KABARBURSA.COM - Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menegaskan kelam membayangi sektor migas Indonesia akibat ketergantungan yang semakin berat pada impor minyak. Dalam sebuah pernyataan, Daeng mengibaratkan situasi ini mirip dengan kerusakan yang dialami sektor-sektor lain akibat praktik impor, seperti pertanian dan industri baja.
"Kondisi perdagangan migas Indonesia mirip dengan masalah yang dihadapi sektor perdagangan domestik lainnya. Sama seperti pedagang beras impor yang merusak kehidupan petani, atau pedagang ternak impor yang menghancurkan peternak lokal, pedagang besi baja impor pun mengancam industri baja nasional," ungkapnya kepada Kabar Bursa, Rabu, 14 Agustus 2024.
Salamuddin menegaskan bahwa sektor migas Indonesia pernah mengalami kejayaan, dengan produksi minyak mencapai puncaknya pada awal 2000-an. Pada masa itu, produksi minyak mencapai 1,4 juta barel per hari, jauh melampaui kebutuhan nasional yang hanya 1,2 juta barel. Namun, sejak 2004, situasi berubah drastis dengan dimulainya defisit migas dan peningkatan impor minyak secara signifikan.
Indonesia, yang pada awalnya merupakan pelopor dalam industri migas, kini tidak mampu memproyeksikan masa depannya dengan baik. Skenario yang terbentuk adalah menjadi importir migas terbesar di dunia, ujarnya.
Saat ini, kebutuhan minyak nasional mencapai 1,6 juta barel per hari, sedangkan produksi domestik hanya 600 ribu barel. Keadaan ini memaksa Indonesia untuk mengimpor satu juta barel minyak setiap harinya.
Salamudin mencatat bahwa impor minyak ini tidak hanya menguras devisa negara, yang nilainya mencapai sekitar 480-500 triliun rupiah per tahun, tetapi juga memperburuk neraca transaksi berjalan Indonesia. "Impor satu juta barel minyak per hari membuat segelintir pedagang minyak semakin kaya, sementara negara semakin terpuruk," tegasnya.
Salamudin juga mengkritisi janji pemerintah yang pernah berambisi untuk mencapai produksi satu juta barel minyak per hari sebagai solusi atas ketergantungan impor. Namun, hingga kini, janji tersebut belum terwujud. Sebaliknya, anggaran untuk Kementerian ESDM dan SKK Migas terus meningkat tanpa hasil yang signifikan dalam hal produksi minyak.
"Yang terjadi justru sebaliknya. Impor minyak terus meningkat, sedangkan produksi domestik stagnan. Apakah pemerintahan baru mampu mencari solusi? Mudah-mudahan masih ada secercah harapan, walaupun setetes minyak," pungkas Salamudin.
Di sisi lain, Sekretaris Perusahaan PT Kilang Pertamina Indonesia (KPI), Hermansyah Y Nasroen, menyoroti dinamika pelaksanaan proyek-proyek kilang migas yang menghadapi berbagai tantangan. Beberapa faktor sudah dipertimbangkan, namun masih terdapat kendala yang tak terduga.
"Perubahan dalam rencana kerja dan biaya yang mungkin terjadi harus dievaluasi secara teliti dan cermat, serta disetujui oleh semua pihak dengan tetap mengutamakan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan proyek, serta kepatuhan terhadap peraturan dan kesepakatan yang berlaku," kata Hermansyah saat dihubungi Kabar Bursa.
Tidak Bisa Tidak Impor
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui sebagian besar kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri masih harus dipenuhi melalui impor. Pernyataan ini disampaikannya pada Jumat, 8 September, tahun lalu, di tengah meningkatnya kekhawatiran akan lonjakan harga BBM jenis Pertamax akibat ketergantungan tersebut. "Memang enggak ada sumber lain lagi, harus beli dari situ (impor). Nanti (harga) Pertamax-nya akan tinggi. Pertalite akan dipakai lagi (masyarakat beralih)," ujar Arifin.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan pihaknya terus memantau pergerakan harga minyak dunia. Meskipun harga minyak dunia cenderung naik, Tutuka menyebutkan bahwa masih ada potensi harga minyak turun di masa mendatang.
Berharap pada Blok Rokan
Di tengah ketergantungan pada impor BBM, peningkatan produksi minyak dalam negeri datang dari Blok Rokan, Riau. Blok ini dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), yang mencatatkan hasil positif. Lapangan Petani di Kabupaten Bengkalis, salah satu lapangan di Blok Rokan, berhasil meningkatkan produksi minyak hingga 10.000 barel per hari, naik signifikan dibandingkan 2021 ketika produksi masih berada di angka 4.000 barel per hari.
Executive Vice President Upstream Business PT PHR Edwil Suzandi, mengatakan peningkatan ini merupakan hasil dari pengeboran paket pengembangan Sumatera Light Oil (SLO) Optimasi Pengembangan Lapangan-lapangan (OPLL) Tahap 1. Selain itu, laju penurunan produksi dasar (based production) juga berhasil ditekan. "Kesuksesan pada paket pengembangan tahun 2022-2023 diharapkan diteruskan pada paket pengembangan OPL Petani Tahap 2 dengan dukungan pemangku kepentingan internal dan eksternal," ungkap Edwil dalam keterangannya, Sabtu, 9 September 2023.
Produksi di Lapangan Petani ini melanjutkan tren positif di Blok Rokan. Tepat tiga tahun setelah alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia ke Pertamina, produksi minyak di blok tersebut mencapai 172.000 barel per hari. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak alih kelola dan menjadi salah satu capaian signifikan dalam upaya meningkatkan ketahanan energi nasional. (*)