KABARBURSA.COM - Pemerintah berencana menerapkan kewajiban para pekerja mengikuti program dana pensiun. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani menegaskan pihaknya menolak rencana pemotongan gaji bagi pekerja.
"Tapera saja kita tolak, apalagi ini (program pensiun)," kata Franky pada konferensi pers APINDO, di Jakarta Rabu, 11 September 2024.
Menurut Franky, program pemerintah yang membebankan pekerja dalam pemotongan pendapatan semestinya melihat kondisi ekonomi saat ini.
"Apapun yang sifatnya menambah dipastikan akan kita tolak. Apalagi dalam situasi ekonomi seperti sekarang," tegasnya.
Untuk diketahui, pemerintah berencana menerapkan program Wajib Pensiun. Penerapan ini dengan alasan sebagai implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 mengenai Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Lanjutnya, Apindo optimis Presiden terpilih Prabowo Subianto tidak akan menerapkan pemotongan pendapatan tersebut.
"Kami percaya sekali, seperti Tapera yang lalu kita tolak penerapannya. Kali ini pun kita optimis, Presiden terpilih Prabowo akan mendengarkan keinginan kami," tukasnya.
Kasus Korupsi Dana Pensiun
Rencana pemerintah untuk memotong gaji karyawan demi menambah dana pensiun menuai kritik dari DPR. Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, menilai kebijakan ini akan membebani pekerja yang sudah terbebani dengan berbagai potongan untuk program jaminan sosial lainnya. Pemerintah berupaya agar manfaat pensiun pegawai bisa mencapai 40 persen dari penghasilan terakhir.
Netty mengatakan saat ini gaji pekerja swasta sudah terbebani pemotongan upah untuk membayar Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan. Kalangan Pegawai Negeri Sipil atau PNS dan TNI/Polri juga mengalami hal yang sama. Gaji mereka dipotong untuk membayar cicilan Taspen.
“Tambahan potongan ini hanya akan semakin memberatkan pekerja, terutama yang berpenghasilan rendah,” kata Netty dalam keterangan tertulis kepada KabarBursa, Selasa, 10 September 2024.
Netty meminta pemerintah tidak terburu-buru menerapkan kebijakan ini. Dia menyoroti meskipun standar International Labour Organization (ILO) menetapkan idealnya manfaat pensiun mencapai 40 persen, namun penerimaan di Indonesia baru berkisar antara 10 hingga 15 persen.
“Apakah alasan ini cukup untuk langsung menambah potongan gaji pekerja?” ujarnya.
Dia pun menekankan kenaikan upah di Indonesia tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan hidup sehingga tambahan potongan ini berpotensi mengurangi daya beli masyarakat. “Jangan sampai karena mengejar kesejahteraan di hari tua, kebutuhan sehari-hari malah terganggu,” ujarnya.
Netty meminta pemerintah lebih transparan dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengumpulan dana dari masyarakat. Dia mengingatkan kebijakan ini harus benar-benar demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan lain, seperti pembayaran utang pemerintah yang mendesak.
Menurut Netty, daripada membuat program baru, pemerintah sebaiknya memperbaiki tata kelola dana pensiun yang ada. Sebab, banyak keluhan masyarakat perihal dana pensiun yang tidak sesuai aturan atau tidak cair seratus persen. “Banyak masalah yang belum terselesaikan, termasuk dugaan korupsi di lembaga pengelola dana pensiun,” kata Netty.
Tak cuma itu, Netty mengkhawatirkan program baru ini justru menjadi celah untuk praktik korupsi. “Program yang ada saja masih bermasalah, bagaimana bisa menambah program baru?” katanya.
Replacement Ratio
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menjelaskan replacement ratio adalah rasio antara pendapatan yang diterima seorang pekerja saat memasuki masa pensiun dibandingkan dengan gaji yang diterimanya ketika masih aktif bekerja.
Rasio ini menunjukkan seberapa besar pendapatan pekerja yang dapat dipertahankan setelah pensiun.
"Sebagai tindak lanjut dari Pasal 189 ayat 4, pemerintah dapat menetapkan program pensiun tambahan yang bersifat wajib bagi pekerja dengan penghasilan tertentu. Program ini akan dilaksanakan secara kompetitif," jelas Ogi dalam sambutannya di acara peringatan HUT ADPI yang dilaksanakan di Jakarta, beberapa hari lalu.
Menurut dia, upaya untuk meningkatkan replacement ratio perlu dilakukan mengingat saat ini Indonesia masih berada pada level 15-20 persen. Padahal, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) merekomendasikan agar replacement ratio minimal berada di angka 40 persen dari penghasilan terakhir seorang pekerja.
Dengan rasio yang lebih tinggi, pekerja akan lebih terjamin kesejahteraannya ketika memasuki masa pensiun.
Lebih lanjut, Pasal 189 ayat 4 UU P2SK juga mengatur bahwa hanya pekerja dengan penghasilan di atas batas tertentu yang diwajibkan mengikuti program pensiun ini.
Meskipun demikian, Ogi tidak memberikan penjelasan rinci mengenai berapa batas minimum penghasilan yang akan membuat seorang pekerja terkena kewajiban ini.
"Bagi pekerja yang memiliki pendapatan di atas nilai tertentu, pemerintah akan meminta mereka untuk membayar iuran tambahan pensiun secara sukarela, tetapi tetap bersifat wajib. Hal ini akan diatur lebih lanjut dalam PP dan Peraturan OJK (POJK) yang saat ini sedang disusun," ujar Ogi.
Dari sisi pengelolaan dana pensiun wajib ini, Ogi menjelaskan, bahwa dana tersebut nantinya dapat dikelola oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Namun, dia menekankan, mekanisme pengelolaan dana ini masih dalam tahap pembahasan, sehingga rincian lebih lanjut belum bisa disampaikan.
Ogi juga menegaskan bahwa program pensiun wajib ini berbeda dari BPJS Ketenagakerjaan yang sudah dikenal luas oleh pekerja.
"Yang akan menyelenggarakan program pensiun tambahan yang wajib ini sudah pasti bukan BPJS Ketenagakerjaan. Kemungkinan besar, pengelolaannya akan dilakukan oleh DPPK atau DPLK," terangnya.
Selain menetapkan kewajiban iuran pensiun bagi pekerja dengan kriteria penghasilan tertentu, pemerintah juga berencana untuk memberlakukan aturan baru terkait pencairan dana pensiun. Mulai Oktober 2024, dana pensiun tidak lagi bisa dicairkan sebelum peserta mencapai masa kepesertaan minimal 10 tahun. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.