KABARBURSA.COM - Pemerintah kembali menjanjikan kemandirian energi nasional. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia optimis segera swasembada energi. Mimpi besarnya bahkan menjadi penyuplai energi dunia.
Namun, di tengah pemangkasan anggaran strategis, birokrasi lamban, regulasi rumit dan membelit, serta ketergantungan pada energi fosil, apakah ambisi ini dapat bergerak lebih dari sekadar retorika politik? Jangan-jangan akan kandas lagi dalam kubangan birokrasi, inefisiensi, dan jebakan fiskal? Sekaligus mengulang kegagalan masa lalu dan sebatas “omon-omon”?
Sumber Daya Besar, Tapi Tidak Otomatis Berdaya
Indonesia, secara alamiah, memang kaya akan sumber daya energi. Negeri ini menyimpan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, potensi tenaga air dari ratusan sungai, sumber angin yang signifikan di wilayah timur, kekuatan ombak di sepanjang garis pantai, serta sinar matahari sepanjang tahun. Sumber daya ini membuat asa swasembada energi bukan mustahil diwujudkan.
Hanya saja, seperti pengalaman pembangunan nasional selama ini, potensi bukan jaminan realisasi. Berkali-kali sumber daya melimpah gagal dikonversi menjadi kekuatan ekonomi. Hal itu disebabkan oleh lemahnya kelembagaan, ketidakkonsistenan regulasi, dan mentalitas rente yang menggerogoti ekosistem investasi.
Dalam konteks ini, langkah pemerintah mendorong target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada 2025, dan netral karbon alias net zero emission pada 2060, tentu layak diapresiasi. Tetapi tanpa dukungan nyata dalam bentuk anggaran, infrastruktur, dan insentif fiskal yang masuk akal, angka-angka tersebut akan tinggal di atas kertas.

Ketika Penyederhanaan Regulasi Tak Sesederhana Ucapan
Salah satu gebrakan awal Presiden Prabowo adalah perintah eksplisit untuk menyederhanakan regulasi sektor energi. Dalam Konvensi dan Pameran Indonesian Petroleum Association (IPA) ke-49 di Tangerang Selatan, sang Presiden bahkan mengancam akan mencopot pejabat yang memperlambat perizinan dan investasi. Pernyataan ini menimbulkan optimisme, terlebih bagi pelaku industri yang selama bertahun-tahun frustrasi menghadapi tumpang tindih kebijakan, tarik menarik antar-kementerian, hingga ketidakpastian hukum.
Tapi patut dicatat, reformasi regulasi tak bisa hanya mengandalkan ancaman reshuffle. Perubahan struktural memerlukan kehendak politik yang konsisten, reformasi birokrasi yang substansial, serta sistem kontrol yang ketat. Jika tidak, perubahan hanya akan bersifat kosmetik dan siklus stagnasi akan terus terulang.
Apalagi, kita tahu bahwa masalah bukan semata di level teknis. Kultur birokrasi yang feodal, kolutif, dan resisten terhadap perubahan, menjadi batu sandungan utama. Tanpa pembersihan menyeluruh, ancaman pencopotan jabatan hanya akan menjadi headline media tanpa substansi.

Danantara di Antara Harapan Baru dan Risiko Lama
Pemerintah juga menggantungkan harapan besar pada Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk menggerakkan proyek-proyek energi strategis. Lembaga ini diproyeksikan membiayai pembangunan kilang, jaringan distribusi gas, hingga proyek EBT. Konsepnya adalah menciptakan ekosistem pendanaan non-APBN yang agresif dan fleksibel.
Akan tetapi, mengandalkan satu lembaga investasi untuk menyokong proyek-proyek infrastruktur raksasa di tengah defisit fiskal adalah pertaruhan berisiko tinggi. Tanpa pengawasan ketat dan tata kelola yang transparan, Danantara bisa menjadi lubang anggaran baru. Skandal proyek mangkrak seperti Kilang Tuban atau PLTU korupsi bisa saja terulang dalam skala yang lebih besar dan sistemik.
Danantara harus dilindungi dari intervensi politik dan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas publik. Jika tidak, institusi ini justru akan menjadi simbol baru dari kegagalan pembangunan berbasis rente.

