KABARBURSA.COM - Bank Sentral Jepang, atau Bank of Japan (BOJ), sedang menyusun strategi untuk menaikkan suku bunga sebagai bagian dari kebijakan barunya.
Langkah ini akan mencerminkan pendekatan BOJ dalam menerapkan kebijakan konvensional yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi utama Gubernur BOJ, Kazuo Ueda, yang menghadapi berbagai pendapat mengenai langkah-langkah pelonggaran moneter yang telah diterapkan selama 25 tahun terakhir.
"BOJ berusaha memanfaatkan gagasan mengenai perubahan norma sosial di Jepang untuk mendukung proyeksinya bahwa inflasi akan mencapai 2 persen secara berkelanjutan dalam beberapa tahun mendatang," ujar Nobuyasu Atago, mantan pejabat BOJ yang kini menjabat sebagai kepala ekonom di Rakuten Securities Economic Research Institute.
Sebelumnya, di bawah stimulus yang diterapkan oleh mantan Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda pada tahun 2013, BOJ mengejutkan publik dengan strategi pencetakan uang dalam jumlah besar untuk mengatasi deflasi dan mencapai target inflasi 2 persen dalam waktu sekitar dua tahun. Namun, eksperimen tersebut dianggap kurang berhasil. Inflasi yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor eksternal seperti kendala pasokan akibat pandemi dan konflik di Ukraina, yang malah meningkatkan biaya impor dan menjaga inflasi tetap di atas 2 persen selama lebih dari dua tahun.
Sementara itu, persepsi publik mengenai inflasi di Jepang menunjukkan perubahan. Konsumen Jepang mulai meninggalkan pandangan lama yang berkembang setelah resesi tahun 1990-an, yang menganggap bahwa harga tidak akan pernah naik lagi.
Aki Kuramoto, seorang pekerja kantoran berusia 55 tahun dengan dua anak, mulai mempersiapkan diri menghadapi era kenaikan harga.
"Saya yakin inflasi akan bertahan cukup lama dan harga produk akan terus naik. Kita perlu siap menghadapi hal tersebut," katanya saat berbelanja di supermarket di Tokyo.
Dolar AS Berada di Zona Merah
Pada hari Senin, 29 Juli 2024, dolar Amerika Serikat (AS) dibuka dengan pergerakan negatif.
Berdasarkan data dari RTI, dolar AS berada di posisi Rp16.364, mengalami penurunan sebesar 21 poin atau 0,13 persen.
Dolar AS dibuka pada level Rp16.285, dengan kisaran tertinggi di Rp16.289 dan terendah di Rp16.251.
Dalam tinjauan mingguan, dolar AS tercatat mengalami penguatan sebesar 0,3 persen. Namun, secara bulanan, mata uang ini menunjukkan penurunan sebesar 0,34 persen. Dalam periode tiga bulan terakhir, dolar AS menguat tipis sebesar 0,09 persen.
Selama enam bulan terakhir, dolar AS menguat 2,89 persen, dan dalam perhitungan year to date, penguatan dolar mencapai 5,64 persen. Untuk periode tahunan penuh, dolar AS menguat sebesar 7,85 persen.
Di pasar global, dolar AS menunjukkan penurunan terhadap beberapa mata uang utama. Dolar Australia melemah 0,21 persen, sementara terhadap Euro, dolar AS juga mengalami penurunan sebesar 0,12 persen.
Dolar AS juga melemah 0,17 persen terhadap British Pound, dan 0,34 persen terhadap Yen. Sebaliknya, dolar AS menguat 0,04 persen terhadap Yuan.
Nilai Tukar Rupiah
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan hari ini, Senin, 29 Juli 2024, menunjukkan penguatan. Rupiah tercatat menguat sebesar 14 poin atau 0,08 persen, mencapai posisi Rp16.288 per dolar AS.
Sebelumnya, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis pada Jumat sore menetapkan nilai tukar rupiah di angka Rp16.294 per dolar AS.
Ariston Tjendra, pengamat pasar uang, memperkirakan nilai tukar rupiah akan terus menguat terhadap dolar AS hari ini.
Prediksi ini didorong oleh data inflasi AS, khususnya indeks harga PCE (Personal Consumption Expenditures), yang menunjukkan stabilitas.
"Data PCE Price Index untuk bulan Juli menunjukkan kenaikan tahunan sebesar 2,5 persen, yang sedikit lebih rendah dibandingkan angka sebelumnya yang mencapai 2,6 persen. Hasil ini membuka kemungkinan untuk pemangkasan suku bunga acuan oleh Federal Reserve (the Fed) di tahun ini. Pasar mengharapkan pemangkasan tersebut bisa terjadi pada bulan September mendatang," ujar Ariston.
Ariston menjelaskan bahwa ekspektasi pemangkasan suku bunga tersebut telah mempengaruhi dolar AS, menyebabkan pelemahan terhadap mata uang lainnya.
Namun, pasar masih menunggu keputusan terbaru dari Bank Sentral AS, yang dijadwalkan akan mengumumkan kebijakan moneternya pada Kamis pekan ini.
"Federal Reserve biasanya tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai arah kebijakan mereka. Sepertinya mereka cenderung memberikan sinyal mengenai kemungkinan pemangkasan suku bunga atau kebijakan lainnya. Ketidakpastian mengenai kebijakan the Fed ini membuat pergerakan dolar AS cenderung konsolidatif, yang dapat membatasi potensi pelemahan dolar AS," jelas Ariston.
Selain itu, Ariston juga mencatat bahwa ketegangan yang meningkat di Timur Tengah berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan, yang dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi global. "Faktor ini juga berpotensi menahan pelemahan dolar AS," ujar Ariston.
Untuk hari ini, Ariston memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat menuju kisaran Rp16.250, dengan potensi resisten di level Rp16.320. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.