KABARBURSA.COM - Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menegaskan maraknya produk impor tekstil ilegal, khususnya dari China merupakan ancaman serius bagi industri tekstil domestik, termasuk usaha kecil dan menengah (UKM). Masalah ini sudah menjadi perhatian sejak lama.
Plt. Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM, Temmy Setya Permana mengatakan pihaknya mencatat banyak produk impor dari China yang masuk ke Indonesia tanpa tercatat seluruhnya.
“Kondisi ini menyulitkan UMKM lokal untuk bersaing. Produk tersebut masuk tanpa bea masuk, sehingga bisa dijual dengan harga murah," kata Temmy dalam keterangan tertulis yang dikutip, Minggu, 11 Agustus 2024.
Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada 2021, nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp58,1 triliun, sementara nilai impor Indonesia dari China mencapai Rp28,4 triliun. Terjadi selisih Rp29,7 triliun yang tidak tercatat.
Pada 2022, nilai ekspor China ke Indonesia mengalami peningkat menjadi Rp61,3 triliun, sedangkan nilai impor Indonesia dari China mencapai Rp31,8 triliun, dengan potensi nilai impor yang tidak tercatat sebesar Rp29,5 triliun.
Staf Khusus Menteri Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Kemenkop UKM, Fiki Satari, menyatakan bahwa produk UMKM saat ini semakin banyak yang berkualitas dan setara dengan produk luar negeri. Namun, karena banyaknya produk impor ilegal yang masuk ke pasar lokal, produk berkualitas dari UMKM sering kalah dalam hal harga.
"Pelaku UMKM kelimpungan digempur dari darat, udara sampai di perbatasan-perbatasan," ungkap Fiki.
Dia menjelaskan Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, sudah mengingatkan bahaya ini sejak 2021 lalu. Produk asing ditransaksikan melalui e-commerce cross border bisa langsung masuk ke berbagai pelosok Tanah Air dengan harga yang murah.
Di lain pihak, pelaku UMKM juga sedang dihadapkan pada ancaman berupa aplikasi marketplace bernama ‘Temu’ dari China. Aplikasi ini disebut-sebut lebih dahsyat dampaknya bagi UMKM lantaran pabrik dari China bisa bertransaksi langsung dengan konsumen.
Untuk itu Fiki berharap Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), serta stakeholder terkait bersinergi mencegah masuknya marketplace Temu ke Indonesia. Hal ini diperlukan semata-mata demi melindungi pelaku usaha di dalam negeri khususnya UMKM.
"Importir harus dapat dipastikan patuh terhadap regulasi dengan membayar bea masuk barang impor. Adanya jaminan penegakan hukum serta aturan terkait impor, maka pelaku UMKM dalam negeri dipastikan dapat bersaing," pungkasnya.
Industri Tekstil Dianaktirikan Pemerintah
Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemerintah enggan menghadapi risiko besar untuk menyelamatkan sektor tekstil.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, awalnya menyoroti kinerja industri tekstil dan pakaian jadi (wearing apparels) yang buruk di dalam negeri.
Ia mencatat bahwa pemerintah lebih fokus pada hilirisasi sektor pertambangan daripada mengurus industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia.
“Kami mengamati arah kebijakan industri yang diterapkan pemerintah saat ini. Fokus utama adalah pada program hilirisasi, namun sangat disayangkan bahwa ketika membahas lima subsektor industri, perhatian hilirisasi masih terlalu terpusat pada sektor pertambangan,” ujar Andry.
Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak ‘menganaktirikan’ industri tekstil, mengingat industri ini berkontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
“Padahal kita tahu, kalau kita tarik ke belakang sebetulnya industri tekstil ini bagian dari hilirisasi di migas. Jadi tekstil ini produk hilirisasi petrokimia. Seharusnya pemerintah memberikan effort yang besar juga, tidak pandang dulu. Jangan memprioritaskan hilirisasi pertambangan saja,” tegasnya.
Ia mengingatkan industri pengolahan non migas pada 2023 memberikan kontribusinya sebesar 16,8 persen terhadap PDB.
Adapun lima subsektor industri yang berkontribusi di antaranya makanan dan minuman, lalu kimia, farmasi dan obat tradisional, logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik, alat angkutan, dan termasuk industri tekstil juga pakaian jadi.
Andry berpendapat posisi industri tekstil dan pakaian jadi akan tergeser dari lima subsektor industri terbesar yang berkontribusi terhadap PDB pada 2024 oleh industri logam. Hal ini dikarenakan industri tekstil yang semakin terpuruk.
Proyeksi tergesernya industri tekstil tersebut dilihat dari kinerja industri logam dasar yang pertumbuhannya cukup tinggi, bahkan tumbuhnya mencapai double digit.
Ia pun berharap seluruh stakeholder terkait dalam pemerintahan turun tangan mempersiapkan langkah-langkah untuk mencegah hal ini. Bahkan, pihaknya berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut andil dalam melihat keterpurukan industri tekstil yang memberikan kontribusi tenaga kerja yang cukup besar ini.
“Kami tahu, sekarang ini kementerian-kementerian teknis terkait, menteri-menteri terkait, bahkan jajarannya sekalipun itu tidak mau mengambil risiko yang cukup besar. Dalam dua atau tiga bulan terakhir atau ini tidak ingin mengambil risiko untuk mengeluarkan apakah itu insentifatau regulasi terkait dengan industri tekstil,” ucap Andry.
Ia sangat menyayangkan sikap pemerintah, khususnya para menteri, yang menyepelekan proses pemindahan tangan ke pemerintahan selanjutnya terkait regulasi tertentu. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.