Logo
>

Kenaikan Royalti Minerba Pacu Transisi Energi

Kenaikan royalti minerba lewat PP 18 dan 19/2025 dinilai jadi momentum mempercepat transisi energi. Dana tambahan diharapkan menopang target energi hijau dan mendorong perbaikan tata kelola sektor ekstraktif.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Kenaikan Royalti Minerba Pacu Transisi Energi
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Jeneponto yang jadi bagian dari transisi energi Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM — Pemerintah resmi menaikkan tarif royalti minerba melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 dan 19 Tahun 2025. Kebijakan anyar ini menuai respons positif dari kalangan masyarakat sipil yang menilai tambahan penerimaan negara tersebut perlu diarahkan untuk mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

Dalam aturan terbaru tersebut, pemerintah menerapkan tarif royalti minerba progresif untuk nikel, dari semula 10 persen menjadi 14–19 persen, bergantung pada Harga Mineral Acuan. Sementara itu, untuk komoditas batu bara, kenaikan hanya berlaku bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), sedangkan royalti untuk PKP2B atau IUPK justru mengalami penurunan. Skema ini dinilai berpengaruh terhadap arah kebijakan transisi energi nasional.

Policy Strategist CERAH, Al Ayubi, menilai kenaikan tarif royalti minerba mesti dimanfaatkan sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola sektor ekstraktif. Menurut dia, kenaikan royalti seharusnya tidak hanya dipandang sebagai tambahan penerimaan negara, melainkan juga sebagai pendorong akselerasi transisi energi.

“Dana yang diperoleh harus secara jelas diarahkan untuk mendukung pembangunan sektor energi hijau, melalui subsidi energi terbarukan maupun insentif bagi investasi hijau,” ujar Ayubi dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 Mei 2025.

Hingga kini, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah baru mengalokasikan sekitar Rp34,2 triliun per tahun untuk pengembangan energi terbarukan. Alokasi dana dari royalti minerba dinilai belum maksimal untuk menopang target ambisius transisi energi yang diproyeksikan dalam RPJMN tersebut.

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa pada periode 2019–2021, investasi swasta di sektor energi fosil masih mendominasi hingga 73,4 persen. Sisanya, hanya 26,6 persen yang mengalir ke sektor energi terbarukan. Kesenjangan pendanaan ini dinilai menjadi hambatan utama bagi keberhasilan transisi energi di Indonesia, yang salah satunya dapat ditutup melalui optimalisasi penerimaan royalti minerba.

“Karena itu, dana tambahan dari kenaikan royalti minerba harus segera dialokasikan untuk menutup celah pendanaan energi terbarukan,” kata Ayubi.

Pendapat serupa disampaikan Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya. Ia menilai kebijakan peningkatan pungutan produksi batu bara merupakan langkah strategis bagi pemerintahan Prabowo dalam mempercepat transisi energisekaligus menangani krisis iklim. Tata menekankan bahwa royalti minerba adalah salah satu instrumen fiskal yang berpotensi menggerakkan investasi ke arah energi bersih.

Menurut Tata, ada tiga tujuan utama dari kebijakan ini, yakni meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, memberikan disinsentif produksi batu bara agar investasi bergeser ke energi bersih, dan mendorong keadilan dengan menarik pungutan proporsional dari sektor tambang yang selama ini menikmati laba besar. Optimalisasi royalti minerbadisebut sebagai kunci untuk mendukung keberhasilan transisi energi di masa mendatang.

Tata menambahkan, skema royalti dan pungutan produksi batu bara perlu dinaikkan secara bertahap agar ketiga tujuan tersebut dapat tercapai. Ia memperkirakan, dengan skenario harga batu bara aktual periode 2022–2024, pemerintah berpeluang memperoleh tambahan penerimaan negara antara USD5,63 miliar (Rp84,55 triliun) hingga USD23,58 miliar (Rp353,7 triliun) per tahun. Perhitungan ini memperlihatkan potensi besar royalti minerba untuk menjadi sumber pendanaan strategis dalam agenda transisi energi nasional.

“Dana ini sangat mencukupi untuk mendanai kebutuhan Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar USD96,1 miliar hingga 2030 yang sampai saat ini masih terkendala pendanaan konkret,” jelas Tata.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menekankan agar pemerintah tidak terjebak dalam pendekatan jangka pendek yang hanya berorientasi pada peningkatan penerimaan negara. Ia menilai kebijakan royalti minerba mesti diarahkan menjadi instrumen strategis untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara secara bertahap. Upaya itu dapat dilakukan melalui pengurangan produksi maupun penghentian operasional PLTU yang memasok listrik PLN serta yang dibangun untuk kepentingan khusus, seperti kawasan hilirisasi mineral—langkah yang dinilai penting untuk memperkuat komitmen transisi energi.

Aryanto mengingatkan RPJMN 2025–2029 masih mematok target produksi batu bara sebesar 700 juta ton per tahun—angka yang jauh melampaui batas aman dalam Rencana Umum Energi Nasional sebesar 400 juta ton. Ia juga menyoroti bahwa industri minerba selama ini telah menikmati berbagai insentif sejak berlakunya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Peninjauan ulang kebijakan royalti minerba disebut penting untuk memastikan agar transisi menuju energi bersih dapat berjalan sesuai target.

