KABARBURSA.COM – Bitcoin (BTC) kembali unjuk gigi. Per Rabu, 23 April 2025, harga Bitcoin menembus USD93.000 atau sekitar Rp1,57 miliar (kurs Rp16.900), naik lebih dari 7 persen dalam sehari. Kenaikan ini bukan karena teknologi baru, bukan pula karena FOMO ritel, tapi karena politik.
Naiknya BTC kali ini bukan sekadar urusan chart atau golden cross. Ia naik karena Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali bikin gaduh—kali ini soal Ketua The Fed, Jerome Powell. Gara-gara pernyataannya yang ambigu soal pemecatan Powell, pasar langsung gelisah. Tapi Bitcoin malah sumringah.
Kejadian dimulai ketika Trump melempar komentar di platform Truth Social yang isinya mendesak The Fed agar lebih agresif menurunkan suku bunga. Ia bilang, “The Fed akan jauh lebih baik jika menurunkan suku bunga, karena tarif AS mulai masuk ke dalam perekonomian. Lakukan hal yang benar.” Satu kalimat itu cukup bikin mata para trader melek semalaman.
Spekulasi pun merebak bahwa Trump berniat mengganti Jerome Powell sebelum masa jabatannya habis. Dan meskipun belakangan ia mengklarifikasi bahwa tidak ada niat memecat Powell, sentimen sudah terlanjur bergerak. Bitcoin melejit, dolar melemah, dan grafik BTC/USD naik tajam seolah sedang didorong oleh tangan-tangan tak kasatmata di Wall Street.
Ini bukan pertama kalinya Bitcoin terpengaruh peristiwa politik. Tapi frekuensinya makin sering. Dalam tiga bulan terakhir, harga BTC terlihat semakin sensitif terhadap segala hal yang menyangkut kebijakan moneter, suku bunga, bahkan pernyataan konyol dari politisi.
“Bitcoin adalah bentuk lindung nilai terhadap risiko dari TradFi dan juga risiko dari obligasi pemerintah AS. Ancaman untuk memecat Ketua The Fed masuk dalam kategori risiko Treasury — jadi lindung nilainya pun aktif,” ujar Kendrick, Kepala Riset Aset Digital di Standard Chartered, dilansir dari BeInCrypto di Jakarta, Rabu, 23 April 2025.
Menurutnya, ancaman terhadap Ketua The Fed sendiri sudah cukup untuk dikategorikan sebagai risiko Treasury—dan respons alami dari pasar adalah melirik Bitcoin.
Hal serupa juga dilontarkan oleh Arthur Hayes, pendiri BitMEX, yang secara sarkastik menulis, “Trump bilang mau pecat JAYPOW – dolar melemah, BTC naik. Trump bilang tidak mau pecat JAYPOW – dolar menguat, BTC… tetap naik.” Sentimen pasar memang tak pernah bisa ditebak dengan logika linear. Tapi pola itu jelas: ketidakpastian bikin orang cari alternatif.
Dan alternatif itu, dalam lanskap tahun 2025, bernama Bitcoin.
Dulu, Bitcoin sering dianggap terpisah dari sistem keuangan global. Tapi sekarang, aset ini justru bergerak seirama dengan berita makroekonomi. Trader dan fund manager besar memperlakukan BTC layaknya emas digital—tangguh saat krisis, sensitif terhadap berita ekonomi.
Tak hanya wacana pemecatan Powell yang mempengaruhi harga BTC. Stabilitas politik juga punya pengaruh besar. Seperti yang disorot oleh Tom Emmer, anggota Kongres AS, kenaikan rekrutmen militer di bawah administrasi Trump menjadi simbol dari “The Trump Effect”—yakni strategi “perdamaian lewat kekuatan”.
Pernyataan ini meski tidak langsung berkaitan dengan kripto, tetap beresonansi ke pasar. Hari ketika Emmer merilis pernyataannya, volume perdagangan BTC/USD di Binance naik 10 persen, dan RSI Bitcoin menunjukkan angka 68—indikator teknikal yang mencerminkan sentimen pasar yang optimis tapi waspada.
Data on-chain juga menguatkan cerita ini. Jumlah alamat aktif Bitcoin naik tiga persen menjadi 950 ribu, mencerminkan minat pasar yang hidup kembali. Pasar bukan cuma mendengar, tapi bergerak.
Apa Artinya Buat Investor Ritel?
Nah, ini bagian pentingnya. Banyak investor ritel Indonesia mungkin belum ngeh bahwa drama politik di Washington bisa bikin harga Bitcoin naik atau turun. Tapi nyatanya, itulah yang terjadi. Volatilitas harga kripto bukan cuma akibat Elon Musk ngetweet atau karena ada token baru muncul. Kini, peristiwa politik seperti reshuffle The Fed atau tensi geopolitik bisa jadi pemicu utama.
Karena itu, penting untuk mulai memperlakukan BTC bukan hanya sebagai “aset masa depan” atau “alat lindung nilai terhadap inflasi”, tapi juga sebagai indikator sentimen politik global. Kalau ada berita soal suku bunga AS, pemilu, atau kritik terhadap bank sentral—cek BTC. Bisa jadi dia sudah duluan bereaksi.
Jadi Haruskah Kita Panik?
Tidak. Tapi kita harus sadar.
Bitcoin memang bukan jaminan kepastian. Ia tetap bisa fluktuatif, bahkan brutal. Tapi jika kita memahami konteks politik yang membentuk pergerakannya, kita bisa bersikap lebih bijak. Setidaknya, kita tahu kapan harus hold, kapan harus cut loss, dan kapan cukup duduk manis sambil nonton Powell digoyang Trump.
Sebagaimana disampaikan oleh Nate Geraci, Presiden ETF Store, “Semakin terkikisnya kepercayaan terhadap pemerintah dan politisi akan mendorong masyarakat mencari alternatif. Saya tidak mengatakan itu baik atau buruk — tapi kalau dipikir secara logis, itu masuk akal.”
Dan sejauh ini, alternatif itu bernama BTC.(*)