Logo
>

APBN Tekor, Jaminan Kesehatan Menteri Jokowi Tetap Ditanggung Negara

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
APBN Tekor, Jaminan Kesehatan Menteri Jokowi Tetap Ditanggung Negara

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Di tengah kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang semakin ketat, Presiden Joko Widodo atau Jokowi tetap memberikan jaminan kesehatan menteri dan sekretaris kabinet (seskab) yang telah menyelesaikan masa tugas mereka. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2024 yang ditandatangani Jokowi pada 15 Oktober 2024, hanya beberapa hari sebelum masa jabatannya berakhir.

    Jaminan kesehatan ini mencakup para menteri dan seskab yang menjabat pada periode 2019–2024, termasuk pasangan sah mereka. Menariknya, pembiayaan jaminan ini sepenuhnya bersumber dari APBN, di mana premi asuransi akan dibayarkan oleh negara melalui Bagian Anggaran Kementerian Sekretariat Negara. Ini menambah beban APBN yang sudah menghadapi defisit.

    Dalam Perpres tersebut, ditegaskan bahwa jaminan ini akan mencakup layanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif, sesuai kebutuhan medis dan masa tugas. Layanan kesehatan tersebut dapat diakses melalui fasilitas kesehatan milik pemerintah dan BUMN.

    "Pendanaan jaminan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui Bagian Anggaran Kementerian Sekretariat Negara," demikian bunyi pasal 6 ayat (2) Perpres tersebut, yang dikutip pada Kamis, 17 Oktober 2024.

    Meski begitu, ada pengecualian bagi menteri yang tersangkut kasus hukum. Jaminan ini akan dicabut bagi menteri yang dijatuhi hukuman pidana dengan kekuatan hukum tetap atau yang mengundurkan diri karena putusan pengadilan. Menteri yang ditetapkan sebagai tersangka juga tidak akan menerima jaminan ini sampai kasus hukumnya dinyatakan berkekuatan hukum tetap.

    Selain itu, jika seorang menteri meninggal dunia, jaminan kesehatan ini akan diteruskan kepada janda atau duda yang sah. Untuk menteri yang masih aktif dan melanjutkan jabatannya di pemerintahan Prabowo Subianto, jaminan kesehatan ini akan ditangguhkan sampai mereka tidak lagi menerima manfaat dari APBN.

    Namun, dengan kondisi APBN yang sedang terbebani oleh berbagai kebutuhan, kebijakan ini bisa memicu pertanyaan. Terlebih, beban pembiayaan jaminan kesehatan purnatugas ini bukan hanya untuk menteri dan seskab yang sudah berusia lanjut, tetapi juga mencakup mereka yang belum mencapai usia 60 tahun dan telah menyelesaikan masa tugasnya.

    Dalam situasi di mana negara harus mengatur pengeluaran secara ketat, tetap ditanggungnya jaminan kesehatan para menteri ini memperlihatkan prioritas anggaran yang diambil di akhir masa jabatan Jokowi.

    APBN Sudah Capek untuk Bayar Utang

    Kebijakan jaminan kesehatan purnatugas yang dibebankan kepada APBN menambah beban anggaran negara yang sudah menghadapi tekanan signifikan. Di saat jaminan kesehatan bagi menteri terus berjalan, utang pemerintah juga menjadi sorotan utama. Menurut Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bidang Perekonomian, Edy Priyono, sekitar 20 persen dari total APBN saat ini digunakan untuk membayar cicilan utang.

    “Sekarang ini posisinya hampir atau sekitar 20 persen dari pengeluaran kita, belanja kita, itu digunakan untuk membayar cicilan utang,” kata Edy Priyono dalam Seminar Nasional ‘Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi’ di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024, lalu.

    Kata Edy lagi, kondisi ini menggambarkan kondisi keseimbangan primer yang negatif. Artinya, untuk membayar cicilan utang, pemerintah harus meminjam lebih banyak lagi.

    “Posisi utang kita saat ini cukup besar, dan ini menjadi tantangan bagi pemerintahan yang akan datang,” ujarnya.

    Menurut dia, jika mau dilihat dari sisi positifnya, utang pemerintah masih di bawah 40 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara yang memperbolehkan utang hingga 60 persen.

    Meski begitu, Edy tetap menekankan pentingnya pemerintah baru untuk menanggulangi masalah utang Indonesia semakin membengkak. Kata Edy, utang yang terus meningkat disebabkan oleh defisit anggaran dan belanja pemerintah melebihi pendapatan. “Untuk menyelesaikan masalah utang ini, defisit anggaran harus dikurangi, entah dengan meningkatkan pendapatan pajak atau mengurangi belanja,” ungkap Edy.

    Ia juga menyarankan agar dilakukan pemangkasan belanja yang tidak efisien. Salah satu solusinya adalah memotong belanja-belanja subsidi yang banyak salah sasaran. Namun, langkah ini mungkin tidak akan diterima secara politis.

    Edy menyebut, pemerintah masih berjuang untuk meningkatkan kualitas belanja, agar alokasi anggaran lebih tepat sasaran dan efisien.

    “Banyak belanja-belanja kementerian dan lembaga yang mestinya bisa dilakukan secara lebih efisien,” katanya.

    Kejar Pengemplang Pajak

    Di tengah kondisi APBN yang sempit, Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana menutup defisit anggaran belanja negara tahun 2025 dengan mengoptimalkan penerimaan negara, khususnya dari sektor perpajakan. Langkah ini diambil untuk mengatasi kekurangan dana serta mencegah kebocoran pajak yang selama ini menjadi masalah besar bagi penerimaan negara.

    Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, mengatakan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara pada tahun depan, pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp3.900 triliun. Namun, jumlah ini masih jauh dari alokasi anggaran yang sudah ditetapkan dalam APBN 2025, yang sebesar Rp3.621,3 triliun. Artinya, terdapat kekurangan sekitar Rp300 triliun yang harus segera diatasi.

    “Ada kesenjangan antara anggaran yang telah disahkan dalam APBN dengan kebutuhan riil belanja negara. Kebutuhan kita minimal Rp3.900 triliun, jadi ada kekurangan sekitar Rp300 triliun,” ujar Dradjad saat ditemui di Hotel Le Meredien, Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2024.

    Dradjad mengungkapkan salah satu penyebab utama defisit anggaran ini adalah kebocoran penerimaan negara yang disebabkan oleh pengemplangan pajak. Menurutnya, nilai kebocoran penerimaan negara dari sektor pajak ini bahkan melebihi jumlah defisit yang ada, yakni lebih dari Rp300 triliun. Hal ini disebabkan oleh wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pajaknya, meski beberapa di antaranya sudah kalah di pengadilan.

    “Kami menemukan banyak pajak yang belum terkumpul, serta adanya sumber-sumber penerimaan yang belum tergali dengan optimal,” kata Dradjad.

    Salah satu contohnya adalah kasus-kasus hukum terkait pengemplang pajak yang telah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung, namun belum juga memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan putusan pengadilan. “Wajib pajak sudah kalah di pengadilan, putusan inkrah, tapi mereka masih belum membayar. Ada yang sudah 10 tahun, bahkan 15 tahun belum juga membayar kewajiban pajaknya. Nilai pajak yang belum terkumpul ini sangat besar,” katanya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).