Logo
>

Penyimpangan Legal atau Strategi Jitu?

Ditulis oleh Uslimin Usle
Penyimpangan Legal atau Strategi Jitu?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Bak petir di siang bolong, kritik tajam dilontarkan Mohammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR RI pekan lalu. “Saya, terus terang, paling penasaran. Mulai kapan masuk dana desa di dalam anggaran pendidikan? Mulai kapan? Dan isinya apa?” tanya Nuh dengan lantang, 2 Juli 2024.

    Sebagai mantan Menteri yang berpengalaman, Nuh mengerti betul ada yang tidak beres dalam pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Tidak mengherankan jika sekelas Nuh merasa gusar, melihat dana pendidikan dialihkan ke anggaran desa melalui mekanisme transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Ini bukan sekadar masalah administrasi, tetapi menyangkut esensi dan tujuan anggaran pendidikan itu sendiri.

    Dana Pendidikan Mengalir ke Desa

    Saat ini, setidaknya Rp346,5 triliun dana pendidikan tersalur ke anggaran desa. Setara 52 persen dari total anggaran pendidikan dalam APBN 2024 yang mencapai Rp665 triliun. Pemerintah menyatakan, ada enam arah kebijakan utama sektor pendidikan nasional tahun ini, termasuk peningkatan akses pendidikan dan penguatan kualitas layanan PAUD.

    Namun, Nuh tidak bisa menerima kebijakan tersebut begitu saja. Pengalaman penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2011 menunjukkan banyak pemerintah daerah yang menahan dan mengalihkan dana tersebut, berujung pada banyaknya pejabat daerah yang terjerat kasus hukum. Maka, saat pemerintah mengalirkan dana pendidikan dalam APBN ke daerah melalui anggaran desa, dia menjadi gusar dan tidak bisa diam. “Urusi apa di pendidikan itu (lurah/kepala desa)?” cecar Nuh yang juga dikenal sebagai mantan Rektor Institut Teknologi Surabaya.

    Klarifikasi dari Menko PMK

    Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menjelaskan alasan dana desa masuk dalam anggaran pendidikan. Pemerintah memiliki program wajib PAUD di setiap desa. Meskipun ada belasan ribu desa yang belum memiliki PAUD, program ini dibiayai melalui TKDD dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) PAUD.

    “Sekarang ini, pemerintah sedang punya program tidak boleh ada desa yang tidak ada PAUD. Jadi semua desa harus ada PAUD. Walaupun tahun lalu saya cek masih ada 15.000 desa yang tidak ada PAUD, tetapi setelah ditelusuri sudah ada TK swasta,” katanya.

    Muhadjir yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan mengakui alasan masuknya dana desa di anggaran pendidikan lantaran pembangunan fisik atau ruang kelas PAUD didanai melalui TKDD. Selain itu, dana desa yang berasal dari anggaran pendidikan juga digunakan untuk Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) PAUD. “Ada BOP PAUD dan ini Komisi X DPR yang inisiasi itu. (Realisasi anggaran) kalau enggak salah sudah sekitar Rp6 triliun BOP PAUD,” ucapnya.

    Muhadjir juga menyampaikan pemerintah meningkatkan program 10 tahun, dengan kewajiban bagi anak-anak usia 5-6 tahun untuk masuk pendidikan PAUD. Dengan demikian, kata dia, alokasi anggaran pendidikan melalui dana desa memang untuk operasional program PAUD.

    “Jadi itu pimpinan (Komisi X DPR) dari untuk fisik itu melalui Dana Desa. Kemudian untuk operasional, ada BOP PAUD yang langsung didrop melalui DAK. Ini untuk klarifikasi,” kata Muhadjir.

    Amanat Konstitusi

    Besaran anggaran pendidikan Indonesia diatur dalam Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945 dan Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang mengamanatkan alokasi minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa ketentuan minimal 20 persen anggaran pendidikan termasuk untuk gaji pendidik.

    Namun, hingga kini, kondisi infrastruktur pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan sangat mencolok, dengan banyak sekolah di daerah terpencil yang bangunannya rusak dan tidak layak pakai. Meskipun anggaran pendidikan terus meningkat, masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi. Pengalokasian dana yang tepat dan efisien menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.

    Kondisi Infrastruktur Pendidikan

    Infrastruktur pendidikan mencakup bangunan sekolah, laboratorium, perpustakaan, dan akses teknologi informasi. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, fasilitas pendidikan lebih lengkap dan modern. Namun, di banyak daerah terpencil, kondisi bangunan sekolah sering kali kurang memadai, bahkan akses internet dan listrik pun masih menjadi masalah. Beberapa waktu lalu di Sinjai, Sulawesi Selatan, ada anak sekolah yang harus meregang nyawa karena terjatuh dari atas pohon saat mencari sinyal untuk menyelesaikan modul pembelajaran.

    Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan infrastruktur pendidikan, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan program digitalisasi sekolah. Selain itu, perusahaan swasta dan organisasi non-pemerintah turut serta dalam memberikan donasi fasilitas pendidikan, pelatihan untuk guru, dan program beasiswa.

    Keterbatasan anggaran masih menjadi tantangan utama. Meskipun anggaran pendidikan terus meningkat, masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi. Pengalokasian dana yang tepat dan efisien menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.

    Strategi atau Penyimpangan?

    Polemik pengalihan dana pendidikan ke anggaran desa ini memicu berbagai reaksi. Apakah ini merupakan langkah strategis atau justru membuka celah penyimpangan yang bisa berujung pada menjauhnya target Indonesia Emas? Yang pasti, kualitas pendidikan di Indonesia masih perlu perhatian serius agar cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.

    Kritik yang dilontarkan Mohammad Nuh bukan tanpa dasar. Pengalaman dan pengamatannya selama menjabat sebagai Menteri Pendidikan memberikan perspektif yang jelas tentang potensi penyimpangan dana pendidikan. Di sisi lain, klarifikasi dari Menko PMK Muhadjir Effendy menunjukkan adanya niat baik pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur pendidikan di tingkat desa, khususnya PAUD.

    Namun, langkah ini perlu diawasi dengan ketat untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar digunakan sesuai dengan peruntukannya. Pengawasan yang efektif dari berbagai pihak, termasuk DPR, LSM, dan masyarakat, sangat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan dana.

    Sistem pengawasan yang kuat dan transparan harus menjadi prioritas. Setiap alokasi dan penggunaan dana harus bisa dipertanggungjawabkan. Ini bukan hanya tentang angka-angka di atas kertas, tetapi tentang masa depan generasi muda Indonesia.

    Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan solusi jangka panjang untuk mengatasi ketimpangan infrastruktur pendidikan. Kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan harus diimplementasikan agar seluruh anak Indonesia, baik di kota maupun di desa, dapat menikmati pendidikan yang layak dan berkualitas.

    Pengalokasian dana pendidikan yang tepat dan efisien, dengan pengawasan yang ketat, akan menjadi kunci untuk mencapai tujuan ini. Perlu ada sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta keterlibatan aktif dari semua pemangku kepentingan.

    Tidak kalah penting, masyarakat juga harus diberdayakan untuk ikut serta dalam mengawasi dan memastikan bahwa dana pendidikan digunakan sesuai dengan peruntukannya. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa polemik ini akan menjadi momentum untuk perbaikan sistem pendidikan di Indonesia.

    Pada akhirnya, harapan kita semua adalah melihat anak-anak Indonesia tumbuh dan berkembang dengan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Mereka adalah masa depan bangsa, dan investasi terbaik yang bisa kita lakukan adalah memastikan bahwa mereka mendapatkan pendidikan yang mereka butuhkan dan layak.

    Dalam konteks ini, kritik yang konstruktif dan pengawasan yang ketat bukanlah hal yang harus dihindari. Tetapi, justru menjadi bagian dari upaya bersama untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Dengan semangat dan komitmen yang kuat, kita bisa mengatasi tantangan yang ada dan mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Sehingga, cita-cita suci mewujudkan Indonesia Emas, bisa segera terwujud. Bukan justru melahirkan Indonesia Gemas atau bahkan Indonesia Cemas. (*)

     

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Uslimin Usle

    Jurnalis jenjang utama (November 2012) dan penguji nasional pada Aliansi Jurnalistik Independen sejak 2013. 
    Aktif sebagai jurnalis pertama kali pada Desember 1993 di koran kampus PROFESI IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). 
    Bergabung sebagai reporter Majalah Dwi Mingguan WARTA SULSEL pada 1996-1997. Hijrah ke majalah DUNIA PENDIDIKAN (1997-1998) dan Tabloid PANCASILA (1998), lalu bergabung ke Harian Fajar sebagai reporter pada Maret 1999. 
    Di grup media yang tergabung Jawa Pos Grup, meniti karier secara lengkap dan berjenjang (reporter-redaktur-koordinator liputan-redaktur pelaksana-wakil pemimpin redaksi hingga posisi terakhir sebagai Pemimpin Redaksi  pada Januari 2015 hingga Agustus 2016).
    Selepas dari Fajar Grup, bergabung ke Kabar Grup Indonesia sebagai Direktur Pemberitaan pada November 2017-Mei 2018, dan Juni 2023 hingga sekarang, merangkap sebagai Pemimpin Redaksi KabarBursa.Com (Januari 2024) dan KabarMakassar.Com (Juni 2023). (*)