KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pada kuartal kedua tahun 2024, sektor akomodasi serta makanan dan minuman mencatatkan kinerja paling menonjol. Selain itu, sektor transportasi dan pergudangan, serta sektor jasa lainnya turut mencatat pertumbuhan signifikan.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024 tercatat sebesar 5,05 persen (year-on-year/yoy), sedikit melambat dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal I 2024 yang mencapai 5,11 persen.
Sektor akomodasi dan makanan-minuman memimpin dengan pertumbuhan mencolok sebesar 10,17 persen. Lonjakan ini dipicu oleh berbagai acara berskala internasional dan nasional, jelas Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edi Mahmud, dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2024, Senin 5 Agustus 2024.
Diikuti oleh sektor transportasi dan pergudangan yang mengalami pertumbuhan sebesar 9,56 persen. Peningkatan ini didorong oleh mobilitas masyarakat yang meningkat, terutama selama hari besar keagamaan, cuti bersama, dan libur sekolah. Peningkatan volume pengiriman barang ekspor-impor serta kunjungan wisatawan mancanegara juga turut mendukung sektor ini.
Sektor jasa lainnya juga menunjukkan performa yang solid dengan pertumbuhan mencapai 8,85 persen. Peningkatan kunjungan ke tempat rekreasi, baik oleh wisatawan domestik maupun internasional, menjadi faktor utama di balik pertumbuhan ini.
Edi Mahmud mengungkapkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II 2024 mencapai Rp 5.536,5 triliun atas dasar harga berlaku. Dengan pertumbuhan 5,05 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, capaian ini mendekati perkiraan pasar yang berada pada angka 5 persen.
Dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq), ekonomi Indonesia tumbuh 3,79 persen. Untuk semester pertama 2024, ekonomi mencatat pertumbuhan sebesar 5,08 persen.
Menurut ramalan IMF pada Juli, pertumbuhan ekonomi global 2024 diprediksi tetap stabil. Meskipun negara berkembang mengalami pelambatan dibandingkan tahun 2023, capaian tersebut masih tinggi dalam konteks global. Indikator PMI manufaktur global juga berada di zona ekspansi sepanjang triwulan II, ujar Edi dalam jumpa pers di kantornya.
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya namun tetap stabil. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan berada di kisaran 5,0 persen hingga 5,2 persen pada tahun 2024.
Diperkirakan akan tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, didorong oleh peningkatan daya beli dan konsumsi domestik. Investasi Diharapkan akan terus tumbuh, terutama dalam sektor infrastruktur dan industri, meskipun ada potensi ketidakpastian global yang dapat mempengaruhi aliran investasi.
Perdagangan internasional akan tetap menjadi faktor penting, dengan fluktuasi harga komoditas dan permintaan global yang mempengaruhi neraca perdagangan. IMF memprediksi inflasi Indonesia akan tetap terkendali, dengan kemungkinan fluktuasi akibat harga bahan pangan dan energi. Inflasi diperkirakan akan berada di kisaran 3,0 persen hingga 4,0 persen pada 2024.
Pemerintah diharapkan akan melanjutkan upaya untuk menjaga defisit anggaran dalam batas yang wajar sambil tetap mendorong investasi dan pengeluaran untuk pembangunan.
Bank Indonesia diharapkan akan terus mengelola kebijakan suku bunga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sambil menjaga stabilitas harga.
Gejolak ekonomi global, termasuk ketegangan perdagangan dan perubahan kebijakan moneter negara maju, dapat mempengaruhi ekonomi Indonesia. Tantangan lingkungan dan perubahan iklim juga menjadi perhatian, yang dapat mempengaruhi sektor pertanian dan infrastruktur.
Konflik geopolitik, seperti ketegangan antara negara besar, dapat mengganggu perdagangan global dan menciptakan ketidakstabilan di pasar keuangan. Isu-isu seperti perseteruan AS-China atau konflik di Timur Tengah bisa menambah risiko.
Penerapan sanksi ekonomi atau kebijakan proteksionis bisa mempengaruhi aliran barang dan investasi internasional.
Kebijakan bank sentral utama, seperti Federal Reserve AS dan Bank Sentral Eropa, untuk menaikkan suku bunga guna menanggulangi inflasi dapat mempengaruhi arus modal global dan meningkatkan biaya pinjaman. Ketidakpastian tentang arah kebijakan moneter di berbagai negara dapat menciptakan volatilitas di pasar mata uang dan pasar keuangan.
Kenaikan harga energi dan komoditas pangan dapat memicu inflasi global, mempengaruhi daya beli dan menambah tekanan pada kebijakan moneter dan fiskal di berbagai negara. Terus berlanjutnya gangguan pada rantai pasokan global, yang dipicu oleh pandemi atau bencana alam, dapat mengganggu produksi dan distribusi.
Negara berkembang mungkin menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan utang eksternal yang tinggi dan fluktuasi mata uang. Potensi resesi di negara maju, seperti AS atau negara-negara Eropa, dapat menekan permintaan global dan mengurangi pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.
Dampak perubahan iklim, seperti bencana alam ekstrem, dapat mengganggu produksi pertanian, merusak infrastruktur, dan menambah beban ekonomi bagi negara-negara yang rentan.
Proses transisi menuju ekonomi rendah karbon dapat menghadapi tantangan, seperti investasi yang besar dan pergeseran dalam pasar energi global. Serangan siber yang semakin canggih dapat mengganggu sistem keuangan global dan merusak kepercayaan pasar, serta menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan. (*)