Logo
>

BI Sebut Sektor Perumahan RI Perlu Didukung

Sektor perumahan di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, termasuk backlog perumahan yang tinggi.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
BI Sebut Sektor Perumahan RI Perlu Didukung
Perumahan dan Pemukiman baru di Kawasan Gunung Pancar Sentul City Bogor, Senin (10/3/2025). Kawasan Sentul City semakin di padati Perumahan dan Lapangan Golf hingga mulai naik ke dataran tinggi seperti Gunung Pancar dan Bojong Koneng. foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

Poin Penting :

    KABARBUSA.COM - Sektor perumahan menjadi salah satu sektor strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan daya ungkit tinggi, sektor ini memiliki keterkaitan erat dengan berbagai industri lainnya, baik dari sisi hulu (backward linkage) maupun hilir (forward linkage). 

    Namun, meskipun perannya signifikan, sektor perumahan di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, termasuk backlog perumahan yang tinggi dan rasio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang relatif rendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya.

    Berdasarkan data Perkembangan Ekonomi & Kebijakan Makroprudensial Terkini yang dipaparkan oleh Asisten Gubernur, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Solikin M Juhro akses pembiayaan untuk memiliki rumah di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia. 

    Rasio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai 5,08 persen, jauh tertinggal dari negara-negara seperti India (10,09 persen), Thailand (15,16 persen), hingga Malaysia (44,40%). Lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan Singapura (45,40 persen) dan Hong Kong (84,63 persen).

    Kepemilikan rumah masih menjadi tantangan besar bagi jutaan keluarga di Indonesia. Backlog perumahan—jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah—mencapai 9,9 juta unit, sebuah angka yang mencerminkan betapa sulitnya akses terhadap hunian layak dan terjangkau.

    Pulau Jawa menjadi wilayah dengan backlog tertinggi, mencapai 5,5 juta unit, didorong oleh pesatnya urbanisasi dan tingginya harga tanah di perkotaan. Di Sumatera, 2,7 juta keluarga masih berjuang mendapatkan rumah sendiri, sementara di kawasan Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua), backlog mencapai 0,8 juta unit. Kalimantan mencatat 0,6 juta unit, sedangkan Bali dan Nusa Tenggara menghadapi kekurangan 0,4 juta unit.

    “Pentingnya dorongan pada sektor perumahan juga sejalan dengan tingginya backlog di sektor perumahan (9,9 Juta RT) serta rasio KPR terhadap PDB Indonesia yg masih lebih rendah dibandingkan dengan negara asia lainnya,”  tulisnya dalam paparan Taklimat Media BI Maret 2025.

    Meskipun demikian, BI mengklaim dalam beberapa tahun terakhir, harga rumah di Indonesia menunjukkan tren yang stabil, tanpa indikasi adanya spekulasi berlebihan atau pengambilan risiko yang tidak terkendali. Tren ini terlihat dari pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang tetap terkendali meskipun perekonomian global mengalami berbagai tantangan.

    Memasuki awal 2024, pertumbuhan IHPR primer secara tahunan (yoy) tercatat sebesar 1,46 persen. Jika dirinci berdasarkan segmen, rumah kecil mengalami kenaikan 1,76 persen, segmen menengah tumbuh 1,04 persen, sementara segmen besar mencatat pertumbuhan tertinggi, yakni 1,97 persen. 

    Insentif Likuiditas untuk Perbankan

    Untuk diketahui, BI kembali memperkuat dukungan bagi sektor perumahan dengan menaikkan insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM). Mulai 1 April 2025, besaran insentif ini akan meningkat dari maksimal 4 persen menjadi 5 persen dari dana pihak ketiga (DPK) perbankan.

    Sepanjang 2025, BI telah menggelontorkan insentif KLM senilai Rp 291,8 triliun kepada berbagai kelompok perbankan hingga pekan kedua Maret. Dari total tersebut, bank BUMN menerima Rp 125,7 triliun, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) memperoleh Rp 132,8 triliun, Bank Pembangunan Daerah (BPD) mendapatkan Rp 27,9 triliun, serta Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) menerima Rp 5,4 triliun.

    "Secara sektoral, insentif tersebut disalurkan untuk ekspansi likuiditas dalam mendorong sektor-sektor prioritas, salah satunya sektor perumahan," tulis keterangan di akun Instagram resmi @bank_indonesia, dikutip Jumat, 28 Maret 2025.

    Dukungan terhadap sektor perumahan terus diperbesar. BI menargetkan peningkatan insentif untuk sektor ini, termasuk perumahan rakyat, dari Rp 23 triliun menjadi Rp 80 triliun secara bertahap.

    Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi BI dalam menjaga stabilitas ekonomi, meningkatkan pertumbuhan, serta mendorong penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.

    "Tentunya hal ini jadi kabar menggembirakan untuk Sobat yang berniat untuk memiliki rumah idaman, karena pembiayaan dari perbankan akan semakin dimudahkan," tulis BI dalam unggahannya.

    Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo juga menegaskan komitmennya dalam memberikan insentif likuiditas bagi bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor perumahan. Saat ini, BI telah menyiapkan dana sebesar Rp 23,19 triliun dan akan terus menaikkan insentif ini hingga mencapai Rp 80 triliun.

    BI Tambah Bantuan Rp150 T untuk Perumahan

    Lelang Surat Utang Negara (SUN) terbaru memunculkan dinamika yang menarik dalam kebijakan ekonomi domestik.

    Pengamat ekonomi Yanuar Rizki menyoroti adanya potensi inverse rate antara kupon SUN dan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang berimplikasi pada stabilitas pasar keuangan serta solvabilitas lembaga keuangan tertentu, terutama BPJS Ketenagakerjaan.

    Menurut Yanuar, jika Komite Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) berupaya menahan harga SUN, maka ruang pelebaran yield harus dikompensasi dengan kenaikan bunga SRBI. 

    "Kalau KKSK mau nahan harga SUN, maka ruang yield melebar harus dikompensasi bunga SRBI naik," ujarnya dalam keterangan yang diterima Kabar Bursa, Senin 24 Maret 2025.

    Lebih jauh, ia mencurigai adanya upaya KKSK mengunci harga SUN sekunder. Dugaan ini didasarkan pada potensi insolvensi BPJS Ketenagakerjaan akibat koreksi nilai wajar aset yang dimiliki. 

    "Pertimbangan terbesar dugaan saya insolvensi rate BPJS-TK, karena koreksi nilai wajar asetnya. Di saat naiknya kewajiban akan berdampak buruk," ungkapnya. 

    Ia merujuk pada pengalaman di Amerika Serikat, di mana lonjakan klaim dana pengangguran hingga 50-60 persen per negara bagian menyebabkan krisis solvabilitas sistem jaminan sosial.

    Kondisi BPJS Ketenagakerjaan semakin diperumit oleh ketentuan Omnibus Law sektor keuangan. Dalam aturan tersebut, Jaminan Hari Tua (JHT) tidak bisa langsung dicairkan saat pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 

    Sebagai gantinya, pekerja yang kehilangan pekerjaan hanya mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) selama enam bulan, namun akumulasi dana JKP sendiri masih tergolong kecil karena baru berjalan dua tahun. 

    "Laporan keuangan BPJS TK menunjukkan penurunan premi signifikan, artinya PHK lumayan masif," tambah Yanuar.

    Dengan kondisi seperti ini, Yanuar mengingatkan bahwa jika pekerja yang terkena PHK tidak mendapatkan pekerjaan dalam enam bulan, mereka berpotensi melakukan protes terkait akses terhadap tabungan JHT mereka. 

    "Kalau yang PHK tak dapat kerja lagi dalam enam bulan, bisa ngamuk soal tabungan JHT," katanya.

    Di sisi lain, Yanuar juga menyoroti kebijakan Bank Indonesia yang berencana membeli instrumen subprime mortgage senilai Rp150 triliun untuk tiga juta rumah. 

    "Satu sisi, lagi berat-beratnya, aku ya bingung malah mau beli instrumen subprime mortgage tiga juta perumahan Rp150 triliun BI," terangnya.

    Ia mengingatkan bahwa Indonesia berisiko mengulang kesalahan yang pernah terjadi di AS pada 2004-2006, ketika kenaikan suku bunga Federal Reserve menyebabkan lonjakan bunga KPR yang berujung pada krisis subprime mortgage 2008. 

    "Kita nggak belajar ke US, penyebabnya subprime mortgage yang bunga KPR-nya naik karena Fed rate naik di 2004-2006. Lah, kita on curve lagi naik tren bunganya," ujarnya.

    Selain itu, ia juga mengingatkan pelajaran dari China pada 2021, di mana proyek perumahan besar-besaran justru berakhir dengan stagnasi karena tidak ada yang membeli rumah. Fenomena ini, menurutnya, dipengaruhi oleh pergeseran pola pikir generasi muda. 

    Pergeseran Paradigma Gen Z

    "Menarik, ternyata pergeseran paradigma Gen Z. Daripada terbebani kredit jangka panjang yang sama dengan harga sewa apartemen, mereka pilih sewa. Dan, bayar sewa dari membeli aset keuangan daripada rumah," paparnya.

    Namun, ia juga mengkritisi perbedaan respons kebijakan di Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Di AS, kebijakan moneter sering dikawal secara ketat oleh Kongres melalui testimoni dari Ketua The Fed. Sementara di Indonesia, menurutnya, keputusan penting justru lebih bersifat tertutup. 

    "Susah DPR juga kayak gini, kalau di US, yang ditunggu testimoni Chair The Fed di Kongres yang dinamis, di kita malah GBI 'menghadap' ke rumah menteri perumahan," kritiknya.

    Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa China sendiri masih berjuang agar proyek perumahan mereka yang tidak terserap pasar tidak berubah menjadi krisis perbankan seperti yang terjadi di AS pada 2007. 

    "Kita juga nggak belajar ke China 2021, yang hingga saat ini PBoC (bank sentralnya) tengah berusaha keras agar tidak terserapnya rumah tak jadi crash ke sistem perbankan seperti di US 2007," pungkasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.