KABARBURSA.COM -- Bank Syariah Indonesia (BSI) tengah menghadapi gejolak. Muhammadiyah, sebagai salah satu pendukung dana utama BSI, memutuskan untuk memindahkan Rp13 triliun dananya dari bank hasil merger Bank BRI Syariah, Bank Mandiri Syariah, dan BNI Syariah tersebut. Keputusan ini diambil karena praktik BSI dianggap tidak lagi sejalan dengan prinsip Muhammadiyah. BSI dinilai ingkar dan tidak komitmen.
Langkah untuk menarik sebagian besar dana dari BSI bermula dari pertemuan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di Yogyakarta pada 26 Mei 2024. Pertemuan tersebut membahas konsolidasi keuangan, yang kemudian diresmikan dalam Memo Yogya terkait Konsolidasi Dana PP Muhammadiyah pada 30 Mei 2024.
Memo bernomor 320/I.0/A/2024 ini ditandatangani oleh Ketua PP Muhammadiyah, Agung Danarto, dan Sekretarisnya, Muhammad Sayuti. Memo ini ditujukan kepada Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, Majelis Pembinaan Kesehatan Umum PP Muhammadiyah, pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah, pimpinan Rumah Sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah, serta pimpinan Badan Usaha Milik Muhammadiyah.
Isi Memo Yogya
Organisasi keagamaan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta ini meminta rasionalisasi dana simpanan dan pembiayaan dari BSI yang diperkirakan mencapai Rp15 triliun. Hasil rasionalisasi ini akan dialihkan ke bank syariah lain seperti Muamalat, Bank Syariah Bukopin, Mega Syariah, bank syariah daerah, serta bank lain yang selama ini bekerja sama dengan Muhammadiyah.
Dalam penjelasan resminya pada Kamis, 6 Juni 2024, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, Bisnis, dan Industri Halal, Anwar Abbas, menjelaskan bahwa keputusan ini bertujuan untuk menciptakan iklim kompetisi yang sehat di kalangan perbankan syariah. Menurutnya, penempatan dana Muhammadiyah yang terlalu banyak di BSI dapat menimbulkan risiko konsentrasi.
Anwar Abbas juga menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak bisa berdiam diri melihat persaingan tidak sehat di dunia perbankan syariah yang didominasi oleh BSI, terutama ketika berhubungan dengan Muhammadiyah. Akibat konsentrasi dana yang menumpuk di BSI, bank-bank syariah lain tidak dapat berkompetisi dengan margin yang ditawarkan oleh BSI. Jika hal ini berlanjut, maka persaingan di antara perbankan syariah akan tidak sehat.
Respons BSI dan DPR RI
Terungkapnya Memo Yogya ke publik langsung direspons oleh BSI. Corporate Secretary BSI, Wisnu Sunandar, menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk melayani dan mengembangkan ekonomi umat, termasuk melalui kolaborasi dengan mitra strategis dan seluruh stakeholder, terutama dalam pengembangan UMKM. BSI terus berupaya menjadi bank modern dan inklusif dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip syariah.
Anggota Komisi XI DPR RI, Junaidi Auly, mengingatkan bahwa rencana penarikan dana belasan triliun milik Muhammadiyah di BSI harus dipertimbangkan dengan baik karena berpotensi merugikan perseroan di tengah euforia lahirnya BSI. Junaidi juga meminta BSI segera melakukan konsolidasi dengan PP Muhammadiyah untuk mencari titik temu terkait tudingan tidak komitmennya BSI dalam mengalokasikan dana untuk pembiayaan UMKM.
Aset Muhammadiyah
Hingga awal 2024, aset Muhammadiyah mencapai Rp320 triliun. Aset-aset ini mencakup perguruan tinggi, rumah sakit, sekolah, serta aset tanah yang mencapai 214.742.677 meter persegi. Muhammadiyah memiliki 7.651 sekolah dan madrasah, 174 universitas dan sekolah tinggi, 457 rumah sakit dan klinik, 318 panti asuhan, 54 panti jompo, dan 82 pusat rehabilitasi cacat. Di bidang ibadah, terdapat 11.198 unit masjid dan musalah.
