KABARBURSA.COM - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa penerapan skema kontrak bagi hasil baru, yakni gross split, akan menjadi pendorong utama bagi arus investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).
Skema ini, menurut Bahlil, dirancang untuk memberikan insentif yang lebih menarik bagi investor sekaligus mempercepat proses eksplorasi dan produksi migas.
Menurutnya, model gross split yang diperkenalkan ini lebih kompetitif dan memiliki daya tarik yang kuat di mata investor global. Dengan demikian, diharapkan dapat mempercepat peningkatan kapasitas produksi migas dalam negeri.
"Skema ini bertujuan untuk memacu sektor migas, memastikan adanya peningkatan kapasitas produksi domestik," ujar Bahlil dalam pernyataannya di Jakarta, Minggu 29 Desember 2024.
Penandatanganan kontrak kerja sama untuk wilayah kerja migas (WK migas) Central Andaman menandai penerapan pertama skema gross split. Konsorsium Harbour Energy Central Andaman Ltd dan Mubadala Energy (Central Andaman) Rsc Ltd, yang menjadi kontraktor untuk WK ini, telah melakukan pembayaran bonus tanda tangan sebesar 300.000 dolar AS serta jaminan pelaksanaan sebesar 1,5 juta dolar AS. Harbour Energy berperan sebagai operator.
Kontrak WK Central Andaman ini menjadi tonggak baru dalam sejarah investasi sektor migas, karena untuk pertama kalinya mengadopsi skema gross split sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2024, yang menggantikan regulasi sebelumnya, yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017.
Pembaruan aturan tersebut juga melibatkan penerbitan Keputusan Menteri ESDM Nomor 230.K/MG.01.MEM.M/2024 yang menetapkan pedoman pelaksanaan kontrak bagi hasil gross split. Pembaruan ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara kepentingan kontraktor dan pemerintah, terutama terkait dengan kepastian bagi hasil yang diterima kontraktor yang dapat mencapai 75 hingga 95 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pada skema sebelumnya yang bagi hasilnya sangat bervariasi.
Selain itu, Bahlil juga menyoroti langkah pemerintah dalam menyederhanakan proses perizinan sektor migas. Dalam upaya untuk mempercepat eksplorasi, Kementerian ESDM telah mengurangi jumlah perizinan yang sebelumnya sangat membebani, dari 320 izin menjadi hanya 140 izin.
"Kami ingin memastikan bahwa birokrasi tidak menjadi penghalang dalam eksplorasi migas. Dengan pengurangan perizinan ini, kami berharap lebih banyak investor yang tertarik," ujar Bahlil menambahkan.
Konsisten Dalam Jangka Panjang
Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) mengungkapkan bahwa skema gross split terbaru yang diterapkan di Indonesia masih belum mampu memberikan kepastian kontrak bagi hasil bagi para investor migas, terutama yang baru memasuki tahap eksplorasi.
Moshe Rizal, Ketua Komite Investasi Aspermigas, menyatakan bahwa meskipun skema gross split yang baru mengatur bahwa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dapat memperoleh bagi hasil antara 75 persen hingga 95 persen, hal ini belum cukup memberikan kepastian kepada investor hulu migas. Ketidakpastian ini timbul akibat perubahan rezim kontrak bagi hasil yang sering terjadi di Indonesia, yang menyebabkan tidak ada jaminan bahwa besaran bagi hasil tersebut akan konsisten dalam jangka panjang.
Menurut Moshe, kepastian hukum yang diperlukan harus ditangani di tingkat undang-undang, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22/2021 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Ia mencatat bahwa peraturan menteri (permen) yang sering berubah tidak dapat memberikan kepastian yang dibutuhkan. “Perubahan permen ini tidak memberikan kepastian, karena undang-undangnya tetap sama. Bergantinya menteri sering kali menyebabkan perubahan kebijakan. Contohnya, dari [Menteri ESDM] Ignasius Jonan ke Arifin Tasrif, dan sekarang Bahlil Lahadalia yang hanya menandatangani yang sudah dibahas sebelumnya. Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada kepastian,” katanya.
Masalah utama skema gross split, menurut Moshe, adalah ketidakpastian dalam pembagian hasil bagi KKKS di sektor hulu migas, khususnya pada tahap eksplorasi. Besaran bagi hasil sering kali baru diketahui setelah kontraktor menyelesaikan rencana pengembangan (Plan of Development/POD) proyek.
“Bayangkan jika eksplorasi bisa memakan waktu hingga 6-10 tahun tanpa kepastian mengenai bagi hasil. Kita hanya tahu split dasar, tetapi tidak tahu variabel split yang akan diterima. Ini sepenuhnya bergantung pada keputusan pemerintah yang baru akan diumumkan nanti. Ketidakpastian ini sangat merugikan,” jelas Moshe.
Ketidakpastian ini menjadikan skema gross split lebih disukai oleh kontraktor yang sudah berada di fase produksi pada lapangan-lapangan migas yang lebih matang. Sebaliknya, investor yang baru memasuki tahap eksplorasi merasa dirugikan karena tidak adanya kepastian awal mengenai bagi hasil. “Lapangan yang sudah berproduksi menggunakan skema gross split karena bagi hasilnya sudah bisa diprediksi. Namun, pada tahap eksplorasi, hal ini tidak berlaku,” ujarnya.
Enhanced Oil Recovery
Indonesia saat ini memerlukan peningkatan eksplorasi untuk mengoptimalkan cadangan dan produksi migas dalam negeri, termasuk melalui enhanced oil recovery (EOR). Moshe menekankan bahwa yang dibutuhkan oleh KKKS adalah kepastian mengenai skema bagi hasil dari awal, bahkan sebelum POD selesai, khususnya pada tahap eksplorasi.
“Di negara lain, skema gross split sudah jelas dari awal. Investor tahu berapa yang akan diterima meskipun masih dalam tahap eksplorasi. Misalnya, di Amerika, mayoritas menggunakan sistem royalti yang jelas dari awal. Hal ini meminimalkan risiko bagi pemerintah, karena apapun hasilnya, tidak ada dampak negatif pada negara,” terang Moshe.(*)