KABARBURSA.COM - Menjelang akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah kembali membuka keran ekspor laut setelah resmi dilarang sejak 20 tahun silam. Adapun penanda dibuka kembali ekspor pasir laut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024.
Kedua Permendag tersebut merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang mengatur tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada Mei tahun lalu. Lantas kebijakan tersebut menuai pro dan kontra di tengah publik, lantaran aktivitas pengerukan sedimentasi laut yang dikhawatirkan akan mengganggu mata pencaharian nelayan.
Adapun pelarangan ekspor pasir laut sebelumnya dilakukan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kemudian di akhir kepemimpinan Presiden Jokowi, keran ekspor pasir laut kembali dibuka.
Mitra kerja Kementerian Perdagangan, Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah untuk membatalkan rencana ekspor pasir laut. Pasalnya, mekanisme pengawasan ekspor pasir laut masih belum siap.
Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menuturkan, hasil kajian yang ada, baik laporan dari berbagai kekuatan civil society maupun hasil pemantauan komisi terkait di DPR, lemahnya teknologi dan sistem pengawasan laut belum dapat memastikan kegiatan pengerukan sedimentasi.
Di sisi lain, Amin menilai pengerukan sedimentasi laut untuk kemudian diekspor mengandung lebih banyak kerugian ketimbang keuntungan. “Siapa yang bisa menjamin bahwa pasir yang dikeruk adalah hasil sedimentasi, bukan pasir laut? Pemerintah gembar-gembor soal teknologi pengawasan yang canggih, faktanya untuk mengawasi aktivitas perikanan terukur dan illegal fishing saja kita belum siap,” kata Amin dalam keterangannya, dikutip Kamis 19 September 2024.
Selain sistem teknologi, Amin juga menilai sumber daya manusia tenaga pengawasan yang masih minim dari sisi jumlah. Terbukti dari masih banyaknya kasus penambangan ilegal pasir laut, seperti di Kepulauan Riau dan Kepulauan Seribu.
Tanpa pengawasan dan pengendalian yang tegas, kata Amin, kebijakan mengenai pasir laut atau hasil sedimentasi laut ini menjadi kontra-produktif dengan gembar-gembor pemerintah sendiri mengenai pengembangan ekonomi hijau.
“Kalau ekosistemnya rusak akibat penambangan pasir laut dan hasil sedimentasi, maka janji soal ekonomi hijau hanya omong kosong belaka. Karena ekosistem mangrove, padang lamun, maupun terumbu karangnya hancur,” ungkapnya.
Selain merusak lingkungan, Amin menegaskan penambangan pasir laut menimbulkan persoalan sosial, terutama bagi masyarakat nelayan dan pesisir. Pasalnya, mata pencaharian warga pesisir hilang lantaran rusaknya ekosistem laut.
Kalaupun pemerintah berdalih kebijakan tersebut bisa mendatangkan pendapatan negara lewat Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), kata Amin, tidak ada jaminan tidak ada kebocoran di lapangan.
“Dengan berbagai dampak negatif tersebut, menjadi pertanyaan bagi kita, untuk siapa sesungguhnya dilegalkannya pengerukan dan ekspor pasir laut itu?” tegasnya.
Amin menilai, keuntungan dari membuka ekspor pasir laut tidak sebanding dengan risikonya, terutama dari aspek lingkungan dan ekonomi masyarakat. Secara fiskal, dia menilai hanya beberapa eksportir, penambang, dan pemerintah yang akan merasakan manfaatnya.
"Sebaliknya, dampak negatifnya akan dirasakan oleh ekosistem laut dan masyarakat di sekitar area penambangan," tutupnya.
Normalisasi Laut dan Pengerukan Ilegal
Sementara mitra kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Komisi IV DPR RI, mendorong dibuka kembalinya keran ekspor pasir laut. Pasalnya, sedimentasi yang terjadi menyebabkan pendangkalan laut di beberapa daerah.
Anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo menuturkan, setidaknya terdapat dua persoalan ihwal pasir laut. Pertama, sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan laut sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Demak. Pendangkalan tersebut dinilai turut mempengaruhi hasil tangkapan nelayan sekitar.
“(Di Demak) itu sudah terjadi pendangkalan yang sedemikan rupa sehingga air laut itu malah melimpah masuk ke dalam kampung. Kapal lewat saja itu tidak secara bebas memiliki jalur, sehingga jalur itu hanya satu, pun itu nanti kalau suatu saat sudah terjadi sedimentasi itu akan mengalami soal yang sangat sulit bagi nelayan untuk mencari ikan,” kata Soebagyo saat dihubungi KabarBursa, Senin, 16 September 2024.
Persoalan kedua, Soebagyo menyebut ada oknum yang mengeksploitasi sedimentasi laut demi keuntungan pribadi. Dia mengungkap, aktivitas pengerukan pasir laut secara ilegal terus berlangsung meski ada pelarangan. Bahkan, dia menyebut ada oknum yang melindungi aktivitas ilegal tersebut.
“Terlepas diizinkan dan tidak diizinkan, itu ternyata kan ada orang yang melakukan ekspor secara ilegal. Secara ilegal, yang ekspor itu juga dibeking oleh oknum-oknum tertentu,” ungkapnya.
Menurutnya, untuk menghindari pendanggalan, normalisasi laut harus dilakukan secara terus-menerus. Dalam proses ini, kata Soebagyo, negara bisa menuai pendapatan melalui kegiatan ekspor pasir laut.
Akan tetapi, Soebagyo menekankan, proses pembersihan sedimentasi laut tidak diasosiasikan sebagai kegiatan penambangan. Artinya, hal-hal yang mengganggu penghidupan dan ekosistem laut perlu dilakukan secara sigap dan tepat sasaran.
“Ada batas-batas tertentu, ada toleransi tertentu, sampai di mana boleh (dikeruk). Karena kalau nggak juga, disedot juga (sedimentasi) oleh oknum. Nah maksud saya posisi itulah yang di ekspor, bukan terkemudian dijadikan obyek tambang. Kalau dijadikan obyek tambang, ini kontrolnya susah, karena nanti laut itu pun kalau terlalu dalam digalikan, akhirnya muncul kembali masalah, rusaknya ekosistem,” ungkapnya.
Aktivitas Pengerukan Sedimentasi
Di sisi lain, kebijakan pasir laut juga memastikan aktivitas pengerukan sedimentasi terbebas oknum-oknum ilegal. Karenanya, pengesahan ekspor sedimentasi laut diperlukan dengan batas-batas yang perlu ditetapkan secara cermat.
Sejauh ini, Soebagyo menyebut ekspor pasir laut secara ilegal telah berlangsung sejak lama. Meski tak menyebut angka kerugian negara, dia meyakini ekspor ilegal cukup besar merugikan negara.
“Ini kita bikin formal saja, resmikan saja, tetapi harus ada batas-batas tertentu, jangan sampai itu nanti malah merusak ekosistem. Harus ada keseimbangan di situ,” tegasnya.
Dengan normalisasi sedimentasi laut, Soebagyo meyakini, aktivitas tangkap ikan akan lebih optimal. Pasalnya saat ini, pendangkalan laut sebagaimana yang terjadi di Demak sudah cukup mengkhawatirkan.
"Nelayan ini bisa terbantu karena kalau sudah terjadi sedimentasi kapal nggak bisa lewat seperti di Dembak itu. Itu yang namanya jam 3 itu, laut sudah mulai surut itu, kapal sudah nggak bisa lewat," tutupnya.(*)