dikutip Selasa, 22 Juli 2025.

Sepanjang kuartal I tahun ini, NCKL membukukan pendapatan Rp7,13 triliun. Angka ini naik dari Rp6,59 triliun pada kuartal sebelumnya, dan tumbuh sekitar 18 persen jika dibandingkan dengan kuartal I tahun lalu. 

Laba bersih juga mengalami kenaikan signifikan menjadi Rp2,27 triliun dari Rp1,71 triliun di kuartal IV 2024. Dengan pertumbuhan nyaris dua kali lipat secara tahunan, kinerja ini menunjukkan bahwa strategi operasional perusahaan berjalan pada jalur yang tepat.

Salah satu indikator yang patut diperhatikan adalah laba kotor yang relatif tinggi. NCKL sempat membukukan laba kotor tertingginya di kuartal III 2024 sebesar Rp2,84 triliun, sebelum kembali ke Rp2,1 triliun di kuartal I tahun ini. 

Konsistensi pada level tersebut menjadi cerminan efisiensi dalam mengelola beban pokok penjualan, yang selama ini menjadi tantangan utama di industri berbasis sumber daya alam.

Dari sisi profitabilitas, kinerja NCKL juga tak mengecewakan. Return on equity (ROE) di kuartal I 2025 tercatat 5,08 persen, nyaris sama dengan kuartal sebelumnya. Return on assets (ROA) pun mengalami penguatan ke angka 3 persen, naik dari posisi 2 persen di awal 2024.

Stabilitas dua rasio ini memperlihatkan kemampuan perusahaan dalam memaksimalkan penggunaan aset dan modal untuk mencetak keuntungan.

Namun di sisi lain, pergerakan earnings per share (EPS) masih menunjukkan volatilitas. Setelah mencapai Rp32,22 per saham di kuartal III tahun lalu, EPS sempat turun menjadi Rp24,42 di kuartal IV, sebelum kembali menguat ke Rp26,26 di kuartal I 2025. 

“Kalau melihat valuasinya dan fundamentalnya, harga sekarang tergolong murah. Tapi tetap harus waspadai faktor global seperti harga nikel yang bisa fluktuatif,” ujar Wahyu.

Fluktuasi ini kemungkinan berkaitan erat dengan dinamika harga nikel dan strategi ekspansi perusahaan di sisi hilirisasi.

Harita Nickel di antara dilema industrialisasi dan narasi yang terus bergerak. (Infografis: KabarBursa/Andrew Bernard)

 

Jalan Terjal di Balik Produksi

Meski menjanjikan kemajuan, pertambangan di Obi tak lepas dari kritik. Aktivitas penambangan dan pembangunan smelter kerap dikaitkan dengan dampak lingkungan yang belum sepenuhnya tertanggulangi. Beberapa organisasi masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran tentang kualitas air, degradasi hutan, serta perubahan ekosistem laut akibat pembuangan limbah industri.

Kawasan pesisir yang dulu menjadi wilayah tangkapan nelayan, kini berubah fungsi menjadi jalur logistik dan pelabuhan industri. Meski Harita mengklaim telah mengadopsi teknologi pengolahan limbah ramah lingkungan serta standar tinggi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL, tetap saja kepercayaan publik tidak mudah dibangun kembali. 

Merujuk laporan perusahaan, produksi MHP menghasilkan emisi karbon sebesar 14,31 ton CO₂e per ton nikel, angka yang masih lebih rendah dari rata-rata global versi International Energy Agency. Harita mengupayakan pengurangan emisi melalui penggunaan tenaga surya sebesar 40 MWp dan pengurangan ketergantungan terhadap batu bara.

Masih sulitnya mengubah persepsi publik, itu juga disebabkan oleh fakta bahwa di awal beroperasi, tepatnya di kisaran 2010-2014, raport AMDAL Harita Nikel di pelupuk pegiat lingkungan, berwarna merah menyala. Tapi, itu hingga 2014, di saat Harita Nikel masih seumuran bayi di Obi. Kini, seiring bergulirnya waktu, segala kekurangan telah dibenahi secara berkelanjutan. 

Di sisi lain, muncul pula dinamika sosial terkait hubungan antara perusahaan dan komunitas lokal. Isu relokasi, partisipasi masyarakat adat, serta transparansi manfaat ekonomi dari tambang masih menjadi diskursus yang terus bergulir.

Namun Harita mencoba menjawab tantangan itu dengan sejumlah program corporate social responsibility (CSR). Mulai dari beasiswa pendidikan, pelatihan keterampilan, hingga dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal. Perusahaan juga membangun infrastruktur jalan dan dermaga yang tak hanya bermanfaat bagi operasional, tapi juga masyarakat umum.

Upaya rehabilitasi lingkungan mencakup penanaman 67.700 pohon mangrove, pembangunan 1.696 unit terumbu karang buatan, dan perlindungan kawasan laut seluas 232 hektare. Di darat, area reklamasi mencapai 229,37 hektare dari total 787 hektare lahan tambang aktif. Sistem pengelolaan tailing kering (Dry Stack Tailing) diadopsi untuk meminimalkan dampak jangka panjang.

Seluruh fasilitas operasional dilengkapi sistem pengelolaan limbah, termasuk kolam sedimentasi dan instalasi pengolahan air. ONC dan HPL telah menerapkan sistem tersebut secara menyeluruh.

