KABARBURSA.COM - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memberikan tanggapan positif terkait aksi Bank Indonesia (BI) memborong Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp150 triliun. Hal ini disampaikan Executive Vice President (EVP) Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F Haryn.
Lewat pesan singkat, Hera mengatakan bahwa langkah strategis BI ini sangat penting untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang sedang menghadapi tantangan ekonomi global. Aksi borong SUN tersebut diharapkan dapat memberikan likuiditas tambahan ke pasar keuangan domestik.
“Secara umum, kami melihat bahwa pembelian SUN senilai Rp150 triliun oleh BI merupakan langkah strategis bank sentral dalam menjaga sistem keuangan nasional. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan likuiditas tambahan ke pasar, sehingga dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Hera di Jakarta kepada Kabarbursa.com, Selasa 7 Januari 2025.
Hera menegaskan, BCA akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan regulator untuk memastikan langkah ini membawa dampak positif bagi perseroan dan perekonomian nasional.
“Kami tentunya akan berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait dampak atas langkah strategis BI tersebut terhadap perseroan,” tambahnya.
BCA, sebagai bank swasta terbesar di Indonesia, memiliki peran signifikan dalam mendukung stabilitas ekonomi nasional. Dengan jaringan luas dan layanan finansial yang mencakup kebutuhan pribadi hingga bisnis, BCA terus mempertahankan posisinya sebagai pemimpin di sektor perbankan.
Dalam struktur kepemilikan, mayoritas saham BCA dipegang oleh PT Dwimuria Investama Andalan sebesar 54,94 persen, sementara 45,06 persen lainnya dimiliki masyarakat dan pihak-pihak terafiliasi.
Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi, juga menilai tindakan BI membeli SUN merupakan langkah strategis di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan.
“SUN itu kan jatuh tempo dan sebanyak Rp150 triliun mayoritas dimiliki oleh investor lokal. Jika pemerintah gagal membayar, dampaknya akan signifikan, terutama bagi bank-bank swasta yang memiliki SUN tersebut,” kata Ibrahim yang juga Direktur PT Laba Forexindo Berjangka.
Menurut dia, tindakan BI ini secara tidak langsung membantu bank-bank swasta, termasuk BCA, yang merupakan salah satu pemegang SUN terbesar di Indonesia.
“Kalau gagal bayar, yang paling terkena dampaknya adalah pengusaha dalam negeri. Dengan langkah ini, BI memastikan stabilitas tetap terjaga, sehingga emiten-emiten pemilik SUN mendapatkan hak pembayaran jatuh tempo mereka,” pungaksnya.
Pengamat: Ada Bahaya Laten dari Aksi Borong SUN
Pengamat ekonomi Arianto Muditomo, mengingatkan adanya bahaya laten dari keputusan pemerintah menjual Surat Utang Negara (SUN) kepada Bank Indonesia (BI) dengan nilai yang cukup fantastis, yaitu Rp150 triliun.
“Pembelian surat utang ini merupakan langkah strategis untuk menjaga likuiditas pasar dan mendukung pembiayaan pemerintah. Namun, sinergi ini harus tetap berada dalam koridor independensi BI agar tidak memicu persepsi negatif di pasar,” kata Arianto kepada Kabarbursa.com, Jumat, 3 Januari 2025.
Menurut Arianto, pembelian surat utang negara ini memang memiliki dampak positif untuk jangka pendek, yaitu menjaga stabilitas pasar keuangan. Likuiditas tambahan yang disuntikkan oleh BI mampu meredam gejolak pasar obligasi domestik dan menenangkan investor. Namun, di sisi lain, ia mengingatkan risiko jangka panjang yang mengintai, mulai dari potensi inflasi hingga ketergantungan fiskal yang berlebihan pada otoritas moneter.
Arianto menyoroti bahwa pembelian obligasi ini dapat menjadi sinyal bahwa pemerintah menghadapi tantangan besar dalam menarik pembiayaan dari pasar, khususnya di tengah kondisi global yang sulit.
“Dengan rasio utang terhadap PDB yang meningkat, beban fiskal menjadi lebih berat. Meski posisi cadangan devisa cukup kuat, langkah ini bisa meningkatkan kekhawatiran investor jika dianggap sebagai sinyal ketergantungan pemerintah pada BI,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan, dalam jangka panjang, tekanan inflasi berpotensi meningkat jika kebijakan ini tidak diiringi dengan pengelolaan moneter yang ketat. Selain itu, penurunan akses sektor swasta terhadap kredit juga bisa terjadi, karena perhatian lebih banyak tertuju pada pembiayaan pemerintah.
Meski kebijakan ini dinilai cukup efektif untuk mendukung pemulihan ekonomi, Arianto menegaskan bahwa manfaatnya akan terbatas tanpa reformasi struktural.
“Efisiensi alokasi anggaran pemerintah menjadi kunci. Konsolidasi fiskal jangka menengah harus dilakukan agar dampak positif tidak tergerus oleh peningkatan beban utang,” katanya.
Selain itu, pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan pajak dan mempercepat reformasi sektor keuangan untuk menarik lebih banyak investor domestik dan asing. Menurutnya, pengembangan pasar obligasi domestik juga harus menjadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan pada BI.
Arianto juga menyoroti pentingnya komunikasi kebijakan yang transparan dan konsisten antara pemerintah dan BI.
“Kebijakan ini, jika terlalu agresif, dapat mempengaruhi persepsi risiko fiskal Indonesia di pasar global, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan peringkat utang negara dan meningkatkan biaya pinjaman internasional,” tambahnya.
Ia menilai bahwa transparansi menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan pasar global. Pemerintah dan BI harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berorientasi pada jangka pendek, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sebagai alternatif, Arianto menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada penguatan pendapatan negara melalui optimalisasi pajak dan efisiensi belanja.
“Sinergi antara BI dan pemerintah harus diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang, tanpa mengorbankan inflasi dan risiko fiskal,” ujarnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.