KABARBURSA.COM – Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti potensi dampak kebijakan proteksionisme Amerika Serikat terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Menurutnya, kebijakan perdagangan yang semakin tertutup di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump dapat memperburuk ketidakstabilan ekonomi dunia.
"Kebijakan 'America First' yang semakin proteksionis mengarah ke tindakan sepihak dan kurang kooperatif. IMF dan OECD menilai risiko deglobalisasi akan semakin besar," ujar Sri Mulyani dalam Mandiri Investment Forum 2025 di Jakarta, Selasa 11 Februari 2025
Ia mengingatkan bahwa kebijakan tarif tinggi terhadap baja dan aluminium yang diterapkan AS bisa mengganggu rantai pasok global. Ketidakpastian ini, kata dia, berpotensi membuat ekonomi dunia melemah atau stagnan pada 2025.
Sri Mulyani menegaskan bahwa dinamika ekonomi global saat ini jauh dari kata stabil. Proteksionisme AS bukan hanya memukul negara-negara yang terkena tarif langsung, seperti Kanada, Meksiko, dan China, tetapi juga berdampak lebih luas ke perekonomian dunia.
"Baru-baru ini, kalian mungkin mengikuti kebijakan yang tidak hanya menerapkan tarif bagi Kanada, China, dan Meksiko, tetapi juga kebijakan terbaru yang mengenakan tarif sebesar 25 persen terhadap baja dan aluminium," katanya.
Ia menambahkan, kebijakan perdagangan yang semakin tertutup ini dapat memicu ketegangan ekonomi global yang lebih besar. Sri Mulyani menyebut bahwa para ekonom dan lembaga internasional seperti IMF dan OECD memperkirakan deglobalisasi akan semakin dalam, dengan semakin banyak negara yang menerapkan kebijakan proteksionis serupa.
Di tengah situasi ini, Indonesia harus bersiap menghadapi dampak negatif, terutama dalam sektor perdagangan dan investasi. "Gangguan dan ketegangan ekonomi global menjadi sesuatu yang diperkirakan akan terus terjadi," tambahnya.
Selain risiko proteksionisme, Sri Mulyani juga menyoroti volatilitas harga komoditas yang dapat berdampak langsung pada ekonomi Indonesia. Ia menyebut bahwa tahun 2024 merupakan periode sulit bagi negara-negara yang bergantung pada ekspor sumber daya alam, termasuk Indonesia.
"Tahun lalu sebenarnya merupakan tahun terberat dalam hal koreksi harga komoditas. Kita bisa melihat bahwa 2024 cukup menekan dari segi dampak harga komoditas terhadap ekonomi kita," kata dia.
Fluktuasi harga komoditas, ditambah dengan ketidakpastian kebijakan ekonomi global, menjadi tantangan besar bagi pemerintahan baru dalam menyusun strategi pertumbuhan ekonomi. Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus tetap adaptif dan efektif dalam menghadapi tekanan eksternal.
“Harga komoditas masih cenderung lemah dan fluktuatif, yang tentu juga berdampak pada perekonomian Indonesia,” terangnya.
Menuju Transisi Energi Bersih
Ketika dunia berlomba menuju transisi energi bersih, jalan yang ditempuh tampaknya tak akan mulus. Di satu sisi, teknologi hijau terus berkembang pesat, dari turbin angin hingga panel surya. Di sisi lain, hambatan mulai bermunculan, salah satunya dari proteksionisme ekonomi Amerika Serikay (AS).
CEO Broken Hill Proprietary (BHP), Mike Henry, menilai kebijakan proteksionisme AS di bawah presiden terpilih Donald Trump, termasuk tarif impor dan risiko perang dagang global, sebagai ancaman besar bagi perkembangan energi hijau. Henry mengatakan langkah Trump ini berpotensi memperlambat mobilisasi modal untuk pengembangan logam dan mineral yang dibutuhkan dalam transisi energi.
BHP yang berbasis di Australia merupakan pemilik tambang tembaga terbesar di dunia. Logam ini menjadi komponen kunci untuk teknologi seperti kabel listrik, turbin angin, dan panel surya. Namun, ancaman dari kebijakan proteksionisme AS membuat banyak negara enggan mengejar transisi energi secara agresif.
“Perlambatan ini menjadi tantangan besar, terutama di tengah rantai pasok yang sudah tertekan dan lambatnya pengembangan proyek energi bersih,” ujar Henry, dikutip dari Financial Times di Jakarta, Kamis, 26 Desember 2024.
Transisi energi memang mencatat kemajuan signifikan. Kapasitas energi terbarukan meningkat lebih dari 60 persen pada 2023, rekor tertinggi dalam sejarah. Namun, pertumbuhan ini terhambat oleh suku bunga tinggi, masalah rantai pasok, dan kekhawatiran kebijakan baru Trump, termasuk janji tarif impor hingga 60 persen untuk produk dari China—pasar utama BHP.
“Pasokan logam dan mineral sangat penting, bukan hanya untuk transisi energi, tetapi juga untuk pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan peningkatan standar hidup. Ini harus dipenuhi dengan biaya serendah mungkin dan dalam waktu sesingkat mungkin,” ujar Henry.
Henry menegaskan pentingnya logam seperti tembaga untuk mendukung pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan standar hidup yang lebih tinggi. BHP pun mengarahkan portofolionya pada tren masa depan dengan fokus utama pada tembaga. “Kami sudah memiliki cadangan tembaga terbesar di dunia, tetapi komoditas ini begitu menarik hingga kami ingin terus bertumbuh,” katanya.(*)