Logo
>

Apakah Nilai Rencana Redenominasi Rupiah Tak Beri Nilai Tambah Ekonomi?

Redenominasi tidak mengubah daya beli. Tidak mengubah pendapatan riil. Tidak mengubah harga relatif. Tidak menciptakan lapangan kerja

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Apakah Nilai Rencana Redenominasi Rupiah Tak Beri Nilai Tambah Ekonomi?
Ilustrasi Mata Uang Garuda. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai rencana pemerintah untuk mendorong redenominasi rupiah tidak akan membawa dampak positif terhadap perekonomian nasional. Menurutnya, kebijakan ini bersifat administratif dan simbolik semata tanpa memberikan manfaat struktural bagi peningkatan daya saing ekonomi Indonesia.

    Dalam rencana yang kembali mencuat ke publik, pemerintah berencana mengubah nilai Rp1.000 menjadi Rp1. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa disebut tengah menyiapkan rancangan undang-undang terkait redenominasi. Namun, Syafruddin mempertanyakan urgensi kebijakan tersebut di tengah tantangan ekonomi yang lebih mendasar.

    “Redenominasi tidak mengubah daya beli. Tidak mengubah pendapatan riil. Tidak mengubah harga relatif. Tidak menciptakan lapangan kerja. Tidak memperkuat struktur industri. Hanya mengubah angka yang tercetak di uang kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak,” tegas Syafruddin dalam keterangannya yang dikutip Senin 10 November 2025.

    Ia menekankan, penyederhanaan nominal rupiah memang dapat mempermudah sistem pencatatan, tetapi tidak terbukti meningkatkan investasi maupun produktivitas. Menurutnya, keuntungan yang dijanjikan lebih bersifat psikologis dan simbolik ketimbang ekonomi riil.

    “Stabilitas ekonomi sejati dibangun dari pondasi yang jauh lebih dalam: produktivitas, kredibilitas fiskal, dan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Syafruddin menyoroti bahwa redenominasi justru berpotensi menimbulkan biaya besar tanpa manfaat nyata. Pemerintah dan pelaku usaha harus menanggung ongkos pencetakan ulang uang, pembaruan sistem perbankan, penyesuaian kontrak, serta sosialisasi nasional agar masyarakat tidak salah persepsi.

    “Selama masa transisi, akan terjadi duplikasi mata uang lama dan baru yang berjalan berdampingan. Ini menimbulkan potensi kekacauan administratif, keraguan konsumen, bahkan peluang kecurangan,” jelasnya.

    Ia juga mengingatkan risiko terjadinya money illusion — kondisi ketika masyarakat merasa harga turun karena nominal angka berkurang, padahal daya beli tidak berubah. Menurutnya, hal ini bisa memicu kebingungan publik dan mengganggu kepercayaan terhadap sistem harga.

    Syafruddin menilai, di banyak negara, redenominasi dilakukan karena kondisi ekonomi ekstrem seperti hiperinflasi. Sementara itu, Indonesia saat ini tidak menghadapi situasi serupa. “Inflasi tahunan berada dalam kisaran terkendali. Tidak ada urgensi ekonomi yang menuntut penghapusan nol,” katanya.

    Daripada fokus pada perubahan nominal, ia menilai pemerintah seharusnya memusatkan perhatian pada upaya peningkatan produktivitas nasional. “Target menuju pertumbuhan 8 persen per tahun bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi sebuah keharusan untuk keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah,” ujarnya.

    Syafruddin menjelaskan bahwa peningkatan produktivitas hanya bisa dicapai melalui reformasi struktural seperti perbaikan infrastruktur, penguatan sumber daya manusia, kepastian hukum, serta pemberantasan korupsi. Ia menegaskan, “Produktivitas nasional tidak akan membaik hanya karena angka di mata uang dirapikan.”

    Lebih lanjut, ia menilai redenominasi tidak akan menciptakan insentif baru bagi investasi asing, tidak memperkuat daya saing ekspor, dan tidak membuka lapangan kerja baru. “Artinya, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk menjalankan proses redenominasi adalah opportunity cost yang merampas anggaran dari program yang lebih strategis,” ungkapnya.

    Syafruddin juga mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak pada kebijakan yang bersifat simbolik. “Kebijakan ekonomi tidak boleh sekadar mengikuti selera simbolik atau keinginan terlihat modern. Apalagi jika yang dikorbankan adalah stabilitas fiskal dan konsentrasi pemerintah terhadap program pembangunan jangka panjang,” katanya.

    Ia menegaskan bahwa memperkuat rupiah tidak bisa dilakukan melalui perubahan kosmetik, tetapi melalui kebijakan yang memperbaiki fundamental ekonomi. “Jika benar pemerintah ingin memperkuat rupiah, maka lakukan dengan memperkuat fundamental ekonomi: tekan inflasi, perkuat neraca perdagangan, kelola utang secara hati-hati, dan tingkatkan efisiensi belanja negara,” ucapnya.

    Sebagai penutup, Syafruddin menilai redenominasi justru berpotensi mengalihkan perhatian pemerintah dari agenda besar yang lebih penting. “Wacana redenominasi adalah bentuk kegagalan memprioritaskan yang esensial. Daripada sibuk dengan tiga angka nol di mata uang, lebih baik pemerintah sibuk dengan reformasi struktural,” tegasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.