KABARBURSA.COM – Rencana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah kembali menjadi sorotan setelah kembali diwacanakan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Isu tersebut sebenarnya bukan hal baru. Gagasan redenominasi telah muncul sejak masa kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020–2024.
Dalam dokumen tersebut, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) mencantumkan Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah sebagai bagian dari agenda reformasi sistem keuangan nasional. Konsepnya adalah menghapus tiga angka nol pada pecahan uang, sehingga Rp1.000 menjadi Rp1, tanpa mengubah nilai tukarnya terhadap barang dan jasa.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah daya beli atau harga barang. Artinya, redenominasi berbeda dengan sanering, yang pernah dilakukan pada 1959 ketika pemerintah memangkas nilai uang hingga 90 persen demi menekan inflasi.
Menilik laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan menegaskan, tujuan utama redenominasi adalah efisiensi transaksi dan penyederhanaan pembukuan. Dalam praktiknya, masyarakat Indonesia bahkan sudah terbiasa dengan bentuk informal redenominasi, misalnya penulisan harga di restoran dan pusat perbelanjaan menggunakan satuan “K” untuk ribuan rupiah.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai wacana redenominasi kali ini justru mengandung risiko politis dan simbolik. Ia menilai langkah tersebut tidak tepat dilakukan di tengah kondisi ekonomi domestik yang belum sepenuhnya pulih.
“Ketika ekonomi masih rapuh akibat tekanan daya beli dan stagnasi investasi, redenominasi terasa seperti mengganti baju di tengah badai. Ia mempercantik tampilan, tapi tidak memperkuat fondasi,” ujar Achmad pada Senin, 10 November 2025.
Menurutnya, penyederhanaan nominal mata uang memang bisa memudahkan transaksi dan memperkuat citra rupiah di mata internasional. Namun, kebijakan tersebut tidak menjawab masalah mendasar seperti pengangguran, daya beli masyarakat, dan kualitas pelayanan publik.
“Purbaya tampaknya ingin menciptakan simbol kemajuan bahwa Indonesia setara dengan negara-negara yang berdenominasi kecil. Padahal yang dibutuhkan rakyat bukan simbol kemajuan, tetapi kebijakan yang memperbaiki kehidupan mereka secara nyata,” lanjut Achmad.
Ia menegaskan bahwa redenominasi baru akan bermanfaat jika dilakukan pada saat stabilitas ekonomi, inflasi, dan kepercayaan publik berada pada level tinggi. “Tanpa prasyarat itu, redenominasi hanya menjadi kebijakan kosmetik. Kemenkeu seharusnya fokus pada tiga hal: mengatasi pengangguran, menjaga daya beli, dan memperbaiki kualitas layanan publik,” ujarnya.
Menurutnya penerapan redenominasi memang memerlukan waktu panjang dan sosialisasi intensif. Bank Indonesia memperkirakan transisi menuju sistem baru bisa memakan waktu tujuh hingga sepuluh tahun agar tidak menimbulkan kebingungan harga maupun inflasi ekspektasi di masyarakat.
Dengan tekanan ekonomi global dan nilai tukar rupiah yang masih berada di kisaran Rp16.000 per USD, Achmad menyebut wacana redenominasi saat ini lebih mencerminkan ambisi politik ekonomi ketimbang kebutuhan struktural.
“Jika motifnya untuk menjaga martabat rupiah, martabat itu hanya lahir dari ekonomi yang kuat, bukan dari berapa nol yang tertera di uang. Redenominasi yang sejati adalah keberanian untuk menambah tiga nilai dasar kebijakan publik: keberpihakan, keberlanjutan, dan keadilan sosial,” tegasnya.(*)