KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang tahun 2025 berada pada kisaran 4,6 hingga 5,4 persen, turun dari proyeksi sebelumnya di rentang 4,7 hingga 5,5 persen.
Hal ini disampaikan langsung oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan yang digelar hari ini Rabu, 21 Mei 2025 melalui siaran langsung YouTube Bank Indonesia.
“Realisasi PDB kuartal I-2025 yang sebesar 4,87 persen year-on-year (yoy) lebih rendah dari triwulan sebelumnya, mengindikasikan perlunya penguatan permintaan domestik. Maka dari itu, kami merevisi kisaran pertumbuhan ekonomi 2025 menjadi 4,6 sampai 5,4 persen,” ujar Perry dalam RDG.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 melambat dari 5,02 persen di kuartal IV-2024 menjadi 4,87 persen secara tahunan. Kinerja tersebut masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang menguat berkat mobilitas masyarakat selama libur tahun baru dan Idulfitri.
Di sisi lain, investasi bangunan mencatatkan perlambatan meskipun investasi non-bangunan tetap positif seiring realisasi penanaman modal asing.
Ekspor juga tumbuh berkat permintaan dari mitra dagang utama, terutama Tiongkok, India, dan Eropa. Sektor industri pengolahan, perdagangan, transportasi dan pergudangan serta pertanian menjadi pendorong utama kinerja lapangan usaha.
Namun, sejumlah indikator ekonomi pada kuartal II-2025 menunjukkan perlunya penguatan aktivitas ekonomi untuk mencapai target pertumbuhan tahunan.
Sinergi Kebijakan Dorong Momentum Ekonomi
BI menegaskan akan memperkuat sinergi bauran kebijakan, termasuk kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, yang diselaraskan dengan stimulus fiskal pemerintah.
“Kami terus mendorong belanja pemerintah yang berkualitas, percepatan proyek strategis nasional, dan memperluas digitalisasi sistem pembayaran,” kata Gubernur BI itu.
Program-program pemerintah seperti Asta Cita juga diharapkan memberikan dorongan tambahan terhadap permintaan domestik, sehingga menjadi katalis penting dalam memperkuat pemulihan.
Perry menyinggung neraca pembayaran dan Rupiah tetap terkendali. Meskipun ketidakpastian global masih tinggi, neraca pembayaran Indonesia diperkirakan tetap baik sepanjang tahun ini. BI memperkirakan defisit transaksi berjalan berada pada kisaran rendah, yaitu 0,5–1,3 persen terhadap PDB, ditopang oleh surplus perdagangan barang, terutama sektor nonmigas.
Pada April 2025, cadangan devisa tercatat sebesar USD152,5 miliar, setara 6,4 bulan impor, jauh di atas standar internasional minimal tiga bulan. Sementara itu, nilai tukar rupiah per 20 Mei 2025 tercatat menguat 1,13 persen point-to-point dibandingkan akhir April, mencerminkan stabilitas eksternal yang terus terjaga.
Aliran investasi portofolio mulai kembali masuk pada Mei 2025, khususnya ke instrumen Surat Berharga Negara (SBN) dan pasar saham, sejalan dengan menurunnya ketidakpastian global dan meningkatnya minat terhadap aset di pasar negara berkembang.
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) per April 2025 tercatat hanya 1,95 persen secara tahunan, jauh di bawah batas atas target BI yang berada di kisaran 2,5 persen kurang lebih 1 persen. Inflasi inti pun tetap rendah di level 2,5 persen. Hal ini mencerminkan efektivitas kebijakan suku bunga dan eratnya koordinasi pengendalian inflasi melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP-TPID).
Kelompok volatile food hanya mencatatkan inflasi 0,64 persen yoy, sementara kelompok administered prices mulai kembali mencatatkan inflasi 1,25 persen yoy setelah sebelumnya mengalami deflasi pada Maret 2025 akibat berakhirnya program diskon tarif listrik rumah tangga.
BI mencatat bahwa ketidakpastian global masih perlu diwaspadai meskipun terdapat perbaikan dalam proyeksi ekonomi dunia. Kesepakatan sementara antara Amerika Serikat dan Tiongkok untuk menurunkan tarif impor selama 90 hari dinilai telah memberikan sinyal positif terhadap pertumbuhan global, yang direvisi naik dari 2,9 persen menjadi 3 persen.
Namun demikian, BI menegaskan bahwa negosiasi tarif antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya masih berlangsung dinamis. “Kondisi ini memerlukan kewaspadaan serta penguatan respon dan koordinasi kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal dan stabilitas ekonomi nasional,” lanjutnya.
Kebijakan fiskal Amerika Serikat yang agresif juga meningkatkan risiko fiskal dan mendorong kenaikan yield US Treasury. Sementara itu, ekspektasi penurunan Fed Fund Rate tetap kuat seiring menurunnya tekanan inflasi di AS. Aliran modal global pun mulai bergeser dari Amerika Serikat ke negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Respons Kebijakan Terintegrasi Dorong Permintaan Domestik
BI menegaskan pentingnya sinergi kebijakan untuk memperkuat permintaan domestik dan memanfaatkan peluang ekspor.
“Berbagai respons kebijakan perlu makin diperkuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi antara lain melalui penguatan permintaan domestik serta optimalisasi peluang peningkatan ekspor,” ujar BI.
Bauran kebijakan moneter dan makroprudensial BI disinergikan dengan stimulus fiskal pemerintah, termasuk dukungan terhadap program transformasi struktural. Percepatan digitalisasi sistem pembayaran juga menjadi fokus untuk mendukung efisiensi dan inklusi ekonomi nasional.
Neraca Pembayaran Indonesia tetap berada dalam kondisi baik, ditopang oleh surplus neraca perdagangan barang nonmigas dan peningkatan aliran investasi portofolio pada Mei 2025.
Defisit transaksi berjalan triwulan I-2025 juga diperkirakan tetap rendah, mendukung stabilitas eksternal di tengah gejolak global. (*)