KABARBURSA.COM - Pelaku industri makanan dan minuman (mamin) menyuarakan kekhawatiran mereka terkait pasal-pasal dalam peraturan pemerintah (PP) yang dinilai tidak kondusif bagi industri.
Penerapan cukai pada makanan olahan diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 mengenai Kesehatan. Pemerintah memberikan opsi untuk menerapkan cukai pada makanan olahan sebagai langkah untuk membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman telah mengajukan masukan kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin), namun hingga kini, belum ada langkah konkret untuk mengakomodasi perubahan tersebut. Industri berharap pemerintah segera membahas dan merevisi regulasi yang dinilai menghambat.
“Banyak pasal dalam PP yang tidak kondusif bagi industri. Kami sudah memberikan masukan, namun belum ada perubahan yang signifikan. Kami harap ini segera dibahas lebih lanjut,” ungkap Adhi, dalam acara Food Ingredients Asia Indonesia 2024 di JIExpo Jakarta, Rabu 4 September 2024.
Namun, industri mengingatkan bahwa kontribusi sektor makanan dan minuman hanya sekitar 30 persen dari total konsumsi, sedangkan 70 persen berasal dari pangan rumah tangga, pangan segar, dan katering. Dari 30 persen tersebut, minuman manis hanya menyumbang asupan gula sekitar 4-6 persen.
“Industri sudah melakukan banyak reformulasi produk. Kami bersama BPOM telah memproduksi lebih dari 200 produk sehat, bahkan ada minuman tanpa gula sama sekali. Namun, masyarakat sering menambah gula sendiri, yang membuat kontrol asupan gula menjadi tidak efektif,” jelas Adhi.
Sementara itu, rencana penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) telah menjadi wacana pemerintah sejak tahun 2020.
Industri juga menekankan pentingnya edukasi masyarakat mengenai pola makan yang seimbang dan gaya hidup sehat. Mereka mengusulkan pelaksanaan proyek percontohan (pilot project) di sekolah-sekolah dasar untuk meningkatkan kesadaran kesehatan pada anak-anak.
“Kami lebih memilih melakukan edukasi daripada menaikkan cukai atau melarang produk tertentu. Edukasi yang tepat lebih efektif daripada regulasi yang mungkin tidak bisa diimplementasikan dengan baik,” ujar Adhi.
Lebih lanjut, mereka mengkritik beberapa pasal dalam PP yang dinilai tidak sinkron. Contohnya, Pasal 194 menetapkan standar bahan yang berisiko PTM, sementara Pasal 195 melarang penggunaan bahan baku yang dapat menyebabkan PTM, termasuk gula dan garam.
“Gula, garam, dan lemak tidak salah secara prinsip. Yang perlu diperbaiki adalah pola konsumsi dan gaya hidup,” tambahnya.
Industri mengusulkan agar pemerintah lebih fokus pada reformasi regulasi dan edukasi daripada penetapan kebijakan yang dapat menambah beban industri, seperti kenaikan cukai yang dapat mencapai 30 persen.
“Dampaknya akan sangat berat dan kami belum bisa memprediksi gonjang-ganjingnya,” tutup Adhi.
Dengan harapan agar pemerintah mempertimbangkan usulan ini, industri mamin berharap adanya pendekatan yang lebih konstruktif dalam mengatasi isu kesehatan masyarakat tanpa merugikan sektor industri.
Pemerintah Bakal Terapkan Cukai MBDK
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berkomitmen untuk menerapkan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai tahun depan. Langkah ini merupakan bagian dari strategi untuk mencapai target pendapatan negara yang dipatok sebesar Rp2.996,9 triliun pada tahun 2025.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa pengenaan cukai ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat, khususnya untuk menekan angka prevalensi diabetes di Indonesia, yang merupakan salah satu penyakit tidak menular (PTM).
“Kami sedang mempersiapkan beberapa kebijakan cukai, termasuk cukai rokok yang tetap berlaku dan cukai pada minuman berpemanis sesuai dengan arahan Kementerian Kesehatan. Tujuannya adalah untuk mengendalikan penyebaran diabetes, bahkan di kalangan anak-anak,” ungkap Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan bahwa target pendapatan negara sebesar Rp2.996,9 triliun pada 2025 merupakan sasaran yang ambisius, naik sebesar 6,4 persen dibandingkan dengan tahun ini. Untuk mencapainya, diperlukan upaya yang signifikan, termasuk reformasi perpajakan dan optimalisasi penerimaan negara.
“Kita masih harus bekerja keras untuk mencapai target penerimaan. Reformasi di bidang perpajakan dan penerimaan negara terus dilakukan. Penerimaan negara akan dioptimalkan melalui reformasi tersebut serta melalui peningkatan instrumen perpajakan,” jelasnya.
Selain penerapan cukai MBDK, optimalisasi pendapatan negara juga dilakukan melalui pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU ini bertujuan untuk meningkatkan rasio pajak, memperkuat sistem coretax, CEISA, dan Simbara, serta menyesuaikan dengan perkembangan digital dan standar perpajakan global.
“Kami akan terus memantau dan menyesuaikan diri dengan perkembangan digital dan standar perpajakan global, terutama kesepakatan perpajakan internasional yang diputuskan dalam forum G20. Ini akan mempengaruhi kebijakan perpajakan nasional kita,” ujar Sri Mulyani.
Selain itu, reformasi juga akan mencakup pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan barang milik negara (BMN), serta penggunaan instrumen perpajakan sebagai insentif. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.