KABARBURSA.COM - Tarif impor barang dari China makin sengit. Kali ini, pemerintahan Presiden Joe Biden menaikkan tarif impor solar wafer, polisilikon, dan beberapa produk tungsten asal Negeri Tirai Bambu. Langkah ini diklaim untuk melindungi bisnis energi bersih dalam negeri, sekaligus menambah ketahanan rantai pasok.
Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mengumumkan tarif solar wafer dan polisilikon asal China bakal naik menjadi 50 persen, sementara beberapa produk tungsten naik jadi 25 persen, berlaku mulai 1 Januari. "Langkah ini adalah respons terhadap kebijakan Tiongkok yang merugikan, sekaligus melengkapi investasi domestik di sektor energi bersih," ujar Perwakilan Dagang AS, Katharine Tai, dikutip dari Reuters, Jakarta, Kamis, 12 Desember 2024.
Namun, ini bukan hanya soal panel surya. Dalam beberapa pekan terakhir, hubungan dagang AS-China memang makin panas. Setelah AS memperketat akses China ke teknologi semikonduktor canggih, Beijing membalas dengan melarang ekspor beberapa mineral penting ke AS seperti gallium, germanium, dan antimon. Terbaru, Tiongkok juga membatasi ekspor grafit, bahan vital untuk baterai kendaraan listrik.
Apa dampaknya? AS yang selama ini sangat bergantung pada suplai China mulai sibuk mencari sumber alternatif di Afrika dan wilayah lain. Namun, ada satu ancaman lagi: tungsten. Mineral strategis ini dominasi produksinya dipegang China, dan AS sendiri tidak memproduksinya. Padahal, tungsten punya peran besar—mulai dari pembuatan senjata hingga tabung sinar-X dan filamen lampu.
Bagi AS, langkah ini bukan tanpa risiko. Tarif-tarif baru yang diatur berdasarkan investigasi USTR sebelumnya telah memengaruhi produk-produk seperti kendaraan listrik, alat medis, semikonduktor, hingga baja dan aluminium. Langkah ini adalah lanjutan dari kebijakan era Trump, meskipun Biden mengklaim pendekatannya lebih terarah.
Pelonggaran Moneter untuk Hadapi Tarif AS
Para pemimpin China sebelumnya mengisyaratkan kesiapannya untuk menggelontorkan segala stimulus yang diperlukan guna meredam dampak tarif dagang AS yang diprediksi akan memukul pertumbuhan ekonomi mereka tahun depan.
Dilansir dari Reuters, pernyataan ini disampaikan usai digelarnya rapat Politbiro, sebuah forum para petinggi Partai Komunis China. Para pejabat mengumumkan pergeseran kebijakan ekonomi ke arah yang lebih longgar untuk moneter dan lebih agresif untuk fiskal negara. Ini adalah perubahan besar dari pendekatan yang selama ini penuh kehati-hatian oleh bank sentral China selama 14 tahun terakhir.
Selama periode kebijakan hati-hati itu, utang di berbagai sektor—termasuk pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan—melonjak lebih dari lima kali lipat. Sementara itu, produk domestik bruto (PDB) China hanya tumbuh sekitar tiga kali lipat.
Jarang sekali Politbiro secara gamblang menguraikan rencana kebijakan. Namun, perubahan pesan kali ini jelas menunjukkan bahwa China siap mengambil risiko utang yang lebih besar demi memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek.
“Dari sikap pruden ke pendekatan yang cukup longgar, ini perubahan besar. Ini memberikan ruang yang sangat luas untuk berbagai kemungkinan,” kata Kepala Ekonom Standard Chartered untuk China dan Asia Utara, Shuang Ding.
Menurut Profesor Ekonomi Terapan di Universitas Peking, Tang Yao, perubahan ini memang dibutuhkan. Pasalnya, perlambatan pertumbuhan justru akan memperberat beban pembayaran utang China.
Sementara itu, Christopher Beddor dari Gavekal Dragonomics, mengatakan, “Secara umum, mereka (China) telah menerima kenyataan bahwa rasio utang terhadap PDB akan terus meningkat.” Ia juga menegaskan bahwa utang kini bukan lagi pembatas bagi Beijing.
Namun, sejauh mana bank sentral akan melonggarkan kebijakan moneter atau berapa banyak utang yang siap diterbitkan oleh kementerian keuangan tahun depan masih menjadi tanda tanya. Meski demikian, fleksibilitas ini dinilai menguntungkan posisi Beijing.
Tarif Trump dan Reaksi Beijing
Dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, ancaman tarif impor hingga 60 persen untuk barang-barang China kembali menyeruak. Berdasarkan survei Reuters, tarif awal kemungkinan mencapai 40 persen yang tentu akan menentukan langkah balasan Beijing.
“Mereka siap melakukan apa pun untuk mencapai target PDB mereka,” kata Kepala Ekonom China di Macquarie, Larry Hu.
Namun, menurut Hu, respons China akan bersifat reaktif. “Seberapa besar langkah yang mereka ambil pada 2025 akan tergantung pada dua hal: target PDB mereka dan tarif baru AS.”
Ambisi Pertumbuhan Tetap Tinggi
Dalam beberapa hari ke depan, rapat tahunan para pemimpin Partai Komunis, atau Central Economic Work Conference (CEWC), akan membahas target pertumbuhan, defisit anggaran, dan kebijakan utama lainnya untuk 2025. Meski belum akan diumumkan secara resmi, Reuters melaporkan sebagian besar penasihat pemerintah mendukung target pertumbuhan sekitar 5 persen, meskipun angka itu sulit tercapai sepanjang 2024.
Nada pernyataan Politbiro menunjukkan China tidak akan menurunkan ambisi pertumbuhan 2025 mereka. Menurut Kepala Peneliti Bank of China, Zong Liang, target pertumbuhan sekitar 5 persen juga dimaksudkan sebagai sinyal bahwa Beijing tak gentar terhadap ancaman tarif Trump.
Di sisi lain, Kepala Ekonom China di Nomura, Ting Lu, memperkirakan China akan menetapkan target defisit anggaran sekitar 4 persen pada 2025, naik dari 3 persen di 2024. Jika benar, ini akan menjadi defisit tertinggi sepanjang sejarah China.
Satu persen kenaikan defisit ini setara dengan stimulus tambahan sekitar 1,3 triliun yuan (USD179,4 miliar atau Rp2.834 triliun). Namun, China masih punya ruang untuk memperbesar itu, baik melalui obligasi khusus di luar anggaran atau dengan memberi izin kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan obligasi tambahan.(*)