KABARBURSA.COM - Satu dekade lalu, sektor properti dianggap sebagai instrumen investasi yang sangat menjanjikan. Banyak investor yang melihat properti sebagai aset yang stabil dan menguntungkan untuk jangka panjang. Namun, apakah saat ini properti masih menjadi pilihan instrumen investasi yang tepat bagi investor ritel?
Founder Triniti Land, Bong Chandra, menjelaskan bahwa saat ini, secara realistis, seorang investor ritel sebaiknya tidak berinvestasi di properti. Menurutnya, kondisi pasar properti saat ini tidak seideal dahulu.
Dia menilai, harga properti yang terus meningkat tanpa diiringi oleh kenaikan pendapatan yang signifikan membuat properti menjadi kurang terjangkau bagi investor ritel.
"Saya being realistic, kalau masanya, cycle-nya bukan properti, individual investor tidak terlalu saya anjurkan untuk investasi di properti. Kalau kita bicara 2010-2014 itu bisa," kata Bong Chandra di Jakarta, Sabtu, 13 Juli 2024.
Baginya, sekarang ini sektor properti lebih dilihat sebagai instrumen yang bertujuan melindungi kekayaan daripada menghasilkan keuntungan besar.
"Saat ini, properti lebih cocok sebagai instrumen untuk melindungi kekayaan daripada untuk mendapatkan keuntungan cepat," jelasnya.
Menurut dia, seseorang yang telah mencapai tingkat karir tertentu memiliki kebutuhan untuk menyimpan kekayaan dalam berbagai bentuk investasi. Bentuk investasi ini meliputi emas, saham, atau properti.
Sektor properti diproyeksikan akan menjadi pilihan utama karena bisnis ini memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami goncangan yang dalam dibandingkan dengan saham atau emas.
Investasi di sektor properti cenderung lebih stabil, karena permintaan akan hunian dan ruang komersial selalu ada, meskipun kondisi ekonomi berfluktuasi.
"Kemungkinan terjadi depresiasi atau kerugian besar sangat kecil," tambahnya.
Namun demikian, masih banyak orang beranggapan bahwa investasi properti termasuk jenis instrumen yang tidak likuid.
Properti membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk dijual, berbeda dengan saham atau emas yang bisa dengan mudah diperjualbelikan di pasar.
Likuiditas yang rendah ini sering kali menjadi pertimbangan utama bagi investor, terutama mereka yang mungkin memerlukan akses cepat terhadap dana tunai.
Lebih lanjut, Bong menjelaskan bahwa masyarakat perlu memahami bahwa properti dapat dijadikan jaminan untuk mencairkan pinjaman dari lembaga jasa keuangan ketika membutuhkan uang dalam waktu singkat.
"Dengan menggunakan properti sebagai agunan, seseorang dapat memperoleh dana tanpa harus menjual aset tersebut, sehingga likuiditas tetap terjaga. Hal ini memberikan fleksibilitas finansial bagi pemilik properti dalam mengelola kebutuhan dana mendesak," ujarnya.
"Bisa refinancing, ibaratnya bisa disekolahin lagi ke bank, refinancing ke bank. Memang kena bunga tapi harga kenaikan propertinya lebih tinggi," tambah dia.
Bong menyarankan, properti kurang cocok sebagai instrumen investasi untuk investor ritel yang masih berada di level awal atau mereka yang masih berjuang melindungi aset dari inflasi.
Katanya, properti memerlukan modal awal yang besar dan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit, sehingga lebih sesuai untuk investor yang sudah memiliki dana lebih besar dan portofolio investasi yang lebih diversifikasi.
Bagi investor pemula, instrumen yang lebih likuid seperti saham atau reksadana mungkin lebih sesuai untuk memulai perjalanan investasi mereka.
"Properti di era sekarang bukanlah untuk investasi bagi investor yang masih berada di level awal. Ini lebih sebagai sarana proteksi terhadap inflasi," tutup dia.
Harga Bahan Baku Naik, Bisnis Properti Terdampak
Senior Director Head of Advisory Group JLL Indonesia, Vivin Harsanto, menyatakan bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berdampak signifikan bagi konsumen dan pengembang properti.
Menurut Vivin, penguatan dolar AS akan meningkatkan sejumlah harga, yang dapat mendorong konsumen untuk menahan belanja, termasuk dalam pembelian properti.
Bagi para pengembang, kondisi ini juga berpotensi meningkatkan biaya produksi karena kenaikan harga bahan bangunan, serta potensi lonjakan beban usaha dari utang valas yang harus mereka tanggung.
Sementara itu, Direktur PT Metropolitan Land Tbk (MTLA), Olivia Surodjo, menyebutkan bahwa saat ini dampak pelemahan rupiah belum terlalu terasa pada segmen bisnis properti landed residential. Hal ini disebabkan oleh penggunaan material lokal yang mendominasi pembangunan properti tersebut. Namun, untuk sektor properti highrise yang banyak menggunakan bahan impor, pelemahan Rupiah akan memberikan efek yang cukup signifikan.
Menghadapi berbagai tekanan ekonomi, pelaku usaha sektor properti membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam hal perizinan dan kepastian daya dukung bisnis properti. Dukungan ini sangat penting untuk membantu mereka mengatasi tantangan yang timbul akibat fluktuasi nilai mata uang dan kenaikan biaya produksi. (*)