KABARBURSA.COM - Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menekankan pentingnya kemitraan strategis dalam perdagangan, khususnya di sektor manufaktur. Ia mengatakan meskipun akses pasar internasional ata pasar bebas terbuka, Indonesia tetap perlu memperkuat pasar lokal agar dapat mencapai kesuksesan.
Redma mengatakan meskipun Indonesia memiliki akses pasar internasional, penting juga untuk memperkuat pasar domestik. Ia menilai saat ini, perdagangan bebas sejati tidak ada. "Semua negara menerapkan sistem perdagangan terkelola atau managing trade," ujar Redma kepada KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 28 Oktober 2024.
Managing trade atau perdagangan terkelola adalah sistem perdagangan di mana pemerintah suatu negara secara aktif mengatur dan mengontrol aliran barang dan jasa yang masuk dan keluar dari negara tersebut. Dalam praktik managing trade, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan dan regulasi untuk melindungi industri domestik atau mencapai tujuan ekonomi tertentu, seperti menciptakan lapangan kerja, menjaga stabilitas harga, atau mendorong pertumbuhan industri strategis. Negara-negara seperti China dan India sering menggunakan strategi managing trade ini untuk melindungi pasar dalam negeri sambil tetap terlibat dalam perdagangan global.
Redma mengibaratkan situasi ini dengan kebijakan perdagangan di negara-negara seperti India dan China. Menurutnya, meski kedua negara tersebut tampak menerapkan perdagangan bebas, mereka sebenarnya memberlakukan berbagai hambatan dan standar ketat dalam perdagangan internasional. Ia menyebut, ekspor ke China misalnya, sering kali terkendala banyak standar ketat yang kadang dirasa tidak masuk akal.
Dalam konteks kemitraan dengan negara-negara BRICS, Redma menambahkan potensi pasar memang ada, namun tantangan serupa tetap dihadapi. "Kita harus menyadari bahwa negara-negara ini juga menerapkan managing trade. Ini berarti kita harus bisa menyaring produk mana yang kita butuhkan dari luar dan sekaligus berusaha melindungi produk dalam negeri," ucapnya.
Redma menegaskan pentingnya kebijakan perdagangan yang selaras dengan kepentingan nasional. Menurutnya, setiap negara akan selalu mengutamakan kepentingan nasionalnya, meski dalam kerangka kerja sama ekonomi dan perdagangan. "Meskipun ada kerjasama ekonomi dan perdagangan, tetap saja tujuan utamanya adalah melindungi dan mengembangkan industri domestik," katanya.
Redma pun berharap pendekatan ini dapat membantu industri manufaktur Indonesia bersaing lebih baik di pasar global tanpa mengabaikan pertumbuhan sektor dalam negeri. "Ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk mengimplementasikan strategi yang lebih fokus dan terencana dalam perdagangan, agar kita dapat memanfaatkan semua peluang yang ada," kata Redma.
Jenuh Pasar Tekstil Domestik
Meskipun Indonesia berupaya menjaga pasar domestik dengan kebijakan managing trade, arus produk impor tetap deras, khususnya di sektor tekstil. Melimpahnya barang impor tanpa peningkatan daya beli masyarakat menimbulkan kekhawatiran bagi industri tekstil nasional. Jika kebijakan untuk mengendalikan laju impor tak segera diterapkan, ancaman pemutusan kerja di sektor ini bisa semakin nyata, sebagaimana yang terjadi pada ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex baru-baru ini.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2023 volume impor tekstil dan produk tekstil ke Indonesia mencapai 1,96 juta ton. Rata-rata impor tekstil selama sepuluh tahun terakhir (2013-2023) berada di angka 2 juta ton per tahun. Melimpahnya produk impor di tengah melemahnya daya beli masyarakat membuat pasar tekstil domestik semakin jenuh. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2023 hanya mencapai 4,82 persen, lebih rendah dari 4,94 persen di tahun sebelumnya.
Pengusaha tekstil khawatir serbuan produk impor kian sulit dikendalikan sejak dihapusnya syarat izin teknis untuk barang jadi dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Sebelumnya, perlindungan terhadap pasar domestik diatur melalui izin teknis dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023.
Redma sebelumnya mengungkapkan bahwa tanpa izin teknis, produk tekstil asing akan mudah masuk ke pasar Indonesia. Ia menambahkan, saat ini China mengalami kelebihan stok tekstil dan garmen akibat bea masuk tinggi dari pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa, sehingga Indonesia menjadi target pasar mereka. Apalagi, Indonesia terikat perjanjian Asia-Pacific Trade Agreement dengan China.
Dari sisi produksi, Redma menyoroti biaya produksi dalam negeri terus meningkat seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan naiknya harga gas bumi yang mencapai USD6,5 per Million British Thermal Units (MMBTU). "Di negara lain, harga gas bumi lebih murah sehingga produk kita sulit bersaing, baik di pasar domestik maupun ekspor," kata Redma, Kamis, 27 Juni 2024.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.