KABARBURSA.COM – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya inflasi pada komoditas beras di bulan Juli 2024. Padahal, pada bulan April dan Mei 2024 BPS mencatat adanya deflasi yang cukup dalam pada komoditas tersebut.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengungkap, inflasi beras terjadi sejak dua bulan terakhir, terhitung pada bulan Juni 2024. “Setelah mengalami deflasi yang cukup dalam pada bulan April dan Mei 2024, komoditas berat perlahan mengalami inflasi pada dua bulan terakhir,” ungkap Amalia dalam konferensi persnya di Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2024.
Amalia menuturkan, inflasi yang terjadi pada komoditas beras berlangsung setelah puncak panen raya pada bulan April dan Mei 2024 lalu. Sementara di dua bulan berikutnya, beras mengalami inflasi hingga 0,94 persen.
“Hal ini juga sejalan dengan jumlah produksi beras yang berkurang setelah masa Puncak Raya Padi, tingkat inflasi beras pada Juli 2024 tercatat sebesar 0,94 persen,” ungkapnya.
Adapun dalam data yang dirilisnya, Inflasi pada bulan Juli 2024 berada di level 2,13 persen secara tahunan atau melandai jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Dalam rilis inflasi BPS, komoditas beras juga masuk dalam komponen utama penyumbang angka inflasi setara dengan cabai rawit dengan andil masing-masing sebesar 0,4 persen. Di sisi lain, komoditas penyumbang inflasi di antaranya emas-perhiasan, kopi bubuk, kentang, sigaret kretek mesin dan sigaret kretek tangan dengan andil masing-masing 0,01 persen.
Lebih jauh, Amalia menyebut, inflasi beras terjadi di 25 provinsi pada Juli 2024. “Pada Juli 2024 inflasi beras terjadi di 25 provinsi, ini menunjukkan bahwa inflasi beras tidak terbatas terjadi pada satu wilayah tetapi juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, berdasarkan panel harga dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 1 Agustus 2024, harga beras terpantau fluktuatif. Harga untuk Beras Premuim turun 0,06 persen atau Rp10 menjadi Rp12,530 per kilogram. Sementara komoditas Beras Medium stabil di harga Rp13,570 persen.
NTP Naik
Meski tercatat inflasi di komoditas beras, BPS juga mencatat kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) pada Juli 2024 sebesar 199,61 poin atau naik 0,70 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya. Adapun kenaikan NTP terjadi lantaran indeks harga yang diterima petani juga ikut meningkat 0,31 persen, sedangkan nilai harga yang dibayarkan petani turun 0,39 persen.
Adapun komoditas yang dominan mempengaruhi indeks harga yang diterima petani nasional adalah gabah, capai rawit, kelapa sawit, dan kopi. Sementara komoditas utama yang berkontribusi pada indeks harga yang dibayar petani di antaranya bawang merah, cabai merah, tomat, sayur, dan kacang panjang.
NTP tertinggi terjadi pada subsektor tanaman pangan yang meningkat 2 persen atau 108,32 poin, hal itu terjadi lantaran indeks harga yang diterima petani naik 1,60 persen dan indeks harga yang dibayar petani turun 0,39 persen.
Di sisi lain, BPS juga mencatat penurunan NTP pada subsektor hortikultura sebesar 4,16 persen yang disebabkan oleh indeks harga petani yang turun signifikan sebesar 4,46 persen, begitu juga indeks harga yang dibayar petani yang turun 0,31 persen.
Dalam hal ini, BPS mencatat komoditas utama yang mempengaruhi turunnya NTP di subsektor hortikultura, diantaranya bawang merah, cabai merah, tomat, dan kol kubis. Hal itu terjadi karena harga yang terus tergerus.
NTUP Naik
BPS juga mencatat Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) berada di level 122,25 poin atau naik 0,29 persen pada bulan Juli 2024. Kenaikan NTUP terjadi karena indeks harga yang diterima petani naik sebesar 0,31 persen dan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal mengalami kenaikan sebesar 0,22 persen.
Adapun komoditas yang indeks biaya produksi dan penambahan barang modal nasional adalah upah pemanenan, upah penanaman, dan ongkos angkut. Sementara peningkatan NTUP terjadi pada subsektor tanaman pangan yang naik 1,53 persen.
“kenaikan ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani naik sebesar 1,60 persen atau lebih tinggi dari kenaikan biaya produksi dan penambahan baran modal yang mengalami kenaikan 0,07 persen,” jelas Amalia.
Sementara komoditas yang dominan kenaikan biaya produksi dan penambahan barang modal di antaranya, pemanenan, upah penanaman, dan sewa tanah sawah. Sedangkan penurunan NTUP terdalam terjadi pada sektor hortikultura yang anjlok 4,32 persen.
“Penurunan ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani turun sebesar 4,46 persen, lebih dalam dari penurunan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal yang sebesar 0,14 persen,” jelasnya.
Sedangkan komoditas yang mempengaruhi penurunan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal adalah bibit bawang merah dan bibit kentang. (*)