KABARBURSA.COM - Di tengah upaya merealisasikan Program 3 Juta Rumah yang sedang digencarkan pemerintah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengungkapkan bahwa sekitar 40 persen perumahan di Indonesia masih minim menyediakan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum).
Dengan fakta ini, apakah target membangun rumah sebanyak 3 juta per tahun akan semakin memperburuk persoalan fasos/fasum?
Menanggapi itu, Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menjelaskan bahwa minimnya fasos dan fasum lebih sering terjadi pada perumahan skala kecil yang dikembangkan secara sporadis oleh pihak swasta.
Menurut Bambang, pengembang skala kecil ini seringkali hanya membangun 20 hingga 30 unit rumah, sehingga proses perizinannya tidak sampai ke tingkat kota atau pusat.
“Yang mungkin terkadang yang menimbulkan masalah itu adalah pengembang-pengembang swasta dan sifatnya sporadis. Mereka membangun perumahan dalam skala kecil,” kata Bambang kepada Kabar Bursa, Kamis, 7 November 2024.
Bambang menegaskan, sebagai pengembang besar, REI tidak mungkin mengabaikan penyediaan fasilitas fasum dan fasos.
“Saat kami mengajukan perizinan untuk pembangunan, ada rencana yang harus kami penuhi, termasuk koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), serta sarana fasos dan fasum yang harus dibangun sebagai bagian dari infrastruktur,” jelasnya.
Justru, kata Bambang, program pemerintah yang akan membangun 3 juta rumah sangat relevan dengan kebutuhan pasar yang besar, mengingat backlog perumahan di Indonesia mencapai 9,9 juta unit.
“Artinya, ada jutaan orang yang membutuhkan hunian yang layak huni,” ujar Bambang.
Namun, Bambang mengimbau agar ke depannya pembangunan perumahan harus memperhatikan aspek kenyamanan dan kesejahteraan penghuni di masa depan.
Dia menekankan, dalam membangun perumahan, lokasi yang dipilih harus didukung dengan infrastruktur yang memadai. Katanya, tidak hanya membangun perumahan saja, tetapi juga memperhatikan fasilitas pendukung seperti transportasi, pendidikan, hingga tempat rekreasi dan arena berolahraga.
“Selain itu, fasilitas pendidikan seperti gedung Taman Kanak-kanak (TK), SD, SMP merupakan kebutuhan minimum yang harus dipenuhi,” tuturnya.
Khususnya, sarana transportasi yang memadai. Dia menilai, tanpa akses transportasi yang baik, penghuni perumahan akan menghadapi kesulitan mobilitas dan harus mengandalkan kendaraan pribadi. Hal ini justru berpotensi menyebabkan kemacetan.
“Itu akan menjadi problem besar. Anda bisa bayangkan, misalnya membangun perumahan di satu wilayah tapi transportasi umum ke wilayah itu belum ada, ini akan memberatkan masyarakat,” ucap Bambang.
Selain itu, Bambang juga menyoroti ketersediaan jaringan air bersih dan listrik. Katanya, pembangunan perumahan di wilayah yang belum didukung oleh pasokan air bersih dan listrik hanya akan mempersulit masyarakat yang menempati.
Perihal adanya kekhawatiran dengan pembangunan properti secara masif yang berpotensi akan memicu munculnya “kota hantu” di Indonesia, menurutnya tidak perlu dikhawatirkan. Dia kembali menegaskan, jumlah masyarakat yang membutuhkan lebih banyak dari ketersediaan rumah.
“Kekhawatiran bahwa properti ini akan dibangun secara masif dan menjadi “kota hantu” seperti di beberapa negara lain belum akan terjadi di Indonesia, karena kebutuhan perumahan kita masih sangat tinggi,” tuturnya.
Justru, katanya, hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk memastikan agar proyek 3 juta rumah ini tidak memperburuk kondisi ketersediaan fasos dan fasum di perumahan, apalagi munculnya “kota hantu”.
Status Lahan Program 3 Juta Rumah HGB
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menanggapi soal status lahan yang digunakan Program 3 Juta Rumah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB).
Bambang menjelaskan, SHM merupakan level tertinggi dalam kepemilikan tanah di Indonesia, dan hanya dapat dimiliki oleh individe, bukan oleh perusahaan.
“Antara HGB dengan hak milik (SHM) itu yang membedakan adalah, kalau perusahaan tidak akan pernah bisa mendapatkan hak milik, karena hak milik itu hanya bisa dimiliki oleh pribadi,” kata Bambang.
Namun, bagi masyarakat yang membeli properti di atas lahan HGB memiliki opsi untuk meningkatkan status kepemilikan setelah proses pembeliannya selesai.
“Jadi sepanjang kepemilikannya itu jelas, lalu alasnya HGB setelah dibeli oleh konsumen, dalam hal ini pembeli properti setelah lunas, maka konsumen bisa mengubah menjadi sertifikat setelah mungkin dijaminkan ke bank,” terangnya.
Bambang pun menjelaskan bahwa dalam konteks kepemilikan hak atas tanah, terdapat beberapa tingkatan, mulai dari yang tertinggi yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM), diikuti oleh Hak Guna Bangunan (HGB), lalu Hak Guna Usaha (HGU), dan terakhir Hak Pakai.
“Sebenarnya kalau kita bicara hak ada empat atau lima layer, tertinggi tentu SHM, Sertifikat Hak Milik. Satu tingkat di bawahnya HGB, di bawahnya lagi itu ada HGU, dan terendah Hak Pakai,” papar Bambang.
Namun, jika sebuah lahan yang berstatus HGB berada di atas status Hak Pakai, maka tidak bisa diubah menjadi SHM.
“Karena Hak Pakai adalah hak yang paling rendah dalam hirarki kepemilikan tanah. Jadi, jika HGB berada di atasnya maka tidak dapat ditingkatkan statusnya menjadi hak milik,” terang Bambang.
Meski begitu, jika status HGB tidak dapat ditingkatkan menjadi SHM karena berada di atas lahan Hak Pakai, kepemilikan atas HGB tersebut tetap sah dan tidak akan hilang.
“Selama proses pembeliannya dilakukan secara sah, status HGB akan tetap berlaku, dan pemiliknya memiliki hak untuk menggunakan lahan tersebut sesuai dengan ketentuan, meski tidak memiliki hak penuh,” jelasnya.
Dengan kata lain, selama prosedur legalitasnya dipenuhi, pemilik lahan dengan status HGB tetap memiliki hak atas properti tersebut tanpa ada perubahan kepemilikan yang mengganggu.
Karena itu, menurut Bambang, status HGB bukanlah isu utama, asalkan kepemilikan tanah tersebut sah dan jelas.
“HGB akan tetap menjadi HGB dan kepemilikannya tidak akan hilang selama dibeli secara sah. Jadi, ini bukan masalah besar,” pungkas Bambang. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.