Logo
>

BPS Sebut RI Mengalami Deflasi Januari 2025 Sebesar 0,76 Persen

Ditulis oleh Yunila Wati
BPS Sebut RI Mengalami Deflasi Januari 2025 Sebesar 0,76 Persen

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik melaporkan, Indonesia telah mengalami deflasi pada awal tahun 2025, atau di bulan Januari. Adapun besaran deflasi mencapai 0,76 persen secara bulanan atau tahun kalender.

    Namun, secara tahunan atau year on year, inflasi tetap tercatat, yaitu di level 0,76 persen. Akan tetapi telah terjadi tren penurunan harga yang memang menjadi perhatian, mengingat deflasi terakhir terjadi pada September tahun lalu.

    Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa deflasi bulan ini terutama dipicu oleh penurunan harga dalam kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga yang mengalami deflasi hingga 9,16 persen.

    Kelompok ini memiliki andil besar terhadap deflasi dengan kontribusi negatif sebesar 1,44 persen. Penurunan tarif listrik menjadi faktor dominan dalam tren ini, memberikan andil hingga 1,47 persen.

    Selain itu, beberapa komoditas lain seperti harga tomat, ketimun, tarif kereta api, dan angkutan udara juga memberikan kontribusi terhadap deflasi, meskipun dalam skala yang lebih kecil.

    Di sisi lain, kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau tetap menjadi pendorong inflasi.

    Kelompok ini mencatat inflasi bulanan sebesar 1,94 persen dengan kontribusi terhadap inflasi sebesar 0,56 persen. Hal ini mencerminkan bahwa harga bahan pangan masih mengalami kenaikan, meskipun tekanan deflasi muncul dari sektor energi dan transportasi.

    Dari sisi komponen inflasi, terdapat dinamika yang cukup menarik.

    Komponen inti, yang mencerminkan harga barang dan jasa yang cenderung stabil dan tidak dipengaruhi oleh faktor musiman, mengalami inflasi sebesar 0,30 persen dengan kontribusi sebesar 0,20 persen.

    Sebaliknya, komponen harga yang diatur pemerintah mencatat deflasi signifikan sebesar 7,38 persen dengan andil sebesar 1,44 persen, menunjukkan adanya intervensi kebijakan yang menurunkan harga di sektor-sektor tertentu.

    Sementara itu, komponen harga bergejolak, yang sering dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti cuaca dan kondisi pasar global, mengalami inflasi sebesar 2,95 persen dengan andil sebesar 0,48 persen.

    Jika melihat perbedaan antar daerah, dari 38 provinsi di Indonesia, sebanyak 34 provinsi mengalami deflasi, sementara hanya 4 provinsi yang mencatat inflasi. Kepulauan Riau menjadi daerah dengan tingkat inflasi tertinggi, yakni 0,43 persen, sedangkan deflasi tertinggi terjadi di Papua Barat dengan penurunan harga mencapai 2,29 persen.

    Fenomena deflasi ini mencerminkan dinamika ekonomi yang kompleks. Penurunan harga listrik dan energi rumah tangga memberikan dampak positif bagi daya beli masyarakat, namun di sisi lain, tekanan inflasi di sektor pangan menunjukkan adanya tantangan dalam stabilisasi harga bahan kebutuhan pokok.

    Dengan tren ini, kebijakan moneter dan fiskal pemerintah akan berperan penting dalam menjaga keseimbangan inflasi agar tidak berlanjut menjadi deflasi berkepanjangan yang dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.

    Deflasi Terparah Sejak 1999

    Indonesia pernah mengalami deflasi terparah sejak 1999. Deflasi tersebut terjadi secara beruntuk mulai Mei hingga September 2024.

    Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai deflasi beruntun itu mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat. Tidak hanya itu, menurut dia, situasi ini berdampak pada menurunnya tabungan dan peningkatan kredit bermasalah di sektor jasa keuangan.

    “Deflasi ini merupakan indikasi kuat terjadinya pelemahan daya beli,” kata Samirin saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 7 Oktober 2024.

    Samirin menambahkan, data Purchasing Managers’ Index (PMI) turut memperkuat indikasi lemahnya daya beli, seiring dengan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi belakangan. Kondisi tersebut, menurutnya, juga mencerminkan pesimisme di sektor industri.

    “Menggambarkan produsen pun merasa pesimis dengan prospek bisnisnya. Saat konsumen dan produsen tidak optimis, penurunan ekonomi merupakan konsekuensi yang harus dihadapi,” ujarnya.

    Deflasi pada September 2024 merupakan yang kelima berturut-turut di tahun ini. Indeks harga konsumen turun dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024. Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, deflasi tahun ini merupakan yang terparah sejak 1999.

    Namun, Samirin menilai situasi ekonomi saat ini masih relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi krisis 1999. Saat itu, rupiah kehilangan nilai, kredit macet perbankan menggunung, terjadi bank rush yang menyebabkan collapse, hingga ekonomi regional yang bermasalah.

    “Saat ini, banyak dari faktor-faktor tersebut tidak terjadi, sehingga kita tidak perlu khawatir secara berlebihan,” kata Samirin.

    Sementara itu, Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Permana, mengatakan deflasi ini secara jelas mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat, terutama bagi kelas pekerja dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

    “Dari survei penjualan eceran terakhir yang dirilis Bank Indonesia (BI), kinerja penjualan kembali terkontraksi 7,2 persen dari bulan sebelumnya,” ujar Andri kepada KabarBursa.com, Rabu, 2 Oktober 2024.

    Dia juga mengungkapkan penjualan kategori seperti Peralatan Informasi dan Komunikasi, Perlengkapan Rumah Tangga, dan Barang Budaya dan Rekreasi bahkan lebih buruk dari kondisi yang terjadi pada 2010.

    Andri menambahkan, ekspektasi terhadap penjualan tiga hingga enam bulan ke depan menunjukkan semakin tingginya pesimisme. Jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaannya tahun ini pun diperkirakan lebih besar daripada data yang tercatat oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker).(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79