KABARBURSA.COM - Helmi Arman, Chief Economist Citi Indonesia, memperkirakan penurunan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk tenor 12 bulan akan lebih signifikan dibandingkan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-Rate) yang diprediksi akan turun sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2024.
Helmi menjelaskan, proyeksi ini didasarkan pada tren sebelumnya di mana kenaikan suku bunga SRBI melampaui kenaikan BI-Rate, baik saat BI menaikkan suku bunga acuannya pada Oktober tahun lalu maupun April tahun ini. "Jadi, menurut perkiraan kami, ketika BI-Rate turun, suku bunga SRBI akan turun lebih drastis dibandingkan penurunan BI-Rate itu sendiri," jelas Helmi, dikutip Senin 19 Agustus 2024.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa suku bunga SRBI tenor 12 bulan telah mengalami penurunan sekitar 25 bps dalam beberapa minggu terakhir, dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen.
Jika BI memulai penurunan suku bunga pada September mendatang, besar kemungkinan penurunan suku bunga SRBI akan mendahului penurunan BI-Rate. “Pada April lalu, ketika BI-Rate naik 25 bps, suku bunga SRBI naik hampir 60 bps. Jadi mungkin hal yang sama akan terjadi sebaliknya. Meskipun BI-Rate diperkirakan turun 25 bps, suku bunga SRBI bisa turun lebih dalam,” tambahnya.
Di tengah optimisme ini, Helmi juga mengingatkan adanya risiko ke depan yang perlu diwaspadai. Salah satu yang ia soroti adalah mengenai aliran modal masuk (inflow) ke pasar keuangan Indonesia, khususnya ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Menurut data global fund flows dari Citi, inflow ke negara-negara berkembang atau emerging markets secara keseluruhan belum menunjukkan kekuatan yang signifikan.
Helmi berpendapat bahwa inflow ke Indonesia saat ini mungkin masih merupakan dampak dari pergeseran posisi portofolio investor, bukan dari arus modal yang stabil dan signifikan ke emerging markets secara menyeluruh. “Implikasinya, kelanjutan inflow ke Indonesia yang kita lihat sekarang mungkin akan lebih sensitif terhadap perubahan valuasi atau fluktuasi harga aset keuangan kita,” ujarnya.
Selain itu, Helmi juga menyoroti risiko eksternal yang terkait dengan Pemilu AS yang akan datang. Pasar menantikan apakah pasca Pemilu AS tersebut akan muncul perang tarif baru antara Amerika Serikat dan Tiongkok. “Sebagaimana kita lihat selama pemerintahan Donald Trump 2016-2020, setiap kali AS memberlakukan tarif baru terhadap produk Tiongkok, Yuan Tiongkok biasanya terdevaluasi, menyebabkan penguatan dolar. Hal ini berpotensi menimbulkan risiko bagi nilai tukar negara-negara berkembang, karena China menjadi jangkar bagi mata uang emerging markets,” jelas Helmi.
Helmi juga menekankan pentingnya memantau posisi investor asing di Indonesia. Menurutnya, instrumen moneter jangka pendek di Indonesia mungkin akan mengalami pembalikan jika suku bunga domestik mulai turun. "Posisi asing di pasar instrumen jangka pendek di Indonesia cukup signifikan. Jika terjadi pembalikan, hal ini bisa mengurangi dampak positif dari arus modal masuk yang kini mengalir ke pasar SBN," ungkap Helmi.
BI Rate Ditahan
Pada 16-17 Juli 2024 lalu, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia menetapkan keputusan penting terkait suku bunga. BI-Rate dipertahankan pada level 6,25 persen, sementara suku bunga Deposit Facility tetap di angka 5,50 persen dan suku bunga Lending Facility berada di 7,00 persen. Langkah ini sejalan dengan kebijakan moneter yang berorientasi pada stabilitas, bertujuan untuk mengontrol inflasi agar tetap berada dalam target 2,5±1 persen pada tahun 2024 dan 2025.
Kebijakan moneter jangka pendek difokuskan pada penguatan stabilitas nilai tukar Rupiah dan menarik investasi asing. Di sisi lain, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan makroprudensial yang longgar diterapkan untuk mendorong kredit kepada sektor usaha dan rumah tangga. Sementara itu, kebijakan sistem pembayaran diarahkan pada penguatan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi dalam sistem pembayaran.
Nilai tukar Rupiah menunjukkan penguatan yang signifikan, berkat serangkaian kebijakan moneter Bank Indonesia yang dirancang untuk meredam dampak dari dinamika global.
Hingga pertengahan Juli 2024, Rupiah menguat sebesar 1,21 persen dibandingkan akhir Juni 2024. Penguatan ini didorong oleh komitmen Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan kekuatan fundamental perekonomian nasional.
Walaupun nilai tukar Rupiah mengalami penurunan 4,84 persen secara tahun-ke-tanggal (ytd) dibandingkan akhir Desember 2023, angka tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan penurunan Peso Filipina, Baht Thailand, dan Won Korea, yang masing-masing tercatat sebesar 5,14 persen, 5,44 persen, dan 7,03 persen.
Ke depan, Rupiah diperkirakan akan bergerak stabil dengan kecenderungan menguat, didukung oleh imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap solid. Bank Indonesia berkomitmen untuk terus menstabilkan nilai tukar Rupiah, yang diharapkan akan memacu berlanjutnya aliran modal asing.
Bank Indonesia aktif mengoptimalkan berbagai instrumen moneter, termasuk strategi operasi moneter pro-market dengan pemanfaatan maksimal dari instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI. Selain itu, koordinasi yang erat dengan Pemerintah, sektor perbankan, dan dunia usaha terus diperkuat untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sesuai dengan PP Nomor 36 Tahun 2023. (*)