KABARBURSA.COM – Wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kembali bergema di masa pemerintahan Prabowo Subianto. Di tengah kemajuan teknologi energi bersih, proyek nuklir justru dinilai mahal, lambat, dan belum tentu efisien.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai rencana pembangunan PLTN terlalu berat di ongkos dan kalah saing dari sisi keekonomian dibanding energi terbarukan. Dalam pandangan IESR, investasi untuk PLTN justru berisiko mengganggu peta transisi energi nasional.
“Dalam pemodelan yang kami lakukan, PLTN tidak kompetitif dibandingkan dengan teknologi energi terbarukan lainnya. Harga listrik dari PLTN diproyeksikan lebih mahal,” ujar Fabby, kepada KabarBursa.com di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2025.
IESR melihat pengembangan PLTN di Indonesia menghadapi tantangan besar, baik dari sisi biaya, waktu konstruksi, maupun kejelasan teknologi yang akan digunakan. Menurut Fabby, pembangunan satu unit PLTN bisa memakan waktu hingga 8 hingga 12 tahun, merujuk pada pengalaman di berbagai negara lain.
“Selain harga listrik yang tinggi, masa pembangunan PLTN juga cukup lama. Bahkan sampai saat ini masih belum jelas teknologi reaktor mana yang akan dipakai,” katanya.
Fabby menilai penggunaan teknologi Small Modular Reactor (SMR) bakal menghadirkan tantangan tersendiri. Secara global, teknologi ini belum banyak digunakan secara komersial dan masih dibayangi persoalan biaya investasi yang sangat tinggi.
“Kalau bicara SMR, biaya investasinya berada di kisaran USD6,5 miliar hingga USD 10 miliar per 1 GW. Itu angka yang besar, terutama jika melihat kapasitasnya yang masih kecil,” kata Fabby.
Dalam RUPTL terbaru, kapasitas PLTN hanya dipatok sebesar 0,5 GW. Fabby pun mempertanyakan relevansi alokasi investasi sebesar itu untuk pembangkit dengan kapasitas kecil dan ketidakpastian soal efisiensinya dalam jangka panjang. “Saya tidak melihat bahwa investasi akan bergeser signifikan ke PLTN dalam satu dekade ke depan,” katanya.
Energi Terbarukan Tetap Lebih Menjanjikan
Fabby menegaskan meskipun ada wacana pembangunan PLTN, ekosistem energi terbarukan di Indonesia masih akan menjadi fokus utama dalam peta investasi masa depan.
Lagi pula, pendanaan untuk proyek PLTN akan sangat bergantung pada dana publik karena investor swasta cenderung lebih berhati-hati terhadap risiko tinggi dan ketidakpastian teknologi.
“Saya percaya investasi energi terbarukan masih akan tumbuh. Justru pendanaan PLTN akan lebih sulit, dan kemungkinan besar akan sangat tergantung pada pendanaan publik,” ujarnya.
Menurutnya, jika pemerintah terlalu fokus pada proyek nuklir, maka ada risiko tergesernya perhatian dan alokasi sumber daya dari sektor energi terbarukan yang selama ini menjadi prioritas global dan nasional dalam upaya transisi energi.
“Kalau prioritas investasi bergeser ke nuklir, konsekuensinya bisa menghambat inovasi dan pengembangan ekosistem energi terbarukan yang selama ini sudah mulai tumbuh di Indonesia,” kata Fabby.
Fabby pun mengingatkan agar kebijakan energi nasional tetap berpijak pada prinsip efisiensi, keberlanjutan, dan keadilan energi. Ia mendorong agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skenario transisi energi dengan mempertimbangkan seluruh aspek teknis, ekonomi, dan sosial sebelum menempatkan PLTN sebagai solusi utama.
“Transisi energi bukan sekadar soal teknologi, tapi juga soal strategi kebijakan. PLTN bukan satu-satunya jalan. Kita punya opsi yang jauh lebih cepat, murah, dan sudah terbukti,” katanya.
Pemerintah resmi menyisipkan babak baru dalam sejarah energi nasional lewat pengesahan RUPTL 2025–2034. Di tengah dominasi energi baru terbarukan seperti surya, angin, dan panas bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) turut memasukkan PLTN sebagai salah satu sumber energi masa depan.
Untuk pertama kalinya, PLTN masuk dalam dokumen resmi RUPTL PT PLN (Persero), dengan rencana pembangunan dua unit reaktor kecil masing-masing berkapasitas 250 MW di Sumatera dan Kalimantan. Ini menjadi sinyal bahwa Indonesia mulai membuka pintu bagi energi nuklir dalam bauran listrik nasional—meski masih pada tahap awal dan berskala terbatas.
Langkah ini tertuang dalam peluncuran RUPTL oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 26 Mei 2025. Ia menyampaikan bahwa rancangan RUPTL kali ini disusun berdasarkan arah Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), serta menjadi pijakan penting menuju Net Zero Emission (NZE) tahun 2060.
Pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW selama satu dekade ke depan. Dari jumlah itu, sekitar 76 persen berasal dari energi baru terbarukan dan sistem penyimpanan energi. Namun di antara deretan EBT yang umum seperti tenaga surya dan hidro, kemunculan energi nuklir jadi perhatian tersendiri.
Menurut rencana, pembangunan PLTN ini akan melengkapi pengembangan teknologi rendah karbon lainnya, terutama di lima tahun kedua, saat pengembangan EBT akan melonjak menjadi 37,7 GW atau 90 persen dari total kapasitas tambahan.
Secara keseluruhan, jenis pembangkit energi terbarukan yang akan dikembangkan meliputi tenaga surya (17,1 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), hidro (11,7 GW), dan bioenergi (0,9 GW). Sementara nuklir diperkenalkan sebagai bagian dari skenario jangka panjang diversifikasi energi dan penguatan baseload.
Untuk mendukung proyek-proyek ini, pemerintah juga merancang pembangunan infrastruktur listrik nasional berupa jaringan transmisi sepanjang 48.000 kilometer sirkuit dan gardu induk berkapasitas 108.000 MVA. Infrastruktur tersebut akan tersebar dari Sumatera hingga Papua guna memastikan sistem siap menerima daya dari sumber-sumber baru, termasuk PLTN.
Bahlil menegaskan pentingnya infrastruktur sebagai pendukung utama. Ia mengatakan, selama ini banyak pembangkit yang dibangun tanpa kesiapan jaringan, membuat PLN harus menanggung beban take or pay hingga 80 persen. Karena itu, ia mendorong penyelarasan penuh antara pembangunan pembangkit dan jaringan agar investasi benar-benar optimal.
Dari sisi finansial, RUPTL ini membuka potensi investasi hingga Rp2.967,4 triliun. Sebanyak 73 persen kapasitas pembangkit ditargetkan dibangun lewat kemitraan dengan swasta (Independent Power Producer/IPP), sementara sisanya tetap dikelola oleh PLN Group.
Tak hanya soal energi dan modal, implementasi RUPTL juga diharapkan menciptakan lebih dari 1,7 juta lapangan kerja baru di berbagai lini—dari konstruksi, perencanaan, hingga sektor manufaktur. EBT disebut sebagai penopang utama serapan tenaga kerja, tetapi proyek nuklir ikut menjadi bagian dari ekosistem tenaga kerja ke depan. Dengan masuknya PLTN dalam peta jalan ini, Indonesia resmi membuka lembaran baru transisi energi—di antara ambisi, tantangan, dan berbagai pertanyaan soal kesiapan nuklir nasional.(*)