Logo
>

Bagaimana Transisi Energi bisa Dongkrak Ekonomi 8 Persen?

Ditulis oleh KabarBursa.com
Bagaimana Transisi Energi bisa Dongkrak Ekonomi 8 Persen?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia menuangkan komitmennya dalam mendorong transisi energi melalui kesepahaman dalam forum Paris Agreement tahun 2015 lalu. Komitmen pemerintah Indonesia kembali diperkuat melalui Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016.

    Transisi energi dinilai mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai dengan target yang dicanangkan presiden terpilih Prabowo Subianto, sebesar 8 persen selama satu periode kepemimpinannya.

    Berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA), transisi energi turut menyumbang sekitar USD320 miliar terhadap Gross Domestic Product (GDP) ekonomi dunia atau setara dengan 10 persen dari pertumbuhan global. Amerika Serikat (AS) misalnya, kontribusi dari investasi energi terbarukan berhasil mendongkrak GDP sebesar 2,5 persen pada tahun 2023 lalu. Pertumbuhan itu juga didukung Inflation Reduction Act dan juga Bipartisan Infrastructure Act yang diterapkan pemerintah AS.

    Hal serupa juga dirasakan oleh China, di mana investasi energi terbarukan menyumbang sekitar 1/5 dari pertumbuhan GDP sebesar 5,2 persen pada tahun 2023. Begitu juga India sebagai salah satu negara dengan potensi ekonomi terbesar yang mengalami pertumbuhan GDP sekitar 7,7 persen dengan kontribusi investasi energi terbarukan 5 persen di tahun 2023 lalu.

    "Dari sini kita bisa lihat bahwa transisi energi terbarukan bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan ini bisa terjadi di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Institute Essential for Services Reform (IESR)  Fabby Tumiwa, dalam acara bertajuk Transisi Energi sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kamis, 10 Oktober 2024.

    IESR sendiri melihat ada tiga jalur yang dapat dimanfaatkan Indonesia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen melalui investasi energi terbarukan. Pertama, tutur Fabby, pemerintah perlu mendorong diversifikasi industri

    Dia menilai, pengembangan industri dengan pemanfaatan energi terbarukan mampu merangsang sektor industri dalam menciptakan peluang bagi terbentuknya rantai pasok dan kapasitas manufaktur baru. Dalam hal ini, pemerintah dapat memacu produksi panel surya dan pembuatan silikon dari pasir silika. Adapun hal itu dapat diterapkan pada industri kaca, turbin angin, hingga komponen kendaraan listrik.

    "Kalau kita kembangkan teknologi ini, maka dapat menjadikan Indonesia sebagai pusat manufaktur regional untuk teknologi hijau karena kita punya bahan baku, kita punya pasar, dan kita punya program yang konsisten," ungkapnya.

    Kedua, Fabby menilai, pemerintah perlu mendorong pengembangan infrastruktur hijau dalam upaya transisi energi. Menurutnya, infrastruktur hijau yang mempuni dapat memacu investasi sebagaimana yang dirasakan Indonesia saat ini.

    Sementara dalam mendorong transisi energi terbarukan, tutur Fabby, Indonesia membutuhkan dana investasi hingga USD40 miliar per tahun untuk membangun jaringan transmisi, smart grid, hingga energy storage. Menurutnya, investasi hijau dalam proyek tersebut tidak hanya membantu pertumbuhan infrastruktur, melainkan juga menciptakan lapangan kerja dan memacu sektor-sektor lain, seperti konstruksi, material, dan jasa.

    "Proyek infrastruktur hijau seperti sistem angkutan massal misalnya dan jaringan transportasi listrik seperti kereta listrik, kereta cepat dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya logistik," ungkapnya.

    Ketiga, pemerintah dapat memacu sektor pariwisata dan industri ramah lingkungan. Fabby menilai, Indonesia saat ini mengalami pergeseran menuju pembangunan berkelanjutan yang juga terjadi di sektor pariwisata, pertanian berkelanjutan, dan industri hijau.

    Menurutnya, sektor-sektor tersebut dapat juga berkembang dengan memanfaatkan kekayaan, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam Indonesia untuk menarik wisatawan. Fabby menuturkan, IESR bersama Pemprov Bali sendiri telah berinisiatif membangun Bali Net Zero 2045.

    Dalam inisiatif tersebut, Fabby menyebut IESR dan Pemprov Bali hendak membangun sistem energi yang membantu tercapainya target dekarbonisasi di tahun 2045.

    "Kita bisa bayangkan kalau misalnya Bali menjadi fossil fuel free island atau pulau yang menggunakan 100 persen energi terbarukan. Ini akan bisa mengangkat citra pariwisata Bali dan menarik lebih banyak turis untuk datang berkunjung ke Bali," tegasnya.

    Perlu Reformasi Kebijakan

    Kendati terbukti mendongkrak pertumbuhan ekonomi, transisi energi juga memerlukan reformasi kebijakan. IESR sendiri mencatat ada tiga reformasi kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan potensi ekonomi dari transisi energi.

    Pertama, tutur Fabby, reformasi subsidi dan penetapan harga karbon. Menurutnya, penghapusan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap itu sangat penting lantaran subsidi dinilai mendistorsi pasar yang menyulitkan investasi energi terbarukan bersaing secara setara.

    Pada saat bersamaan, Fabby menyebut, penerapan mekanisme harga karbon yang sudah dimulai pemerintah sejak dua tahun lalu memberikan insentif kepada perusahaan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seiring masuknya investasi pada teknologi yang lebih bersih.

    "Tetapi kalau subsidi tadi tetap dipertahankan insentif tadi akan lebih berkurang yang bisa diciptakan dari harga karbon," ungkap Fabby.

    Kedua, Fabby menilai perlunya reformasi pada sistem pembiayaan pembangunan infrastruktur dalam negeri. Sebagaimana diketahui, pembangunan infrastruktur hijau memerlukan pendanaan besar dari pihak swasta.

    Kendati begitu, Fabby menilai, pembiayaan melalui instrumen dana publik atau public finance juga menjadi hal yang penting untuk menarik investasi hijau. Pemerintah dalam hal ini, dinilai perlu mengembangkan pembiayaan yang lebih inovatif seperti blended finance.

    Di sisi lain, Fabby juga menilai pemerintah perlu mendorong instrumen-instrumen Green Bond atau Green Sukuk yang bisa diarahkan pada proyek-proyek yang mendukung transisi energi. IESR sendiri mendukung niat Prabowo dalam memanfaatkan dana dari carbon pricing untuk pembiayaan transisi energi.

    "Saya kira ini sebuah ide yang bagus dan kita ingin melihat bagaimana instrumen ini nanti bisa dilakukan," jelasnya.

    Reformasi kebijakan ketiga, Fabby menilai pemerintah perlu mendorong kerja sama internasional melalui skema kemitraan. Dalam hal ini, dia menilai Indonesia perlu memosisikan diri sebagai pemimpin kemitraan energi bersih, baik di kawasan Asia maupun global.

    Sementara untuk mendorong pembiayaan transisi energi, Fabby menilai pemerintah perlu menjalin kerja sama keuangan global dengan organisasi internasional, seperti bank pembangunan dan investor asing, seiring dengan penguatan tenaga ahli dalam negeri.

    "Karena kita adalah salah satu negara ekonomi terbesar di dunia dan harusnya menjadi ekonomi terbesar di ASEAN," tutupnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi