KABARBURSA.COM – Ambisi pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) hingga 35 gigawatt (GW) berpotensi mengubah arah angin pasar modal Indonesia. Proyek ini dinilai bukan cuma soal energi, tapi akan berdampak langsung ke berbagai sektor yang menggerakkan indeks saham di pasar modal.
Pengamat pasar modal, Wahyu Laksono, mengapa proyek PLTN dalam skala jumbo semacam itu bisa menjadi penggerak baru bagi emiten-emiten di sektor konstruksi, tambang logam, dan teknologi. Sektor konstruksi dan material berat akan menjadi pihak pertama yang merasakan lonjakan permintaan bila proyek ini benar-benar dijalankan.
“Kalau proyek PLTN benar-benar jalan sampai 35 GW, hampir semua sektor akan ikut terdongkrak. Tapi yang paling pertama akan merasakan lonjakan permintaan adalah konstruksi dan logam berat. Mereka akan jadi tulang punggung dalam pembangunan awal," ujar Wahyu kepada KabarBursa.com, di Jakarta, Kamis 12 Juni 2025.
Dampak proyek nuklir akan terasa luas mengingat pembangunan PLTN bukan pekerjaan sederhana. Skala besar dan kompleksitasnya menuntut pengerjaan teknis tinggi, mulai dari fondasi tahan gempa hingga gedung pengendali dan jaringan transmisi.
Wahyu memproyeksikan bahwa jika pemerintah serius mengejar target 35 GW, maka Indonesia akan membutuhkan puluhan bahkan ratusan unit reaktor. Itu berarti pengerjaan fisik bakal berlangsung dalam jangka panjang—bisa belasan hingga puluhan tahun ke depan.
Ia menyebut beberapa emiten konstruksi pelat merah seperti PT PP (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, dan PT Adhi Karya Tbk memiliki rekam jejak mumpuni untuk masuk ke proyek fisik PLTN. Ketiganya, menurut Wahyu, berpotensi menjadi ujung tombak pembangunan infrastruktur nuklir nasional.
Baja Khusus dan Logam Berat, Penopang Kritis Reaktor Nuklir
Selain konstruksi, sektor tambang logam dan industri material dinilai punya peluang yang sama besar. Reaktor nuklir membutuhkan bahan khusus seperti baja tahan radiasi, kabel khusus, dan beton bertekanan tinggi—material yang tidak bisa digantikan dengan produk konvensional.
“PLTN bukan proyek sembarangan. Material yang digunakan harus tahan panas, tekanan, dan radiasi. Ini membuka peluang besar bagi emiten produsen baja, kabel, dan logam-logam industri seperti nikel dan tembaga,” kata Wahyu.
Wahyu juga menyoroti potensi cerah bagi emiten logam dan tambang. Ia menyebut PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sebagai kandidat kuat penyedia baja tahan karat untuk proyek PLTN. Selain itu, perusahaan tambang seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) diperkirakan akan mendapat angin segar karena memproduksi nikel—bahan utama dalam pembuatan stainless steel.
Ia menilai lonjakan permintaan logam bakal terjadi secara signifikan, tak hanya untuk membangun reaktor inti, tetapi juga untuk infrastruktur pendukung seperti jaringan transmisi, sistem perpipaan, hingga berbagai komponen mekanis lainnya.
Wahyu menilai sektor teknologi juga memiliki prospek cerah saat PLTN mulai beroperasi dan memasuki tahap pemeliharaan. Meskipun teknologi reaktor kemungkinan besar akan diimpor dari mitra luar negeri seperti ThorCon atau NuScale, ia memperkirakan akan terbuka ruang bagi transfer teknologi serta lokalisasi sistem.
Emiten teknologi dalam negeri juga berpeluang masuk ke ranah sistem kontrol digital, perangkat lunak keamanan, hingga sensor pemantau reaktor. Menurut Wahyu, karena teknologi nuklir sarat dengan digitalisasi, sektor ini punya ruang ekspansi yang luas bagi pelaku lokal.
Jika pemerintah serius mendorong pengembangan kompetensi lokal, perusahaan teknologi Indonesia bisa berkembang menjadi bagian penting dari ekosistem energi nuklir nasional. “Jangka panjang, sektor teknologi bisa jadi pilar baru. Apalagi kalau Indonesia bisa mandiri secara bertahap dalam teknologi nuklir,” ujarnya.
Sektor Turunan: Logistik, Konsultansi, Hingga Pendidikan
Tak berhenti di tiga sektor utama, Wahyu juga menyoroti peluang di sektor-sektor pendukung lain. Mulai dari logistik dan transportasi berat untuk pengangkutan komponen reaktor, hingga perusahaan konsultan rekayasa teknik dan pendidikan tinggi.
“Bayangkan membawa reaktor atau turbin raksasa ke lokasi proyek, pasti butuh logistik khusus. Perusahaan-perusahaan seperti WSKT Logistic atau Trakindo bisa ikut terlibat,” jelas Wahyu.
Di sisi lain, kebutuhan tenaga kerja terampil di bidang teknik nuklir akan melonjak, yang berarti sektor pendidikan dan pelatihan juga akan berkembang pesat.
“Kita butuh ribuan insinyur nuklir, teknisi, dan operator yang tersertifikasi. Ini akan mendorong universitas dan lembaga pelatihan membuka program studi baru dan kerja sama internasional,” katanya.
Secara keseluruhan, Wahyu menilai proyek PLTN 35 GW ini bisa menjadi katalis jangka panjang yang sangat kuat bagi IHSG. Apalagi jika disertai dengan keberpihakan kebijakan terhadap emiten domestik.
“Proyek sebesar ini akan membuka permintaan lintas sektor, lintas generasi. Kalau investor jeli, ini saat yang tepat mulai mengoleksi saham-saham di sektor konstruksi, logam, dan teknologi sejak dini,” kata Wahyu.(*)