KABARBURSA.COM - Pengusaha meramalkan prospek ekspor nonmigas Indonesia akan menghadapi tantangan berat setidaknya selama setahun ke depan, seiring dengan melonjaknya biaya logistik dalam perdagangan internasional.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia, Benny Soetrisno, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap penurunan volume ekspor bersih akibat gangguan geopolitik global. Konflik yang berkepanjangan seperti perang Ukraina dan ketegangan di Gaza, ditambah dengan penutupan Terusan Suez, berkontribusi pada lonjakan ongkos logistik.
"Gangguan geopolitik ini sangat memengaruhi ekspor kita. Dengan ketidakpastian global dan meningkatnya biaya pengapalan, eksportir cenderung fokus pada negara-negara yang lebih mudah dijangkau dan masih memiliki permintaan tinggi, seperti India," ujar Benny, seperti dikutip Senin, 12 Agustus 2024.
Kenaikan harga minyak mentah, yang dipicu oleh ketegangan di Timur Tengah, juga turut berdampak pada meningkatnya biaya pengapalan barang ke wilayah Pasifik. Ini berpotensi menurunkan volume ekspor Indonesia.
Meskipun Benny tidak merinci secara detail mengenai kalkulasi kenaikan ongkos logistik yang dialami eksportir, data menunjukkan bahwa harga spot pengapalan peti kemas sempat melonjak selama tiga bulan berturut-turut sebelum menurun sedikit pada akhir Juli.
Komposit Drewry World Container Index, yang mengukur delapan jalur perdagangan utama, turun 2,2 persen menjadi USD5.806 per unit 40 kaki. Meskipun mengalami penurunan, harga ini masih sekitar tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan akhir 2023, saat kapal-kapal kargo mulai mengalihkan rute untuk menghindari serangan Houthi di Laut Merah.
Kenaikan biaya logistik tak terduga ini juga dipengaruhi oleh lonjakan permintaan barang dari Amerika Serikat (AS), di mana para importir berlomba-lomba menimbun stok menjelang penerapan tarif yang lebih tinggi untuk produk-produk dari China pada kuartal II-2024.
Fokus ke Pasar India
Kalangan pengusaha kini lebih cenderung mengarahkan perhatian mereka ke pasar-pasar yang lebih terjangkau dan kurang terpengaruh oleh lonjakan biaya pengapalan. Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia, Benny Soetrisno, para eksportir akan fokus pada pasar-pasar yang lebih stabil, seperti India, Bangladesh, dan Pakistan di Asia Selatan, serta China, Jepang, dan Korea Selatan di Asia Timur.
“India dan negara-negara sekitarnya menjadi prioritas karena biaya pengapalan ke wilayah ini relatif lebih rendah,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia per Juni 2024 masih mencatat surplus USD2,39 miliar, melanjutkan tren positif selama 50 bulan berturut-turut. Impor meningkat 7,58 persen secara tahunan menjadi USD18,45 miliar, sementara ekspor mencapai USD20,84 miliar. Meskipun harga komoditas nonmigas masih fluktuatif, seperti minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara, kinerja ekspor tetap terjaga.
Benny menambahkan bahwa India memiliki potensi besar bagi eksportir Indonesia, terutama untuk komoditas seperti batu bara dan CPO.
"Batu bara dan hasil CPO, seperti minyak goreng, masih banyak dikirim ke India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka," katanya.
Meski demikian, Indonesia menghadapi tantangan di pasar India. Kampanye hitam terhadap produk sawit Indonesia, yang dipromosikan oleh beberapa selebritas dan influencer India, menjadi sorotan. Kampanye ini, mirip dengan yang terjadi di negara-negara Barat, mengaitkan kelapa sawit dengan dampak negatif bagi kesehatan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat bahwa konten negatif ini mengandalkan riset tertentu yang tidak selalu objektif.
Sementara itu, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5 persen pada 2024 dan sedikit meningkat menjadi 5,1 persen pada 2025. Laporan IMF menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong oleh permintaan domestik, meski harga komoditas mengalami penurunan.
Inflasi diperkirakan tetap berada dalam target pemerintah, dengan ekspor tumbuh lambat dan impor sejalan dengan permintaan domestik. IMF memperkirakan defisit transaksi berjalan akan berada pada level moderat selama periode tersebut.
Para eksportir Indonesia kini menghadapi tantangan besar akibat lonjakan biaya logistik dan ketegangan geopolitik global. Untuk mengatasi hal ini, mereka cenderung akan memfokuskan perdagangan pada pasar-pasar yang lebih terjangkau dan stabil, seperti India, Bangladesh, dan Pakistan di Asia Selatan, serta China, Jepang, dan Korea Selatan di Asia Timur. Sementara itu, India menjadi pasar prioritas karena masih tingginya permintaan terhadap komoditas Indonesia, meskipun ada tantangan dari kampanye hitam terhadap produk sawit.
Di sisi lain, perkembangan infrastruktur di Ibu Kota Nusantara (IKN) terus berlanjut dengan uji coba kereta otonom sebagai moda transportasi baru. Pemerintah berencana memanfaatkan kereta otonom ini untuk melayani acara-acara besar seperti perayaan HUT ke-79 RI, dengan harapan dapat meningkatkan efisiensi transportasi di kawasan inti pemerintahan.
Secara keseluruhan, baik sektor ekspor maupun pengembangan infrastruktur di IKN menunjukkan upaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi global dan domestik yang berubah-ubah, sambil tetap berfokus pada peluang-peluang strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.