KABARBURSA.COM - Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, menyoroti penyebab utama turunnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Dalam rapat kerja bersama Kementerian Investasi/BKPM, ia memaparkan lima kebijakan pemerintah yang diduga menjadi penyebab utama fenomena tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia turun menjadi 47,85 juta jiwa atau 17,13 persen dari total populasi pada tahun 2024, dibandingkan 57,33 juta jiwa atau 21,45 persen pada tahun 2019. Di sisi lain, data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Januari-Agustus 2024 mencapai 46.240 orang. Sepanjang 2023 lebih besar lagi, totalnya mencapai 57.923 orang.
Amin menyebut beberapa studi menunjukkan pemerintah lebih memusatkan perhatian pada kelompok masyarakat kelas bawah dan atas, sementara kelas menengah kurang diperhatikan.
"Sejauh ini, menurut penilaian para ahli, kebijakan pemerintah lebih fokus pada 20 persen kelompok masyarakat terbawah dan 10 persen kelompok ekonomi teratas. Jadi, kelas menengah ini kurang mendapatkan perhatian," ujar Amin dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 September 2024.
Amin menambahkan, kebijakan-kebijakan yang diberlakukan justru semakin membebani kelas menengah. Ia membeberkan lima kebijakan utama yang menjadi sorotan. Pertama, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku pada 2025.
Kedua, rencana pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang dijadwalkan mulai diterapkan pada 1 Oktober 2024. Ketiga, penyesuaian subsidi tarif Kereta Rel Listrik (KRL).
Keempat, iuran dana pensiun tambahan yang dinilai memberatkan kelas pekerja. Terakhir, kebijakan mengenai asuransi wajib Third Party Liability (TPL) yang juga dianggap membebani.
"Semua (kebijakan ini) menyasar kelas menengah. Data BPS tahun 2019 menunjukkan jumlah kelas menengah kita 57 juta orang, dan sekarang turun menjadi 47 juta. Artinya, ada penurunan 10 juta orang," tegas politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.
Lebih lanjut, Amin menyatakan kebijakan tersebut juga berdampak pada Kementerian Investasi/BKPM yang kini memiliki tanggung jawab lebih besar untuk menciptakan lapangan kerja melalui peningkatan investasi. “Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi Kementerian Investasi," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Investasi/BKPM, Rosan Roeslani, mengakui peran kementeriannya sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di bawah pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"Memang kalau kita lihat investasi sebetulnya akan menjadi salah satu ujung tombak untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia ke depannya, apalagi kita ketahui bersama, target dari Presiden terpilih, Pak Prabowo, adalah untuk me capai 8 persen," ungkapnya.
Rosan berharap tambahan anggaran sebesar Rp681 miliar menjadi sekitar Rp800 miliar untuk Kementerian Investasi/BKPM dapat disetujui oleh DPR. Tambahan ini diharapkan dapat mempercepat realisasi target investasi sebesar Rp1.905 triliun pada 2025.
"Dukungan dari pimpinan dan juga anggota dewan terhormat Komisi VI, anggaran itu bisa ditingkatkan dari yang Rp600 miliar ini menjadi tambahan kurang lebih Rp 800 miliar. Sehingga, ke depannya memang target yang tadinya di canangkan kurang lebih Rp1.905 triliun pada tahun 2025 ini dapat kami capai," harapnya.
Kelas Menengah Merosot Sejak Pandemi
Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, sebelumnya mengungkapkan jumlah kelas menengah di Indonesia telah mengalami penurunan signifikan sejak pandemi Covid-19. Jumlah masyarakat yang tergolong kelas menengah menyusut menjadi 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi pada 2024. Penurunan ini diiringi dengan meningkatnya jumlah kelompok kelas menengah yang sedang berkembang atau aspiring middle class, yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah.
Amalia menyebutkan bahwa kelompok aspiring middle class berjumlah 137,5 juta orang atau 49,22 persen dari total populasi. "Kelompok yang berjumlah 137,5 juta ini sebenarnya bisa di-upgrade menjadi kelas menengah dengan mudah," jelasnya.
Amalia menambahkan, pada 2021, jumlah kelas menengah tercatat 58,83 juta orang atau 19,28 persen dari populasi, namun dalam tiga tahun terakhir, jumlah tersebut menyusut sekitar 5,98 juta orang. Penurunan ini merupakan dampak jangka panjang pandemi yang sering disebut sebagai scarring effect terhadap stabilitas kelas menengah.
"Dampak pandemi sangat terasa, dengan pengurangan yang signifikan dalam jumlah kelas menengah. Pada tahun 2021, jumlah kelas menengah adalah 53,83 juta orang, atau 19,82 persen dari populasi,” ungkap Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu 28 Agustus 2024.
Dari segi pekerjaan, 57 persen kelas menengah bekerja di sektor jasa, 22,98 persen di sektor industri, dan 19,97 persen di sektor pertanian. Perubahan struktur ekonomi ini turut memengaruhi pendapatan kelas menengah.(*)