Konsentrasi Bank Syariah di Indonesia
Sebelum BSI terbentuk pada 1 Februari 2021, pasar perbankan syariah di Indonesia sudah menunjukkan tingkat konsentrasi yang signifikan. Berdasarkan Herfindahl-Hirschman Index (HHI), nilai HHI sebelum BSI berkisar antara 906-950. Setelah merger, nilai HHI melonjak hampir dua kali lipat menjadi 1.850, menunjukkan pasar yang sangat terkonsentrasi pada beberapa pemain besar. Indeks HHI digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi pasar dalam suatu industri; nilai lebih tinggi menunjukkan konsentrasi lebih besar.
Diversifikasi dana oleh Muhammadiyah bukanlah klaim tanpa dasar. Diversifikasi ini merupakan langkah bijaksana dalam manajemen risiko dan mendukung perkembangan ekosistem perbankan syariah di Indonesia. Meskipun ada tantangan potensial yang harus dihadapi, langkah ini diharapkan dapat membawa manfaat jangka panjang bagi stabilitas dan pertumbuhan sektor perbankan syariah di Indonesia.
Potensi Dampak Negatif
Keputusan Muhammadiyah untuk menarik Rp13 triliun dari BSI tetap memiliki dampak bagi BSI. Tekanan likuiditas dalam jangka pendek tidak akan terhindarkan, dan pengurangan signifikan dalam volume dana yang dikelola dapat memengaruhi kemampuan BSI untuk menawarkan margin kompetitif.
Di sisi lain, bank syariah lain harus siap menyerap dan mengelola dana yang dialihkan. Peningkatan tiba-tiba dana yang ditempatkan bisa menyebabkan tantangan operasional dan manajemen risiko baru.
Ada Motif Lain?
Apakah penarikan dana Muhammadiyah dari BSI murni pertimbangan bisnis? Informasi yang diperoleh KabarBursa.Com menunjukkan bahwa Muhammadiyah pernah diminta oleh BSI untuk mengusulkan nama dari internal mereka untuk jabatan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Komisaris BSI. Muhammadiyah mengusulkan Jaih Mubarak sebagai calon DPS dan Abdul Mu'ti sebagai calon Komisaris, namun usulan ini tidak diakomodir BSI.
Melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 17 Mei 2024, BSI memilih Felicitas Talulembang sebagai Komisaris, menggusur Abdul Mu'ti yang diusulkan Muhammadiyah. Meski usulan Muhammadiyah tidak diterima, sejumlah tokoh Muhammadiyah telah menempati posisi strategis di bank syariah lain, seperti Abdul Mu'ti sebagai Komisaris Independen di Bukopin Syariah dan Anwar Abbas sebagai DPS di Bank Mega Syariah.
Sejarah BSI
BSI berdiri pada 1 Februari 2021, diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo sebagai bank syariah terbesar di Indonesia. BSI merupakan hasil merger antara PT Bank BRI Syariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri Tbk, dan PT Bank BNI Syariah Tbk. OJK mengeluarkan izin merger ini pada 27 Januari 2021 melalui surat nomor SR-3/PB.1/2021.
Komposisi pemegang saham BSI terdiri atas PT Bank Mandiri Tbk dengan 50,83 persen, PT Bank Negara Indonesia sebesar 24,85 persen, PT Bank Rakyat Indonesia sebanyak 17,25 persen, dan sisanya dimiliki oleh pemegang saham di bawah 5 persen. Penggabungan ini bertujuan untuk menyediakan layanan yang lebih lengkap, jangkauan lebih luas, serta kapasitas permodalan yang lebih kuat, didukung sinergi dengan perusahaan dan komitmen pemerintah melalui Kementerian BUMN agar mampu bersaing di tingkat global.
Keberadaan BSI menjadi cermin wajah perbankan syariah di Indonesia yang modern, universal, dan membawa manfaat bagi segenap alam. Potensi BSI untuk terus berkembang dan menjadi bagian dari kelompok bank syariah terkemuka di tingkat global sangat besar.
Dalam perjalanannya, BSI menargetkan memberikan akses solusi keuangan syariah di Indonesia dengan melayani minimal 20 juta nasabah dan menjadi top 5 bank berdasarkan aset di atas Rp500 triliun dan nilai buku Rp50 triliun pada tahun 2025. BSI juga bercita-cita menjadi bank besar yang memberikan nilai terbaik bagi para pemegang saham, menjadi top 5 bank paling profitable di Indonesia dengan ROE 18 persen dan valuasi kuat PB di bawah 2.
