KABARBURSA.COM - Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius, menegaskan komitmennya terhadap tata kelola perusahaan yang bersih dan transparan. Ia menegaskan bahwa jika ada pelanggaran hukum, termasuk korupsi dan suap, seluruh pihak yang terlibat harus siap mempertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dirinya sendiri.
"Saya hanya selalu mengingat pesan dari Bapak Presiden Prabowo Subianto bahwa good governance dan clean government adalah faktor yang mendorong prosperous nation. Jadi dua hal itu akan kita pegang terus," kata Simon dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Selasa 11 Maret 2025.
Simon menambahkan bahwa Pertamina menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap praktik korupsi dan suap, baik di internal perusahaan maupun dalam kerja sama dengan pihak eksternal.
Simon menegaskan bahwa pihaknya menghormati setiap proses hukum yang tengah berjalan terkait dugaan pelanggaran di Pertamina. Namun, ia juga menekankan bahwa perusahaan harus tetap berjalan sebagai aset strategis bangsa.
"Pisahkan proses hukum yang sedang berlangsung dengan fakta bahwa Pertamina adalah sokoguru dan tulang punggung perekonomian Indonesia," ujarnya.
Simon juga menyampaikan bahwa pihaknya meminta izin untuk bekerja keras dalam mengembalikan kepercayaan dan kebanggaan masyarakat terhadap Pertamina.
Sebagai langkah responsif dalam menjaga keberlanjutan bisnis, ia mengungkapkan bahwa Pertamina telah membentuk Crisis Center yang melibatkan berbagai bidang, subholding, dan direktorat guna mengintegrasikan informasi serta memastikan koordinasi lintas fungsi berjalan optimal.
"Berikan kami kesempatan untuk bekerja keras dan kembali mendapatkan kepercayaan dan kebanggaan dari masyarakat," ujar Simon.
Ajak Masyarakat Laporkan SPBU Nakal
Dalam upaya transparansi, Simon mengajak masyarakat untuk turut serta dalam pengawasan terhadap praktik di lapangan, terutama SPBU yang berpotensi melakukan pelanggaran.
"Kita sudah memiliki layanan call center 135 sebagai jalur resmi pengaduan. Selain itu, saya juga memberikan nomor pribadi saya agar masyarakat bisa langsung menyampaikan keluhan," ujarnya.
Simon mengakui bahwa banyak laporan yang masuk terkait dugaan praktik SPBU nakal. Pihaknya berjanji akan menindaklanjuti laporan-laporan tersebut dengan bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
"Banyak juga laporan-laporan yang masuk terhadap beberapa praktik SPBU yang nakal. Nanti akan kita kerja sama dengan aparat hukum untuk kita bersihkan, agar rakyat tidak dirugikan," tegasnya.
Perdebatan Soal Blending
Kasus dugaan mega korupsi di Pertamina yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun per tahun selama lima tahun terus menjadi sorotan. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa isu utama dalam kasus ini justru teralihkan oleh perdebatan soal blending BBM, yang berpotensi mengaburkan modus utama perampokan negara melalui markup impor minyak mentah, impor BBM, dan pengapalan.
“Fokus utama seharusnya pada dugaan skema korupsi dalam tata kelola impor minyak dan BBM, bukan sekadar perdebatan blending yang justru bisa merugikan Pertamina lebih lanjut,” ujar Fahmy, kepada awak media di Jakarta, Senin, 3 Maret 2025.
Menurutnya, polemik blending yang terus berlanjut bisa mendorong migrasi konsumen Pertamax ke SPBU asing atau bahkan beralih ke Pertalite yang disubsidi pemerintah. Jika tren ini meluas, bukan hanya Pertamina yang merugi, tetapi juga APBN yang harus menanggung beban subsidi BBM yang semakin besar.
Kejaksaan Harus Fokus
Fahmy menegaskan bahwa Kejaksaan Agung harus tetap fokus pada pengungkapan jaringan mafia migas yang diduga terlibat dalam kasus ini. Ia menyebutkan bahwa korupsi di tubuh Pertamina periode 2018-2023 melibatkan berbagai pihak, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, serta sejumlah Dirut dan Komisaris Perusahaan Swasta.
“Selain menangkap aktor-aktor utama, pembersihan besar-besaran harus dilakukan terhadap semua pihak yang terkait dengan mafia migas, termasuk di Pertamina dan kementerian terkait. Bahkan backing mafia migas pun harus disikat,” tegasnya.
Lanjutnya ia juga mengingatkan bahwa upaya memberantas mafia migas bukan perkara mudah. Ia mengutip pernyataan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang pernah mengakui bahwa dirinya tidak sanggup membubarkan Petral—anak usaha Pertamina yang diduga sebagai sarang mafia migas—karena backing yang sangat kuat hingga “langit tujuh.”
Namun, ia menilai ada petunjuk penting dalam kasus ini. Jika korupsi skala besar itu berlangsung tanpa tersentuh sejak 2018-2023, lalu tiba-tiba mulai terungkap pada awal 2025, itu bisa menjadi indikasi bahwa backing yang selama ini melindungi praktik tersebut tidak lagi sekuat sebelumnya.
“Seolah-olah selama lima tahun terakhir, mega korupsi ini tak tersentuh karena backing yang kuat. Namun kini, backing itu tampaknya sudah melemah. Ini momen tepat bagi Kejaksaan Agung untuk menindak tegas semua pihak yang terlibat, termasuk aktor besar di balik layar,” kata Fahmy.
Ia menekankan bahwa tanpa operasi besar-besaran terhadap jaringan mafia migas dan backingnya, mega korupsi di Pertamina berpotensi terus berulang di masa depan.
"Pembersihan harus dilakukan secara menyeluruh, agar kasus ini tidak hanya jadi wacana sesaat tanpa ada perubahan fundamental dalam tata kelola energi nasional," pungkasnya.