Logo
>

Indonesia-AS Perkuat JETP, Janji Energi Terbarukan atau Utang Terbarukan?

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Indonesia-AS Perkuat JETP, Janji Energi Terbarukan atau Utang Terbarukan?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, di Gedung Putih, Washington, pada Selasa, . Dalam pertemuan tersebut, kedua negara sepakat untuk memperkuat kerja sama melalui Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang mendukung pengurangan emisi karbon di Indonesia.

    JETP berfokus pada pengembangan energi terbarukan, modernisasi jaringan listrik, dan penciptaan lapangan kerja di sektor energi hijau. "JETP sejalan dengan reformasi domestik Indonesia, yang bertujuan memobilisasi investasi energi bersih, mengurangi emisi, dan memperkuat keamanan energi," demikian bunyi pernyataan bersama yang dirilis oleh Gedung Putih pada Rabu, 13 November 2024.

    Dalam kerangka kerja ini, pemerintahan Biden-Harris menegaskan komitmen mereka untuk terus mendukung Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Sebagai pemimpin International Partners Group (IPG) bersama Jepang, Amerika Serikat telah membantu mengamankan pendanaan senilai USD21,6 miliar. Dari jumlah tersebut, USD11,6 miliar berasal dari pembiayaan sektor publik, sementara USD10 miliar disediakan oleh sektor swasta.

    Selain mendukung transisi energi bersih, Biden juga menyoroti pentingnya pengembangan pasar karbon berintegritas tinggi di Indonesia. Dukungan ini dirancang untuk memanfaatkan peluang permintaan internasional terhadap kredit karbon sebagai salah satu alat untuk menggalang pendanaan swasta dalam upaya pengurangan emisi. "Kami berkomitmen pada target pengurangan emisi yang ambisius, termasuk penyerahan kontribusi nasional (NDC) tahun 2035 yang sejalan dengan tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius," lanjut pernyataan tersebut.

    Langkah ini juga mencakup penguatan infrastruktur energi bersih dan upaya pengurangan deforestasi yang menjadi prioritas dalam agenda iklim global. Biden menegaskan kerja sama bilateral akan terus diperluas melalui Kelompok Kerja Perubahan Iklim AS-Indonesia, terutama dalam mendorong implementasi teknologi energi rendah karbon di Indonesia.

    Solusi Palsu di Balik Perdagangan Karbon

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan mekanisme perdagangan karbon yang diusulkan pemerintah hanya memberikan solusi semu dalam upaya mencapai netralitas karbon atau net zero emission (NZE). Menurut Bhima, perdagangan karbon memberikan jalan bagi industri ekstraktif seperti minyak dan gas untuk tetap menghasilkan emisi besar, selama mereka membayar kompensasi dalam bentuk rehabilitasi hutan atau proyek serupa.

    “Ibaratnya, saya bisa terus nyampah, tapi juga bayar orang lain untuk jaga hutan,” kata Bhima dalam diskusi publik di Jakarta, kemarin. Ia menjelaskan karbon yang dihasilkan industri ekstraktif cenderung bertahan lebih lama di atmosfer dibanding karbon yang dapat diserap oleh hutan.

    Bhima juga mengkritisi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS). Alat ini dinilai tidak efisien secara ekonomi. Kajian Celios menunjukkan investasi untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan teknologi CCS membutuhkan biaya hingga Rp30,2 juta per kilowatt hour (kWh) pada 2020. Meskipun diproyeksikan turun menjadi Rp22 juta per kWh pada 2050, nilai tersebut tetap jauh lebih mahal dibandingkan investasi pembangkit listrik tenaga surya yang hanya memerlukan Rp6 juta per kWh.

    Selain biaya yang tinggi, Bhima juga menyoroti risiko kebocoran yang dihadapi CCS, terutama di negara seperti Indonesia yang rawan gempa karena berada di zona ring of fire. Ia mengingatkan kebocoran pipa gas CCS pernah terjadi di Amerika Serikat dan mengakibatkan puluhan orang dirawat di rumah sakit. “Kalau karbonnya ditaruh di bawah tanah, risiko gempa membuat kebocorannya tinggi. Siapa yang akan menanggung risikonya?” ujarnya.

    Pandangan serupa juga diutarakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebelumnya, Arifin Tasrif. Dalam keterangannya pada Selasa, 6 Agustus 2024 lalu, Arifin mengakui l teknologi CCS memang mahal. Ia mencontohkan proyek CCS di Pemurnian Gas Alam Gundih, Jawa Timur, yang membutuhkan biaya USD43-53 per ton CO2 dengan total investasi injeksi mencapai USD105 juta. Proyek lain, seperti produksi LNG di Bintuni, Papua Barat, menelan biaya sebesar USD33 per ton CO2 dengan investasi mencapai USD948 juta.

    Meski demikian, pemerintah tetap memiliki komitmen besar untuk mengimplementasikan teknologi ini. "Rencana implementasi CCS/CCUS sekarang masih mahal, tapi memang harus kita coba. Sesuatu kalau baru dicoba kan memang mahal," kata Arifin.

    Namun, kritik terus bermunculan. Bhima menilai CCS hanya memberikan jalan bagi perusahaan untuk tetap bergantung pada energi fosil. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus mendorong investasi di sektor energi terbarukan seperti PLTS, yang jauh lebih murah dan memiliki risiko lebih kecil dibandingkan CCS.

    Tuntut Keadilan Iklim, Bukan Dagang Karbon

    Bhima menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih memprioritaskan penagihan utang iklim dari negara-negara maju dibanding mempromosikan perdagangan karbon. Negara-negara maju, menurutnya, memiliki tanggung jawab lebih besar karena telah lama menggunakan energi fosil dan batu bara yang menyebabkan emisi besar.

    Ia menilai negara maju belum sepenuhnya memenuhi komitmen mereka dalam Perjanjian Paris 2015, di mana mereka berjanji membantu negara berkembang dengan pendanaan iklim hingga USD5 triliun per tahun. Namun, kenyataannya, banyak dari mereka memilih menawarkan skema kerja sama seperti JETP yang sarat dengan elemen utang dan perdagangan karbon. "Hibahnya kecil sekali. Negara maju tampaknya tidak sungguh-sungguh membantu negara berkembang seperti Indonesia," kata Bhima.

    Sebagai alternatif, Bhima mengusulkan agar Indonesia lebih gencar menuntut keadilan iklim melalui mekanisme pendanaan langsung yang lebih substansial. "Solusinya bukan negara berkembang menjual hutannya melalui mekanisme karbon. Negara maju harus lebih dulu melunasi utang iklim mereka," tegasnya. Ia juga menyoroti perlunya alokasi dana yang lebih besar untuk proyek energi terbarukan di Indonesia, seperti pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dan angin, yang terbukti lebih efisien secara ekonomi dibandingkan solusi teknologi seperti CCS.

    Bhima mengingatkan tantangan iklim harus diselesaikan melalui pendekatan yang adil dan berkelanjutan, bukan dengan membebani negara berkembang melalui skema perdagangan karbon atau utang terselubung.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).