Kinerja BSI
BSI mencatatkan kinerja positif sepanjang 2023 dengan pertumbuhan tahunan sebesar 33,8 persen. Juga mencapai laba bersih Rp5,7 triliun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp4,26 triliun. Peningkatan laba ini sejalan dengan pertumbuhan pendapatan syariah bersih yang naik 3,88 persen menjadi Rp16,17 triliun. Pendapatan berbasis komisi BSI juga meningkat 12,1 persen secara tahunan menjadi Rp4,16 triliun.
Meski demikian, net margin anak usaha sedikit terkoreksi dari 6,31 persen pada 2022 menjadi 5,82 persen pada 2023. Dari sisi fungsi intermediasi, pembiayaan yang disalurkan BSI naik 15,7 persen secara tahunan dengan total pembiayaan mencapai Rp240,32 triliun.
BSI memperkuat posisinya sebagai bank syariah dengan aset terbesar, mencapai Rp353,62 triliun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp305,73 triliun. Dana Pihak Ketiga BSI juga meningkat 12,3 persen secara tahunan menjadi Rp293,77 triliun.
Kapitalisasi pasar BSI mencapai Rp100 triliun, mendongkrak BRIS ke posisi 11 dari sebelumnya peringkat 13 di perbankan syariah global pada penutupan perdagangan bursa Selasa, 30 Januari 2024.
Kinerja Perbankan Syariah Lainnya
Kinerja perbankan syariah di Indonesia selain BSI, secara umum menunjukkan tren positif. Sepanjang 2023 sejumlah bank syariah lain mencatatkan pertumbuhan signifikan meskipun menghadapi tantangan ekonomi global yang tidak menentu.
BTN Syariah, misalnya, mencatatkan peningkatan laba bersih sebesar 17,4 persen menjadi Rp37,1 triliun. Sementara penghimpunan DPK tumbuh 20,7 persen menjadi Rp41,8 triliun. Pertumbuhan ini berkontribusi pada peningkatan aset BTN Syariah sebesar 19,79 persen menjadi Rp54,3 triliun di tahun yang sama.
Maybank Indonesia Syariah juga menunjukkan kinerja impresif dengan pertumbuhan laba sebelum pajak sebesar 66,8 persen menjadi Rp504 miliar. Pembiayaan yang disalurkan meningkat 14,4 persen menjadi Rp30,24 triliun, didukung oleh sektor UKM, Corporate Banking, dan Green Financing. DPK Maybank Indonesia Syariah tumbuh 16,7 persen menjadi Rp35,07 triliun.
BCA Syariah menutup 2023 dengan laba bersih Rp153,8 miliar. Itu meningkat 30,8 persen yoy dari tahun sebelumnya. Pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp9 triliun, naik 18,8 persen yoy. Kinerja ini menunjukkan peningkatan yang konsisten dalam berbagai aspek bisnisnya.
Bank Muamalat Indonesia juga berhasil mencatat laba bersih sebesar Rp52,36 miliar hingga kuartal III/2023. Angka itu meningkat 65,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Total asset Muamalat mencapai Rp60 triliun, terbesar dalam sejarah bank syariah pertama di Indonesia ini. Pertumbuhan DPK Rp48,1 triliun dengan kenaikan dana murah atau CASA sebesar 2,7 persen. Rasio kecukupan modal (CAR) berada di level 28,67 persen, jauh di atas ketentuan regulator. Rasio Non-Performing Financing (NPF) net juga menurun menjadi 0,43 persen.
Bank Mega Syariah mencatatkan laba bersih sebesar Rp450,67 miliar sepanjang tahun 2022, tumbuh signifikan dibandingkan Rp375,34 miliar pada tahun 2021. Total aset bank ini juga meningkat menjadi Rp20,5 triliun pada tahun 2022 dari Rp17,9 triliun di tahun sebelumnya. Selain itu, DPK Bank Mega Syariah mencapai Rp15,5 triliun, dengan pembiayaan yang disalurkan sebesar Rp12,1 triliun.
Bank Bukopin Syariah mencatat total aset sebesar Rp10 triliun pada akhir 2022, dengan pertumbuhan DPK sebesar Rp8 triliun. Pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp6,5 triliun. Bank ini juga terus meningkatkan kualitas pembiayaannya dengan menjaga rasio NPF di level yang sehat, serta memperkuat modalnya dengan CAR di atas 18 persen. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.