Mereka juga melakukan reklamasi lahan seluas 229,37 ha pada tahun 2023, serta memanfaatkan 52 sediment ponds untuk pengelolaan air yang lebih efisien.

“Kami berkomitmen untuk memperhatikan dampak konservasi bersih dalam jangka waktu 20 tahun, dengan menjaga minimal 30 persen ruang hijau, termasuk program kelautan seperti pelestarian dan pemulihan ekosistem mangrove dan daerah aliran sungai,” jelas manajemen seperti dikutip dari laporan perusahaan.

Selain itu, dalam laporan terbaru, Harita telah mengembangkan lebih dari 700 lapangan kerja melalui program UMKM di Pulau Obi. Program ini bertujuan untuk memberikan masyarakat setempat keterampilan baru yang dapat membuka peluang lapangan kerja. 

Dengan dukungan dari Harita, banyak kelompok usaha lokal di Kawasi Baru kini mampu meningkatkan penghasilan mereka dan menambah keberlanjutan ekonomi mereka. Omzet dari produk-produk UMKM binaan Harita telah mencapai lebih dari Rp500 juta per tahun, yang menunjukkan bagaimana perusahaan ini turut memberikan kontribusi besar bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Harita juga sangat aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat setempat. Dalam rangka pemberian layanan medis, Harita menyelenggarakan posyandu dan puskesmas di 9 desa, memberikan layanan medis gratis kepada lebih dari 1.400 pasien, serta memberikan paket makanan tambahan untuk ibu hamil dan anak-anak yang mengalami gizi buruk.

Harita juga melakukan penyuluhan kesehatan dengan fokus pada stunting, wasting, dan imunisasi untuk meningkatkan kualitas kesehatan di kawasan sekitar.

Industri Strategis, Dilema Berkelanjutan

Pulau Obi bukan sekadar tapak pertambangan. Ia telah menjadi medan uji bagi masa depan industri Indonesia: mampukah negara ini menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial?

Mantan Presiden Joko Widodo semasa berkuasa, dalam berbagai kesempatan menegaskan pentingnya hilirisasi tambang sebagai jalan menuju kemandirian ekonomi. Dan Harita di Pulau Obi menjadi salah satu contoh paling konkret dari implementasi gagasan itu. Tapi seperti kata pepatah, "setiap kemajuan membawa konsekuensinya sendiri."

Sampel feronikel yang dilihat tim KabarBursa.com dalam kunjungan ke situs tambang Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara, Jumat, 11 Juli 2025. (Foto: Dok. KabarBursa)

 

Kini, ketika mobil listrik menjadi simbol masa depan global, Harita dan Pulau Obi berdiri di pusat panggung itu. Namun masyarakat dan lingkungan sekitar juga layak mendapat peran utama, bukan sekadar penonton dalam pertunjukan besar industri.

Narasi yang Belum Usai

Hari berganti malam, dan kembali pagi menjelang di Kawasi. Debu tipis dari truk ore kembali beterbangan di jalanan merah. Para pekerja kembali ke jalurnya masing-masing, dalam sebuah sistem yang berjalan nyaris tanpa henti.

Dalam ritme yang nyaris tanpa jeda itu, Harita tidak hanya menambang nikel. Mereka tengah menambang harapan. Harapan bahwa dari tanah timur Indonesia, akan lahir energi baru untuk dunia. Tapi harapan itu juga menyimpan tanggung jawab besar: bahwa di balik gemerlap logam hijau, ada manusia, alam, dan sejarah yang tak boleh dilupakan.

Pertanyaannya, beranikah manajemen Harita Group, sang dirijen tambang terpadu di Pulau Obi, untuk mengambil dan mengemban tanggung jawab maha berat itu? Karena sesungguhnya, tanpa restu siapapun, masa depan Obi akan terus ditulis di bawah langit purnama bersaput awan tipis. Seperti apa dan bagaimana? Ikuti lanjutannya di KabarBursa.com. (*/Bersambung)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Uslimin Usle

Jurnalis jenjang utama (November 2012) dan penguji nasional pada Aliansi Jurnalistik Independen sejak 2013. 
Aktif sebagai jurnalis pertama kali pada Desember 1993 di koran kampus PROFESI IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). 
Bergabung sebagai reporter Majalah Dwi Mingguan WARTA SULSEL pada 1996-1997. Hijrah ke majalah DUNIA PENDIDIKAN (1997-1998) dan Tabloid PANCASILA (1998), lalu bergabung ke Harian Fajar sebagai reporter pada Maret 1999. 
Di grup media yang tergabung Jawa Pos Grup, meniti karier secara lengkap dan berjenjang (reporter-redaktur-koordinator liputan-redaktur pelaksana-wakil pemimpin redaksi hingga posisi terakhir sebagai Pemimpin Redaksi  pada Januari 2015 hingga Agustus 2016).
Selepas dari Fajar Grup, bergabung ke Kabar Grup Indonesia sebagai Direktur Pemberitaan pada November 2017-Mei 2018, dan Juni 2023 hingga sekarang, merangkap sebagai Pemimpin Redaksi KabarBursa.Com (Januari 2024) dan KabarMakassar.Com (Juni 2023). (*)