KABARBURSA.COM - Di tengah ketegangan geopolitik dan persaingan ekonomi global, Amerika Serikat (AS) tengah merancang strategi baru: menggunakan kebijakan tarif sebagai alat untuk mengisolasi China.
Langkah ini bertujuan menggalang dukungan lebih dari 70 negara mitra dagang, agar mereka ikut menekan China dengan tidak membuka celah perdagangan yang bisa dimanfaatkan Negeri Tirai Bambu untuk menghindari tarif dari Washington.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana melihat absennya Indonesia dalam agenda kunjungan Xi sebagai sinyal yang patut dicermati. Apalagi dalam konteks wacana isolasi China oleh AS, posisi Indonesia bisa berada dalam risiko yang dilematis.
“Selama ini Indonesia telah bertindak submisif dengan permintaan AS agar tarif ke Indonesia bisa dikurangi. Namun, jika nanti AS meminta Indonesia untuk ikut mengisolasi China, maka ini akan menjadi permintaan yang lebih sulit karena China hari ini bagi perdagangan Indonesia posisinya jauh lebih lebih penting daripada AS,” ujar Andri kepada kabarbursa.com, Kamis, 17 April 2025.
Andri mengungkapkan China tercatat sebagai negara tujuan ekspor sekaligus sumber impor terbesar bagi Indonesia. Artinya, permintaan AS untuk turut mengisolasi China berpotensi merugikan kepentingan ekonomi nasional, apalagi jika Indonesia tunduk tanpa syarat.
Lebih lanjut, Andri mengingatkan bahwa jika Indonesia tetap menunjukkan sikap terlalu patuh terhadap tekanan AS, maka bisa saja justru Indonesia yang akan tersingkir dari peta strategi dagang regional.
“Jika Indonesia semakin bertindak submisif (tunduk) dengan AS dan bahkan mempertimbangkan tawaran AS untuk mengisolasi China tersebut, maka ini akan berdampak negatif bagi posisi Indonesia di mata mitra-mitra dagang China dan bisa jadi malah Indonesia yang ikut terisolasi,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa wacana isolasi China oleh AS memang tampak masuk akal di atas kertas, tetapi akan sulit diimplementasikan oleh banyak negara.
Bila ada yang setuju, kata dia, jumlahnya kemungkinan sangat sedikit. Indonesia, menurut Andri, sebaiknya tidak ikut dalam kelompok kecil tersebut.
“Wacana AS tersebut walaupun tampak plausibel di atas kertas namun akan sulit dilaksanakan untuk efektif dilakukan oleh banyak negara, dan andaikan ada yang bersedia sekalipun, jumlahnya akan sedikit. Indonesia sebaiknya tidak termasuk dalam sedikit negara tersebut dan sudah semestinya berhenti berperilaku submisif terhadap AS,” jelasnya.
Andri juga menyayangkan sikap Indonesia yang seolah terlalu yakin bisa mengambil untung dari konflik dagang antara dua kekuatan besar dunia. Menurutnya, alih-alih menjadi pemain netral, Indonesia justru terlihat seperti pihak yang melayani dua tuan sekaligus.
“Indonesia sangat dipertanyakan seberapa kuat pendirian Indonesia untuk bisa menyebut dirinya netral. Alih-alih berlagak sebagai pemain netral yang mengambil kesempatan dalam pertarungan dua pemain besar, Indonesia jauh lebih mudah diperlakukan menjadi bawahan yang melayani dua tuan,” kata dia.
Perlawanan China di Sektor Otomotif
Uni Eropa dan China tengah membuka jalur negosiasi baru yang bisa menjadi titik balik perdagangan kendaraan listrik di pasar global. Negosiasi pemerintah China dan Uni Eropa ini ditempuh untuk menghadapi dampak kebijakan tarif impor baru dari Presiden AS.
Langkah tersebut dinilai dapat memperkuat posisi produsen kendaraan listrik China di pasar Eropa sekaligus memperkecil akses impor produk electric vehicle (EV) buatan Eropa ke Amerika Serikat (AS).
Media asal Jerman, Handelsblatt melaporkan, pihak Eropa dan China tengah membahas penetapan harga dasar (floor price) untuk ekspor kendaraan listrik China ke Eropa. Langkah ini menjadi alternatif dari skema tarif tinggi AS yang saat ini diberlakukan Uni Eropa.
Juru Bicara Uni Eropa mengonfirmasi bahwa belum lama ini Komisaris Perdagangan Maros Sefcovic, dan Menteri Perdagangan China Wang Wentao telah mengadakan pertemuan. Keduanya sepakat pembukaan pembicaraan resmi untuk mengevaluasi kemungkinan penerapan sistem harga dasar bagi mobil listrik China yang memasuki pasar Eropa.
Dari pihak China, Wang Wentau menyatakan bahwa negosiasi akan segera dimulai sebagai bentuk keseriusan Tiongkok dalam mencari titik temu perdagangan dengan Brussels, Belgia.
Sementara itu, Komisaris Sefcovic menyatakan bahwa skema harga dasar mobil listrik tersebut harus menawarkan efektivitas dan akuntabilitas yang setara dengan tarif saat ini, yang sejak Oktober 2023 dikenakan hingga 45,3 persen terhadap kendaraan listrik buatan China.
Tarif tinggi ini sebelumnya memicu respons balasan dari Beijing, China salah satunya berupa penyelidikan terhadap ekspor cognac atau minuman beralkohol dari Prancis dari merek-merek seperti Hennessy dan Rémy Martin.
Lebih lanjut, digelarnya negosiasi China dan Uni Eropa ini tidak terlepas dari kebijakan tarif impor baru yang diumumkan Donald Trump, yang berencana menerapkan pajak tambahan pada barang-barang asal China sambil menangguhkan tarif terhadap negara lain selama 90 hari atau selama tiga bulan.
Langkah proteksi Trump, kini telah menciptakan efek domino. Dengan pasar AS yang kian tertutup bagi produsen China, seperti BYD, SAIC, hingva Geely, fokus ekspor mereka kini bergeser ke Eropa, di mana peluang pasar masih terbuka meskipun diikuti dengan perang dagang.
“Ini adalah contoh klasik dari trade diversion. Ini karena pasar AS secara efektif tertutup bagi kendaraan China melalui tarif yang bersifat menghukum, para produsen menggandakan usahanya di pasar lain yang hambatannya masih dapat diatasi," ujar seorang Analis Perdagangan Internasional yang identitasnya tidak ingin disebutkan.(*)