Logo
>

PGEO Pimpin Penguatan Saham Energi Terbarukan

Saham PGEO melonjak lebih dari 7 persen hingga siang ini. Sementara saham energi terbarukan lain bergerak campuran, sebagian masih melemah.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
PGEO Pimpin Penguatan Saham Energi Terbarukan
Pembangkit listrik tenaga panas bumi milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) yang berlokasi di kawasan pegunungan. Emiten ini memimpin penguatan saham energi terbarukan pada perdagangan siang hari ini. Foto: Dok. PGEO.

KABARBURSA.COM – Saham energi terbarukan menunjukkan performa campuran hingga sesi siang, Senin, 16 Juni 2025, pukul 14.30 WIB. Berdasarkan data Stockbit, penguatan paling tajam datang dari PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang melesat 7,32 persen ke level 1.540 dan menandai sentimen positif terhadap energi panas bumi di tengah transisi energi bersih global.

Saham TOBA (TBS Energi Utama) juga menguat 3,64 persen ke 855, diikuti oleh ADRO (AlamTri Resources Indonesia) yang stabil di zona hijau dan terus mendapat sorotan karena lini energi terbarukan lewat entitas anaknya. Sementara itu, KEEN (Kencana Energi) naik ringan 0,62 persen ke level 805.

Namun tidak semua emiten di sektor ini mencatat hasil positif. ARKO (Arkora Hydro) melemah 0,60 persen ke 835, BREN (Barito Renewables) turun 0,39 persen ke 6.350, dan HGII (Hero Global Investment) terkoreksi 1,18 persen ke 167. Pelemahan ini menunjukkan bahwa investor mulai selektif terhadap emiten energi alternatif yang belum memiliki katalis kuat atau kejelasan eksekusi proyek.

Proyek Energi Terbarukan Butuh Percepatan

Meski saham energi terbarukan bergerak fluktuatif hingga siang ini, arah jangka panjang sektor ini sebenarnya masih menjanjikan. Tekanan jangka pendek di pasar tidak mencerminkan potensi ekonomi sektor ini secara menyeluruh, justru menegaskan tantangan struktural yang menghambat realisasi proyek energi bersih di Indonesia.

Secara global, tren penggunaan energi terbarukan semakin masif. Inovasi teknologi dan penurunan harga baterai telah menurunkan biaya proyek, menjadikannya semakin kompetitif terhadap energi fosil. Namun di Indonesia, transisi ini masih berjalan lambat. Dalam lima tahun terakhir, kapasitas energi terbarukan hanya bertambah sekitar 2 gigawatt. Pada 2024, total kapasitas pembangkit energi terbarukan nasional tercatat sebesar 15 gigawatt.

Salah satu penghambat utama adalah keraguan terhadap keandalan sumber energi variabel seperti surya dan angin. Padahal, menurut analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), isu intermitensi ini dapat diatasi dengan strategi dan kerangka kebijakan yang tepat. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menegaskan pentingnya keberanian politik untuk keluar dari sistem energi lama.

“Kita harus terbuka dan tidak terjebak pada pandangan-pandangan yang mengunci wawasan dan membuat kita terkungkung pada sistem ekonomi berbasis fosil. Namun kita harus menuju sistem energi terbarukan untuk meraih manfaat sosial lingkungan serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” kata Fabby, dikutip dari laman IESR, Senin.

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi teknis sumber daya yang besar, tenaga kerja yang mampu, dan kerangka kebijakan yang bisa diarahkan untuk mempercepat transformasi. Namun panjangnya proses pengadaan energi terbarukan masih jadi hambatan utama.

Strategi percepatan salah satunya dapat dimulai dari perbaikan kualitas data dan pemetaan potensi. Analis Sistem Informasi Geografis IESR, Sodi Zakiy Muwafiq, mengatakan saat ini pihaknya tengah memperbarui studi potensi teknis energi terbarukan, memperluas parameter hingga ke aspek kelayakan finansial.

“Pada studi terbaru ini, kami menambahkan parameter kelayakan finansial untuk memastikan potensi setiap lokasi ini sungguh sudah memenuhi kriteria tersebut,” kata Sodi pada peluncuran kajian Unlocking Indonesia’s Renewables Future: The Economic Case of 333 GW of Solar, Wind, and Hydro Projects, akhir Februari lalu.

Hasilnya cukup mencengangkan. Koordinator Riset Sosial dan Ekonomi IESR, Martha Jessica, menyebut ada 333 gigawatt kapasitas proyek energi terbarukan yang layak secara finansial dari 632 lokasi potensial. Proyek-proyek itu terdiri dari PLTS ground-mounted sebesar 165,9 GW, PLTB onshore 167 GW, dan PLTM 0,7 GW.

“Lebih dari 60 persen dari teknologi yang dipilih memiliki equity internal rate return (EIRR) di atas 10 persen yang berarti atraktif secara investasi pembiayaan,” kata Martha.

Dengan potensi finansial yang kian terbukti dan minat pasar yang mulai terbangun, proyek energi terbarukan di Indonesia tak bisa lagi dibiarkan tertahan oleh lambannya eksekusi kebijakan. Momentum ini adalah kesempatan untuk membalikkan keraguan menjadi kepastian—bahwa transisi energi bukan semata tuntutan global, tapi peluang pertumbuhan ekonomi yang konkret dan layak ditindaklanjuti sekarang juga.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).