Ironi di Tengah Ambisi
Presiden Prabowo memang memberikan sinyal kuat soal keberpihakannya pada swasembada energi. Namun, ironi terjadi ketika pemerintah justru memangkas anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara signifikan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025.
Dalam catatan KabarBursa, setelah dilakukan pemangkasan oleh Kementerian Keuangan, anggaran Kementerian ESDM untuk tahun 2025 mengalami pengurangan sebesar Rp1,66 triliun atau sekitar 42 persen dari pagu awal sebesar Rp3,91 triliun. Dengan demikian, anggaran yang tersisa untuk Kementerian ESDM adalah sebesar Rp2,25 triliun.
Walaupun mengalami pengetatan anggaran, beberapa program strategis akan tetap dilaksanakan. Terutama yang berkaitan dengan elektrifikasi di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), yang mencakup pembangunan empat unit pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dengan nilai Rp25,2 miliar. Pembangunan sembilan unit pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) senilai Rp2 miliar. Dan monitoring serta evaluasi (monev) terhadap empat kegiatan PLTMH dengan anggaran Rp2,08 miliar.
Selain itu, Kementerian ESDM juga sedang mengajukan revisi tambahan anggaran dari sumber dana PNBP Minerba sebesar Rp4,24 triliun. Dana ini direncanakan akan digunakan untuk proyek infrastruktur gas bumi, antara lain pipa gas bumi Cirebon–Semarang (Cisem) Tahap II senilai Rp1,79 triliun. Juga untuk membiayai proyek Dumai–Sei Mangkei (Dusem) sebesar Rp2,43 miliar.
Meski demikian, tak urung langkah dan kebijakan pemangkasan anggaran yang menimpa Kementerian ESDM, memunculkan pertanyaan sarkastis. Bagaimana mungkin kementerian yang menjadi ujung tombak transisi energi, justru diberi anggaran terbatas? Efisiensi anggaran penting, tetapi jika dilakukan tanpa memperhitungkan prioritas strategis, bisa menjadi bumerang.
Kita tidak bisa berharap pada revolusi energi jika sumber daya manusianya tak terlatih, laboratoriumnya kekurangan alat, dan programnya terbengkalai karena ketiadaan dana. Pemangkasan anggaran bukan hanya persoalan angka, tetapi juga soal pesan; seberapa serius pemerintah terhadap target EBT?

Ketergantungan Fosil dan Infrastruktur yang Belum Siap
Sampai hari ini, lebih dari 60 persen pasokan listrik Indonesia masih berasal dari PLTU berbasis batubara. Produksi minyak nasional terus menurun, dan lebih dari separuh kebutuhan BBM dipenuhi lewat impor.
Fakta ini menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap energi fosil masih terlalu tinggi. Bahkan, proyek hilirisasi nikel yang kerap dibanggakan sebagai lompatan kemandirian energi, justru meningkatkan konsumsi listrik dari batubara—menciptakan ironi tersendiri dalam narasi transisi energi.
Di sisi lain, kekurangan infrastruktur—khususnya jaringan transmisi listrik di wilayah timur—serta lambatnya pengembangan battery storage dan smart grid, menjadi hambatan besar. Teknologi kendaraan listrik dan charging station belum tersebar merata. Sementara kemampuan litbang nasional masih tertinggal jauh dari Malaysia dan Vietnam.
Tanpa kebijakan riset dan inovasi yang serius, Indonesia hanya akan jadi pasar bagi teknologi energi luar negeri. Kita akan terus tertinggal dalam rantai nilai global.

Kunci Kepercayaan Investor Bernama Konsistensi
Ketidakkonsistenan kebijakan menjadi penyakit kronis sektor energi nasional. Pergantian menteri seringkali membawa perubahan arah kebijakan. Regulasi bisa berubah dalam waktu singkat, membuat investor frustrasi dan enggan mengambil risiko jangka panjang.
Solusinya bukan lagi di level wacana. Pemerintah harus segera merumuskan energy roadmap yang mengikat secara hukum. Idealnya melalui peraturan pemerintah atau undang-undang. Selain itu, pembentukan badan independen lintas sektor untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan energi juga mendesak.
Tanpa koordinasi dan akuntabilitas, ego sektoral akan terus menjadi tembok penghalang. Ujung-ujungnya, angan swasembada menjadi sebatas mimpi.
Dari Obsesi ke Aksi
Untuk mengubah obsesi swasembada energi menjadi aksi nyata, pemerintah harus mengambil langkah-langkah konkret:
- Prioritaskan dan sungguh-sungguh investasi energi bersih. Jangan sebatas retorika pemanis bibir.
- Berikan insentif fiskal yang menarik bagi investor domestik dan asing untuk masuk ke sektor EBT. Sekarang bukan waktunya lagi “omon-omon”.
- Tingkatkan anggaran riset energi nasional. Jangan main pangkas anggaran tanpa memperhatikan program strategis nasional.
- Dorong kolaborasi antara universitas, BUMN, dan startup teknologi untuk membangun ekosistem inovasi.
- Kembangkan pendidikan dan pelatihan vokasi energi. Sekaligus bangun SDM yang siap menyambut era transisi energi.
- Evaluasi subsidi energi fosil dengan mengalihkan subsidi BBM ke energi bersih dan pembangunan infrastruktur hijau.
- Dorong ekspor teknologi, bukan komoditas mentah. Dengan demikian, Indonesia bukan sekadar produsen energi mentah, melainkan juga pemain dalam rantai teknologi global.

Jangan Sebatas Janji, Saatnya Beri Bukti
Swasembada energi adalah obsesi yang sah dan bahkan layak. Namun, seperti halnya obsesi lainnya, ia hanya akan menjadi utopia jika tidak dibarengi data, kebijakan rasional, dan tata kelola yang profesional.
Retorika memang penting dalam politik. Akan tetapi realisasi menuntut komitmen lintas generasi, keberanian mengambil keputusan tidak populer, dan keberlanjutan yang melampaui satu periode pemerintahan.
Jika tidak, swasembada energi hanya akan menjadi satu lagi slogan bombastis yang tinggal di spanduk dan podium pidato—tanpa bekas dalam sejarah pembangunan negeri ini. (*)