KABARBURSA.COM - Pertumbuhan ekonomi Singapura terkatrol berkat terlaksananya rangkaian konser dua musisi ternama dunia, Taylor Swift dengan 'The Eras Tour' dan Coldplay dengan 'Music of the Spheres World Tour'.
Bahkan, berkat dua konser tersebut, pundi-pundi kekayaan mayoritas konglomerat Singapura meningkat cukup signifikan.
Melansir Forbes, rangkaian konser kedua musisi itu berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi Singapura yang sedang lesu. Khususnya dari sektor pariwisata.
Berkat dua konser itu, perekonomian Singapura tumbuh positif selama dua kuartal berturut-turut. Kondisi ini memberikan angin segar ke pasar saham negara tersebut, sehingga membuat harta kekayaan dua per tiga orang paling tajir di Singapura meningkat cukup signifikan.
Disebutkan, berkat konser Taylor Swift dan Coldplay itu membuat kekayaan bersih kolektif dari 50 konglomerat terkaya di negara tersebut meningkat lebih dari 10 persen, menjadi USD195 miliar atau setara dengan Rp2.954,25 triliun (kurs Rp 15.150 per dolar AS).
Sementara itu, kantor berita Agencia EFE melaporkan perekonomian Singapura tumbuh 2,7 persen year on year (yoy) pada kuartal pertama 2024 yang sebagian berkat sektor terkait pariwisata karena terlaksananya konser Taylor Swift dan Coldplay.
Kementerian perdagangan (Kemendag) Singapura menyatakan dalam sebuah laporan menyebutkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu sebagian didukung oleh sektor jasa terkait pariwisata seperti sektor akomodasi yang tumbuh 14,4 persen dan sektor transportasi-penyimpanan yang tumbuh 6,8 persen.
Dalam laporan lain dari otoritas moneter Singapura menyebutkan bahwa konser Taylor Swift dan Coldplay berkontribusi pada peningkatan pariwisata dan menghasilkan antara SGD350 hingga SGD450 juta atau setara dengan Rp4,1 hingga Rp5,28 triliun.
Lembaga itu juga melaporkan rangkaian konser tersebut juga berperan dalam meningkatkan jumlah wisatawan asing.
Tercatat jumlah wisatawan asing ini naik hingga 26 persen pada kuartal pertama 2024 dibandingkan kuartal sebelumnya, menjadi 4,4 juta pengunjung.
Selain itu, okupansi hotel mencapai 80 persen antara Januari sampai Februari 2024, dibandingkan kuartal terakhir 2023 yang sebesar 77 persen.
Kemudian maskapai penerbangan juga ikut mengalami peningkatan 30 persen untuk permintaan perjalanan ke Singapura selama konser Taylor Swift.
Ekspor Pasir Laut ke Singapura Bahayakan Kedaulatan RI
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut semua kekayaan bumi milik Indonesia telah dieksploitasi dan dijual ke pihak asing.
Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil Walhi, Parid Ridwanuddin, mengatakan itu ketika menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia yang memperbolehkan kembali aktivitas ekspor pasir laut.
"Semua sudah dijual dan dikuasai pihak asing. Laut, batu bara, sawit, emas, dan terbaru ini laut juga mau dijual," kata Parid kepada Kabar Bursa, Senin, 16 September 2024.
"Jadi, kita ini negara kaya tapi miskin program, ya miskin terobosan," sambungnya.
Dia pun menyebutkan bahwa Indonesia di mata negara-negara merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, seperti batu bara, kelapa sawit, hingga emas.
Ironisnya, meski memiliki kekayaan alam berlimpah, Indonesia ini justru menghadapi kemiskinan dalam hal inovasi dan terobosan program.
“Semua sudah dijual. Di darat ada batu bara sawit, emas, dan sekarang di laut (pasir laut) juga mau dijual. Kita ini adalah negara kaya tapi miskin program, miskin terobosan,” ucap Parid.
Lalu dia membicarakan soal rencana mengekspor pasir laut untuk mendukung proyek reklamasi pantai. Dia mewanti-wanti, eksploitasi pasir laut bisa memunculkan masalah baru di tengah masa transisi pemerintahan yang seharusnya fokus pada menyelesaikan masalah, bukannya justru menciptakan masalah baru.
"Seharusnya tidak boleh mengeluarkan kebijakan seperti ini di penghujung pemerintahan yang harusnya itu memastikan semua tidak melahirkan masalah baru," ujar dia.
Selain berdampak pada ekosistem laut, aktivitas tambang pasir ini juga mempengaruhi kedaulatan wilayah negara. Dia mengutarakan kekhawatirannya apabila menjual pasir laut kepada negara lain, Indonesia sebenarnya memperluas wilayah negara-negara tersebut.
"Yang juga menjadi masalah dalam aktivitas pertambangan pasir laut ini yakni memperluas wilayah negara lainnya seperti Singapura, tapi mempersempit atau menenggelamkan pulau pulau," jelas dia.
Parid menyebutkan, sejak 1965, Singapura telah menambah luas daratannya sebesar 30 persen hingga tahun 2030, sebagian besar berkat impor pasir laut dari negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia.
Bahkan, laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia, dengan total impor mencapai 517 juta ton.
Meski Indonesia sempat menghentikan ekspor pasir laut ke Singapura pada tahun 2002, negara tersebut dengan cepat mencari sumber pasir alternatif dari negara-negara seperti Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Ironisnya, meski Singapura diuntungkan dengan perluasan wilayahnya, Indonesia justru menghadapi ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat aktivitas penambangan pasir laut, yang pada akhirnya merugikan kedaulatan negara, di mana negara asing mendapatkan lebih banyak wilayah, sedangkan Indonesia justru kehilangan sebagian dari kekayaannya.
Karena itu, menurutnya, hal ini menjadi peringatan serius bahwa penjualan pasir laut tak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada integritas teritorial negara.
"Jadi sebetulnya, ini sama saja menjual kedaulatan pada negara asing, ini membahayakan sekali, karena kedaulatan mereka bertambah sedangkan kedaulatan kita berkurang. Ini bahaya sekali,” tegas Parid. (*)