“Karena itu, kenaikan royalti harus menjadi alat untuk memperbaiki tata kelola secara menyeluruh dan memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat terdampak. Utamanya, pemerintah sebaiknya tidak mengalokasikan tambahan pendapatan dari kenaikan royalti untuk proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) yang terbukti tidak ekonomis dan tidak ramah lingkungan,” kata Aryanto.

Tren Penerimaan Negara Sektor Minerba hingga Proyek DME


Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara menunjukkan tren kenaikan pesat dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian ESDM, setelah sempat turun ke Rp34,7 triliun pada 2020 akibat pandemi, PNBP subsektor minerba melonjak menjadi Rp75,4 triliun pada 2021. Kenaikan harga komoditas global mendorong rekor penerimaan pada 2022 yang tembus Rp183,5 triliun.

Meskipun sedikit menurun, penerimaan tahun 2023 tetap tinggi dengan realisasi sekitar Rp173 triliun, melampaui target APBN. Pada 2024, kontribusi minerba tercatat sebesar Rp140,5 triliun atau sekitar 52,1 persen dari total PNBP sektor ESDM, menjadikannya subsektor penyumbang terbesar di sektor energi dan sumber daya mineral.


Tarif royalti pertambangan Indonesia untuk komoditas seperti nikel dan batu bara relatif bervariasi dan cenderung lebih rendah dibanding beberapa negara lain. Di Indonesia, royalti nikel saat ini menerapkan skema multi-tarif 2 persen hingga 10 persen tergantung produk dan harga. Adapun royalti batu bara telah diubah menjadi progresif antara 14 persen hingga 28 persen berdasarkan harga batu bara acuan, dari sebelumnya tarif flat 13,5 persen. Sebagai perbandingan, negara seperti Australia memberlakukan tarif jauh lebih tinggi untuk batu bara—misalnya negara bagian Queensland mengenakan royalti hingga 40 persen saat harga melonjak tinggi.

Sementara itu, Afrika Selatan menggunakan formula berjenjang dengan kisaran royalti 0,5 persen hingga 7 persen dari penjualan, tergantung profitabilitas tambang. Perbandingan ini menunjukkan adanya ruang bagi Indonesia untuk menyesuaikan royalti agar sejalan dengan praktik internasional tanpa mengabaikan daya saing industri.

Sektor batu bara merupakan penyumbang terbesar emisi karbon Indonesia, khususnya dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pada 2022, sekitar 43 persen listrik Indonesia masih dihasilkan dari PLTU batu bara—tertinggi sepanjang masa. Lonjakan pemakaian batu bara (naik 33 persen dibanding 2021) mendorong emisi CO₂ dari bahan bakar fosil Indonesia naik hingga 20 persen dalam setahun. Kondisi ini kontras dengan komitmen penurunan emisi Indonesia.

Dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang diperbarui, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar sekitar 32 persen pada 2030 secara mandiri, atau hingga 43 persen dengan bantuan internasional, serta mencapai net-zero emission pada 2060. Kontribusi batu bara yang besar terhadap emisi—baik dari pembakaran di sektor listrik maupun dari aktivitas pertambangan (misalnya emisi metana tambang)—menjadi tantangan utama dalam mencapai target iklim tersebut. Upaya pengurangan ketergantungan pada batu bara dan transisi ke energi bersih menjadi krusial agar target NDC tercapai.

Proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME)—alternatif LPG—tengah menghadapi hambatan serius. Proyek gasifikasi batu bara berkapasitas 1,4 juta ton DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, yang sempat di-groundbreaking Presiden Jokowi pada 2022, mengalami kemunduran setelah investor utama, Air Products (Amerika Serikat), memutuskan mundur. Pemerintah saat ini berupaya mencari investor pengganti agar proyek dapat dilanjutkan.

Di sisi lain, sejumlah kajian mempertanyakan keekonomian dan manfaat proyek DME. Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai proyek DME senilai sekitar USD3,1 miliar (Rp51 triliun) ini “bukan investasi yang layak” karena biaya tinggi tidak sebanding dengan profit maupun manfaat lingkungan. Biaya produksi DME diperkirakan mencapai USD614–651 per ton, yang berarti sekitar 42 persen lebih mahal daripada harga LPG setara energinya (sekitar USD431 per ton per Maret 2025).

Dengan kata lain, jika dipaksakan, DME berbasis batu bara akan lebih mahal daripada LPG impor dan tetap menghasilkan emisi karbon signifikan dari proses produksinya. Kritik juga datang dari kalangan pemerhati lingkungan yang menilai proyek ini kontraproduktif terhadap target transisi energi bersih. Mereka menegaskan bahwa dana hasil royalti minerba sebaiknya difokuskan untuk proyek yang benar-benar mendukung percepatan transisi energi, bukan untuk hilirisasi batu bara yang masih menyisakan persoalan lingkungan.

Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit, yakni melanjutkan proyek demi kemandirian energi (mengurangi impor LPG) atau mengevaluasi ulang mengingat beban fiskal dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Optimalisasi pemanfaatan royalti minerba secara tepat akan menjadi penentu arah kebijakan energi nasional agar sejalan dengan agenda besar transisi energi yang telah dicanangkan dalam peta jalan iklim Indonesia.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).