Logo
>

Pengangguran Turun, tapi Kondisi Ketenagakerjaan Memburuk

Pencermatan atas berbagai data tersebut mengindikasikan kondisi yang sebenarnya tidak membaik, bahkan cenderung memburuk

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Pengangguran Turun, tapi Kondisi Ketenagakerjaan Memburuk
Ilustrasi Pekerja Kawasan Sudirman. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2025 sebesar 4,85 persen, menurun tipis dari tahun sebelumnya yang berada di level 4,91 persen. Namun, penurunan ini dinilai ekonom Bright Institute Awalil Rizky tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ketenagakerjaan yang membaik.

    Menurutnya, meskipun persentase pengangguran turun, jumlah penganggur nyatanya nyaris tidak berubah, hanya berkurang sekitar 4 ribu orang menjadi 7,46 juta orang. “Artinya, penurunan TPT lebih disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang meningkat,” jelas Awalil dalam keterangannya, Senin, 10 November 2025.

    Ia menilai, jika melihat lebih dalam pada berbagai data BPS seperti jam kerja, sektor usaha, status pekerjaan, hingga setengah pengangguran, kondisi tenaga kerja Indonesia justru menunjukkan arah yang mengkhawatirkan. “Pencermatan atas berbagai data tersebut mengindikasikan kondisi yang sebenarnya tidak membaik, bahkan cenderung memburuk,” ujarnya.

    Awalil menjelaskan, fenomena ini sejalan dengan paradoks ketenagakerjaan di negara berkembang. Di negara maju, tingkat pengangguran yang rendah umumnya disertai dengan kemiskinan yang rendah pula. Namun di negara berkembang seperti Indonesia, rendahnya angka pengangguran justru bisa menutupi masalah kemiskinan yang sesungguhnya.

    “Bahkan, pengangguran merupakan kondisi mewah, karena hanya mereka yang mempunyai tabungan atau pendapatan di luar pekerjaan yang bisa menganggur. Sementara mereka yang miskin, tidak bisa menganggur, mereka harus bekerja apa saja untuk dapat hidup (too poor to be unemployed),” kata Awalil.

    Ia juga menyoroti tingginya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 70,59 persen pada Agustus 2025, yang menjadi indikasi keterpaksaan ekonomi. Menurutnya, banyak warga usia kerja terpaksa masuk pasar tenaga kerja bukan karena peluang yang terbuka, melainkan karena kebutuhan hidup yang mendesak.

    Dari sisi sektoral, sektor pertanian kini menampung hingga 41,25 juta tenaga kerja — jumlah tertinggi dalam dua dekade terakhir. Awalil menilai sektor ini menjadi penampung utama tenaga kerja karena minimnya kesempatan di sektor lain.

    “Bisa dikatakan, sektor ini terpaksa menampung banyak tenaga kerja melampaui kapasitasnya untuk memberi imbalan kerja yang wajar,” tuturnya.

    Kondisi pekerja keluarga atau tidak dibayar juga menjadi perhatian. Data BPS menunjukkan jumlah pekerja keluarga mencapai 18,99 juta orang, meningkat signifikan dibandingkan 14,76 juta orang pada 2019. Mereka tercatat sebagai ‘bekerja’ menurut definisi BPS, meski dalam praktiknya banyak yang tidak memperoleh penghasilan langsung.

    Sementara itu, tingkat pengangguran justru meningkat di kalangan berpendidikan tinggi. Pada Agustus 2025, tingkat pengangguran untuk lulusan Diploma hingga S3 mencapai 5,39 persen, naik dari 5,25 persen pada tahun sebelumnya.

    “Sebagian pekerjaan yang tersedia kurang layak dan lebih untuk yang berpendidikan rendah. Diperburuk fenomena banyak orang yang melanjutkan sekolah tinggi dengan harapan setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai, namun lapangan pekerjaan yang terbuka untuk itu pun masih belum sesuai dengan harapan,” papar Awalil.

    Selain itu, upah riil pekerja juga mengalami tekanan. Meskipun upah rata-rata buruh meningkat 1,94 persen dari Rp3,27 juta menjadi Rp3,33 juta per bulan, inflasi yang mencapai 2,31 persen,  khususnya pada kelompok makanan dan minuman sebesar 3,99 persen,  membuat daya beli pekerja justru menurun.

    Secara keseluruhan, Awalil menilai penurunan angka pengangguran tidak cukup menggambarkan perbaikan ekonomi nasional. Banyak warga bekerja dalam kondisi yang tidak layak dan tanpa perlindungan sosial yang memadai.

    “Secara umum bisa disimpulkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia tidak cukup mencerminkan kondisi ketenagakerjaan yang sebenarnya memburuk. Banyak dari mereka yang bekerja sebenarnya belum mempunyai pekerjaan yang layak,” tegasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.