KABARBURSA.COM - Pada pekan kedua Agustus 2024, Bank Indonesia (BI) mencatat aliran masuk modal asing sebesar Rp1,62 triliun ke pasar keuangan domestik. Selama periode 5-8 Agustus 2024, tercatat bahwa nonresiden membeli neto sebesar Rp1,62 triliun.
Dari jumlah tersebut, aliran modal masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp2,24 triliun, sedangkan di pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) tercatat aliran keluar masing-masing sebesar Rp0,65 triliun dan Rp1,28 triliun.
Sepanjang tahun ini, hingga 8 Agustus, terdapat aliran keluar modal dari pasar SBN sebesar Rp21,75 triliun. Pada periode yang sama, tercatat aliran masuk di SRBI sebesar Rp174,51 triliun dan di pasar saham sebesar Rp0,66 triliun.
Untuk semester II/2024 hingga 8 Agustus 2024, aliran masuk di pasar SBN mencapai Rp44,16 triliun, di SRBI sebesar Rp12,20 triliun, dan di pasar saham sebesar Rp0,32 triliun.
Indikator pasar menunjukkan bahwa premi risiko investasi (credit default swap/CDS) Indonesia 5 tahun pada 8 Agustus 2024 berada di level 76,32 bps, menurun dibandingkan 2 Agustus 2024 yang mencapai 79,25 bps. Imbal hasil SBN 10 tahun tetap stabil pada level 6,78 persen per 9 Agustus 2024. Nilai tukar rupiah pada 9 Agustus 2024 terpantau melemah menjadi Rp15.925 per dolar AS, dibandingkan dengan Rp15.890 per dolar AS pada 8 Agustus 2024.
Pengamat: Dana Asing Bukan Penyelamat
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengungkapkan pandangannya bahwa fenomena arus dana asing yang masuk ke pasar keuangan domestik perlu segera dihentikan. Yusuf menyebutkan bahwa kondisi ini merupakan fenomena yang tidak sehat dan harus diakhiri secepatnya. Arus dana asing yang mengalir kembali ke pasar domestik pekan lalu telah memicu perdebatan mengenai dampaknya terhadap stabilitas pasar.
Bank Indonesia (BI) telah memperkenalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sejak September 2023 sebagai instrumen moneter untuk mengendalikan volatilitas rupiah. Yusuf menjelaskan bahwa volatilitas rupiah yang mengkhawatirkan dan rendahnya pasokan dolar AS di pasar valas, akibat tingginya tingkat bunga The Fed, membuat SRBI menawarkan return yang cenderung tinggi, mencapai kisaran 7,3 persen. Ini lebih tinggi dibandingkan dengan return Surat Berharga Negara (SBN) yang sekitar 6,8 persen, sehingga SRBI menjadi pilihan menarik bagi investor yang mencari keuntungan dari investasi jangka pendek.
Namun, ada kekhawatiran bahwa popularitas SRBI dapat menyebabkan efek crowding out di pasar keuangan. Crowding out terjadi ketika dana yang seharusnya masuk ke pasar saham atau SBN berpindah ke SRBI, yang dapat mempengaruhi likuiditas dan dinamika pasar lainnya serta meningkatkan biaya pembiayaan defisit anggaran pemerintah. Yusuf mencatat bahwa stabilisasi rupiah melalui SRBI ini mahal dan terjadi persaingan ketat dalam memperebutkan dana dengan SBN.
Sebelum adanya SRBI, fenomena crowding out telah terjadi dari pasar saham dan pasar obligasi korporasi ke pasar SBN, terutama setelah pandemi yang meningkatkan defisit anggaran pemerintah melampaui batas yang ditetapkan. Dengan adanya SRBI, ada potensi bahwa fenomena ini dapat memperburuk beban pembiayaan defisit anggaran yang sudah tinggi, dan jika dibiarkan, pendanaan untuk sektor swasta akan semakin sulit dan mahal, serta bergantung lebih pada perbankan.
Pesona SRBI
Instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk menarik aliran modal, lebih diminati oleh investor dibandingkan dengan Surat Berharga Negara (SBN) milik pemerintah. Hal ini disebabkan oleh imbal hasil atau yield yang ditawarkan SRBI lebih tinggi, mencapai hingga 7 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto, tidak ingin menyebut kondisi ini sebagai persaingan imbal hasil yang menyebabkan efek crowding out. Ia menekankan bahwa pemerintah lebih cenderung mengendalikan imbal hasil SBN itu sendiri.
“Yield SBN itu kan terbentuk di market, karena kan dia instrumen yang tradable, maka aktivitas di secondary market itulah yang akan membentuk yield SBN,” kata dia di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa 9 Juli 2024.
Ia juga tidak menyatakan bahwa pemerintah berencana segera menaikkan imbal hasil SBN untuk menarik lebih banyak investor. Menurutnya, yang lebih penting adalah mengendalikan yield SBN sesuai dengan kemampuan keuangan negara melalui pengelolaan penerbitannya. Pasalnya, yield SBN terbentuk berdasarkan mekanisme pasar.
“Tentu pemerintah berkepentingan bahwa yield SBN itu rasional, sehingga di situ kan misalnya pemerintah tentu dalam penerbitan SBN memiliki strategi penerbitan. Misalnya untuk mengelola sisi supply, sehingga sisi supply risk nya dapat terjaga, sehingga yieldnya dapat terkendali,” ungkapnya.
Ketika ditanya tentang dampak yield SRBI yang tinggi terhadap arus masuk SBN, ia menjelaskan bahwa meskipun yield SBN cukup terkendali bahkan dalam dinamika global, pemerintah tetap menjaga kredibilitas dan kinerja perekonomian sehingga memberikan confidence kepada investor.
Suminto menekankan bahwa imbal hasil SBN sejauh ini masih sesuai dengan ekspektasi pemerintah. Sebagai contoh, imbal hasil SBN tenor 10 tahun mencapai 7,04 persen, naik dari posisi Januari 2024 yang berada di kisaran 6 persen.
“Kinerja perekonomian yang terjaga dengan baik memberikan kepercayaan kepada investor. Jadi, kita akan terus menjaga stabilitas pasar SBN dan yield yang terkendali,” ujarnya.
Suminto menegaskan bahwa tidak akan ada strategi khusus untuk merespons kekalahan saing SBN dari SRBI. Meski begitu, pemerintah sedang mengurangi penerbitan SBN untuk membiayai defisit APBN, dengan proyeksi penurunan sebesar Rp214,6 triliun dari pagu tahun ini.(*)