KABARBURSA.COM – Peneliti Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Yeta Purnama, mengingatkan bahwa ketergantungan ekonomi Indonesia pada China masih menjadi kekhawatiran yang besar, khususnya terkait dengan potensi risiko bergabung dalam aliansi BRICS.
Yeta menilai bahwa meskipun kerja sama multilateral dapat membawa keuntungan, ketergantungan berlebihan pada negara dengan ekonomi dominan seperti China justru dapat membawa dampak buruk bagi stabilitas ekonomi Indonesia, terutama jika ekonomi China mengalami penurunan.
“Indonesia harus lebih aktif dalam mendiversifikasi mitra secara bilateral. Ketidakpastian ekonomi global di masa depan mengharuskan Indonesia untuk memiliki banyak alternatif dalam berbisnis dan bermitra dengan negara lain. Jika terlalu bergantung pada satu negara, apalagi jika ekonomi negara tersebut melemah, maka Indonesia akan sangat rentan,” ujar Yeta kepada Kabarbursa.com, Kamis, 9 Januari 2025.
Yeta menambahkan bahwa Indonesia perlu menghindari ketergantungan yang berlebihan pada China dalam keanggotaan BRICS. Aliansi ini, meskipun menjanjikan peluang kerja sama multilateral, tetap memiliki risiko besar jika negara-negara anggotanya, terutama China, mengalami stagnasi atau penurunan ekonomi.
“Potensi kerja sama multilateral memang penting, tapi jika kita terjebak dalam lingkaran ekonomi yang sama dan satu negara anggota yang dominan, misalnya China, mengalami penurunan, maka dampaknya akan terasa pada seluruh anggota, termasuk Indonesia,” kata Yeta.
Untuk mengurangi ketergantungan pada China, Indonesia harus berperan aktif dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis seperti investasi dan pembangunan infrastruktur. Yeta menekankan bahwa Indonesia harus fokus pada sektor yang dapat memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara berkembang, dan berusaha agar investasi yang masuk tidak hanya untuk memperkuat negara besar, tetapi juga memberi dampak positif pada ekonomi negara-negara berkembang lainnya.
“Indonesia harus mendorong kerja sama yang fokus pada green investment, yang sangat penting bagi pertumbuhan hijau di masa depan. Salah satu peluang besar adalah dengan mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan. Negara-negara BRICS, sebagai bagian dari Global South, harus memprioritaskan kerja sama di sektor ini agar dapat mendorong pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya menguntungkan satu negara tetapi seluruh anggota,” tambah Yeta.
Secara keseluruhan, Yeta menilai bahwa BRICS dapat menjadi platform yang strategis bagi Indonesia, namun perlu dikelola dengan hati-hati untuk menghindari ketergantungan yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi jangka panjang. Diperlukan strategi yang matang dalam mendorong kerjasama yang lebih berkelanjutan, terutama dengan fokus pada investasi hijau dan keberlanjutan.
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS Dibayangi Kebijakan Proteksionisme Trump
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk di Center for Economic and Law Studies (CELIOS), menyoroti ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Zulfikar menekankan bahwa ketegangan ekonomi ini berpotensi mengacak stabilitas ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Ketidakpastian ini harus diwaspadai karena perang dagang antara China dan AS akan sangat mempengaruhi ekonomi global. Jika Donald Trump kembali terpilih dan melanjutkan kebijakan proteksionisme, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh China, tetapi juga negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia,” ujar Zulfikar, dalam wawancara dengan Kabarbursa.com, Kamis, 9 Januari 2025.
Menurut Zulfikar, ancaman yang dilontarkan Trump terhadap negara-negara BRICS yang berusaha melakukan dedolarisasi sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Jika AS memberlakukan tarif tinggi atau bahkan 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS, maka Indonesia tidak akan bisa menghindari dampaknya. Hal ini terutama karena Indonesia memiliki hubungan dagang yang signifikan dengan China dan negara-negara BRICS lainnya.
“Reaksi Trump perlu diwaspadai, karena beliau adalah salah satu pemimpin yang terbukti konsisten dengan kebijakan proteksionismenya. Jika AS memberlakukan tarif yang sangat tinggi terhadap negara anggota BRICS, Indonesia jelas akan terkena dampaknya,” jelas Zulfikar.
Lebih lanjut, Zulfikar menjelaskan bahwa dampak dari kebijakan tersebut dapat terasa dalam jangka pendek hingga menengah, terutama dengan turunnya volume ekspor Indonesia ke pasar global. Indonesia, yang banyak mengandalkan ekspor ke AS, akan menghadapi kesulitan dalam menjaga hubungan dagangnya jika tarif impor AS semakin tinggi.
“Indonesia sangat bergantung pada pasar AS untuk ekspor produk-produk tertentu. Jika tarif 100 persen diterapkan pada negara-negara BRICS, maka ekspor Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan pasar AS, bisa menurun tajam. Ini jelas akan memengaruhi perekonomian Indonesia dalam waktu dekat,” tambah Zulfikar.
Zulfikar juga menekankan pentingnya Indonesia untuk mempersiapkan strategi jangka panjang guna menghadapi ketidakpastian global yang semakin meningkat, terutama terkait kebijakan AS di bawah pemerintahan Trump. Sebagai negara berkembang dengan potensi besar, Indonesia harus memastikan keberlanjutan ekspor dan diversifikasi pasar untuk mengurangi ketergantungan pada ekonomi global yang bergejolak.
“Kita harus mulai mengevaluasi dan mengembangkan strategi diversifikasi ekspor yang lebih luas, sehingga Indonesia tidak terlalu bergantung pada pasar AS atau China. Ini menjadi langkah penting untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global,” tutup Zulfikar. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.