Logo
>

RUU EBT Longgarkan Jalan Batu Bara, Agenda Hijau Dipelintir Kepentingan

Sejumlah pasal dalam RUU EBT dinilai memberi ruang legal bagi PLTU batubara tetap beroperasi. Pengamat menilai transisi energi justru dipelintir jadi alat kompromi kepentingan.

Ditulis oleh Dian Finka
RUU EBT Longgarkan Jalan Batu Bara, Agenda Hijau Dipelintir Kepentingan
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Sulawesi Selatan yang menjadi simbol pengembangan energi terbarukan di Indonesia. RUU EBT dinilai sarat kepentingan dan longgarkan peran PLTU. Pengamat sebut pasal bermasalah jadi celah legal energi fosil tetap berjaya. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Alih-alih jadi penanda revolusi hijau, RUU Energi Baru dan Terbarukan atau RUU EBT justru dianggap memberi jalan mulus bagi PLTU batu bara terus beroperasi. Transisi energi seakan terjebak dalam sirkuit kepentingan bisnis dan politik, bukan visi lingkungan.

Sejumlah pasal dalam draf RUU EBT dinilai kontradiktif dengan semangat dekarbonisasi. Pasal 6 ayat 5 membuka ruang legal untuk tetap memanfaatkan pembangkit energi tak terbarukan selama masa transisi, sementara ayat 6-nya bahkan menetapkan kuota wajib domestic market obligation (DMO) batu bara minimal 30 persen dari rencana produksi, dengan harga maksimum USD70 per ton.

Tambahan lagi, Pasal 44 memperbolehkan perusahaan—termasuk BUMN—membeli sertifikat energi terbarukan (ET) sebagai ganti pemenuhan bauran energi bersih, lengkap dengan kompensasi negara di ayat 5-nya. Kebijakan-kebijakan ini dikhawatirkan menjadi bentuk greenwashing regulatif yang menyelubungi dominasi energi kotor dengan citra transisi.

Pengamat ekonomi Ibrahim Assuaibi menyebut kondisi ini mencerminkan kuatnya tarik-menarik kepentingan politik dan bisnis, terutama dari kelompok yang selama ini diuntungkan oleh industri energi fosil.

"RUU EBT ini kan sebenarnya sudah muncul dari zaman Presiden Jokowi. Tapi kan eksekusinya kemungkinan besar akan terjadi di era Prabowo. Banyak perusahaan-perusahaan energi terbarukan yang sudah listing di bursa, tapi payung hukum definitifnya belum ada," kata Ibrahim kepada KabarBursa.com, Senin, 26 Mei 2025.

Namun, ia menekankan tak sedikit perusahaan yang terlibat dalam pengembangan energi baru dan terbarukan itu juga berasal dari kelompok usaha yang memiliki akar kuat di sektor batu bara. Ini menunjukkan bahwa transformasi energi di Indonesia tidak semudah membalik telapak tangan.

“Perusahaan-perusahaan batu bara besar ada di belakangnya. Bahkan kalau kita lihat politikus yang duduk di DPR, sebagian besar didukung oleh pengusaha batu bara. Jadi wajar kalau banyak pasal dalam RUU ini terkesan kompromistis terhadap PLTU,” ujarnya.

Industri Energi Terbarukan Belum Siap

Ibrahim menyoroti tantangan pembangunan infrastruktur energi terbarukan di berbagai daerah, seperti Jambi, Kalimantan, dan beberapa wilayah di Sumatera. Ia menyebutkan, meskipun semangat transisi energi itu penting, implementasinya di lapangan masih jauh dari ideal.

“Kalau mau bangun pabrik energi terbarukan itu enggak gampang. Perlu investasi besar, teknologinya pun belum merata. Sementara itu, kebutuhan listrik nasional terus meningkat,” ucap dia.

Menurut Ibrahim, peran PLTU batu bara masih menjadi tulang punggung sistem kelistrikan nasional. Ia menilai, jika pembangkit energi fosil itu dihentikan secara drastis, potensi disrupsi pasokan listrik sangat besar. Infrastruktur nasional, katanya, belum cukup siap untuk sepenuhnya mengandalkan energi baru dan terbarukan.

Selain itu, ia juga menekankan dari sisi keekonomian, batu bara masih menawarkan biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan sumber energi lain. Hal inilah yang membuatnya tetap dipertahankan, meski dari sisi lingkungan menuai banyak kritik.

“Energi terbarukan itu mahal. Belum tentu efisien secara ekonomis dalam waktu dekat,” ujarnya.

Menurut Ibrahim, Indonesia bukan satu-satunya negara yang masih bergantung pada batu bara. Bahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara di Eropa pun masih mempertahankan penggunaan batu bara dalam sistem energinya, meskipun mereka gencar menyuarakan isu perubahan iklim.

"Kalau kita lihat saat perang Rusia–Ukraina, ketika Eropa kena embargo energi dari Rusia, mereka akhirnya minta pasokan batu bara dari Afrika dan Asia. Ini membuktikan bahwa batu bara masih jadi sumber energi vital global," jelasnya.

Ia juga mencontohkan China yang menurutnya masih menggunakan batu bara sebagai sumber utama energi meskipun menjadi eksportir utama teknologi energi terbarukan. “Tiongkok 80 persen listriknya itu masih dari PLTU. Mereka cuma kencang di ekspor teknologinya saja, bukan di penggunaan domestik,” ujarnya.

Menariknya, kata Ibrahim, banyak perusahaan energi terbarukan asal China justru membangun usahanya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini karena birokrasi di dalam negeri mereka terlalu ketat. “Mereka lebih pilih bangun pabrik di Indonesia. Karena di sana banyak regulasi, di sini lebih fleksibel,” imbuhnya.

RUU EBT Sarat Kepentingan

Mengenai isi RUU EBT yang memuat insentif untuk konservasi dan kelonggaran izin bagi PLTU, Ibrahim menyebut hal itu merupakan bentuk kompromi dari banyaknya kepentingan politik dan ekonomi yang bersinggungan.

“Kalau kita lihat, RUU ini rumit karena memang banyak kepentingan. Di DPR, kalau enggak didukung bos-bos batu bara, ya susah jalan,” ujar dia blak-blakan.

Ia menyimpulkan proses transisi energi di Indonesia tidak bisa dipaksakan berjalan cepat. Pasalnya, kesiapan infrastruktur dan teknologi belum memadai, sementara permintaan terhadap listrik terus bertumbuh.

“Kalau undang-undangnya dirancang terburu-buru tanpa memperhatikan realita lapangan, justru bisa kontraproduktif. Jadi ya wajar kalau masih ada ruang buat PLTU selama transisi,” kata Ibrahim.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.