KABARBURSA.COM - Menghindari perang dagang sebenarnya sederhana, kata sebagian ekonom: cukup tidak membalas serangan. Sejauh ini, strategi itu tampaknya mulai menunjukkan hasil untuk sebagian besar negara di dunia, dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memutuskan menangguhkan sebagian tarif impor tertingginya selama tiga bulan.
Tapi tidak semua negara ambil jalan damai. China, misalnya, justru langsung pasang kuda-kuda. Hasilnya? Mereka kini terjerumus dalam perang dagang terbuka dengan Amerika Serikat.
Sekarang, negara-negara yang sedang berunding dengan Trump harus memilih: tetap memakai pendekatan damai, atau mulai melakukan pembalasan sebagai alat tawar-menawar. Masalahnya, aksi balas dendam dalam perang dagang bukan cuma menyakitkan buat ekonomi Amerika, tapi juga buat negara yang membalas.
Uni Eropa sejauh ini menahan diri. Mereka belum menerapkan tarif balasan terhadap produk AS. Tapi mereka sudah siap dengan daftar barang-barang tertentu untuk dijadikan sasaran balasan, kalau Amerika nekat mengenakan tarif baja dan aluminium. Daftarnya tidak main-main—ada permen karet, selai kacang, sepeda motor, kapal, sampai payung taman. Tarif ini masih ditahan, tapi Uni Eropa sudah mengisyaratkan siap menerapkannya jika negosiasi buntu.
Kanada juga bikin daftar balasan khusus terhadap produk Amerika, tapi beda dengan Uni Eropa, beberapa tarifnya sudah diberlakukan. Pemerintah Kanada telah menetapkan bea masuk untuk barang dan kendaraan Amerika senilai lebih dari USD40 miliar (sekitar Rp660 triliun), terutama untuk produk yang tidak sesuai dengan perjanjian dagang USMCA (Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada).
Di sisi lain, dorongan untuk membalas sering kali datang dari tekanan politik dalam negeri. Di Eropa, misalnya, jajak pendapat menunjukkan mayoritas masyarakat mendukung aksi balasan terhadap Amerika.
Namun secara ekonomi, langkah menaikkan tarif terhadap negara lain dianggap sama saja seperti menyakiti diri sendiri. Tarif impor akan menaikkan harga barang di pasar domestik, bikin investor berpikir dua kali, dan menurunkan daya saing industri dalam negeri yang bergantung pada bahan baku dari Amerika.
“Secara teori ekonomi, pembalasan tarif selalu menyebabkan kerugian kesejahteraan. Satu-satunya situasi di mana hal itu bisa dibenarkan adalah saat Anda cukup yakin bahwa lawan akan mundur setelah dibalas,” kata Jun Du, ekonom dari Aston Business School, Inggris, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Jumat, 18 April 2025.
Trump sendiri telah mengeluarkan peringatan keras, yakni negara yang membalas tarif bisa terkena langkah dagang tambahan dari Amerika. Ia sempat mundur minggu lalu, usai pasar surat utang AS anjlok, yang bikin biaya pinjaman pemerintah naik dan lebih parah lagi, muncul pertanyaan soal kredibilitas Amerika sebagai peminjam.
Sementara itu, China minggu lalu menyatakan akan menaikkan tarif barang Amerika hingga 125 persen, sebagai respons atas eskalasi kebijakan dari pemerintahan Trump. Namun Beijing juga memberi sinyal bahwa mereka tidak akan menaikkan tarif lagi, karena angka segitu saja sudah bikin produk Amerika kelewat mahal untuk pasar China.
Inggris memilih jalur berbeda. Pemerintah menyatakan tidak ada rencana balas dendam dalam waktu dekat dan justru mempercepat pembicaraan dagang dengan India dan negara-negara lain. “Tidak ada satu pun sektor bisnis yang terdampak tarif ini yang berkata, ‘Ayo kita terjun total ke perang dagang’,” kata Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer.
Retaliasi Bisa Jadi Bumerang
Jika tidak ada tanda-tanda bahwa Trump akan mundur atau setidaknya mencapai kesepakatan untuk menurunkan hambatan dagang di kedua sisi, tekanan agar negara lain membalas akan makin besar. Dan jika itu terjadi, skenario perang dagang berkepanjangan yang menyakitkan semua pihak bakal jadi kenyataan.
Pejabat Uni Eropa mengatakan bahwa respons yang lebih tegas bisa saja menyasar sektor jasa Amerika. Salah satu usulannya adalah menerapkan pajak khusus tingkat Uni Eropa untuk pendapatan iklan digital perusahaan teknologi Amerika. Alternatif lainnya: mengenakan biaya untuk layanan keuangan atau membatasi akses perusahaan Amerika ke pasar Eropa.
Langkah ini bakal bikin Amerika kelabakan, karena mereka punya surplus perdagangan di sektor jasa dengan Uni Eropa. Tapi di saat yang sama, dampaknya juga bisa sangat terasa buat Irlandia, yang jadi markas banyak raksasa teknologi asal AS.
Ekonom Jun Du dan rekannya dari Aston Business School membuat simulasi ekonomi untuk memetakan dampak perang dagang yang terus meningkat. Hasilnya: setiap gelombang balasan justru bikin semua pihak makin sengsara.
Dalam skenario saat ini—dengan tarif global sepuluh persen dan tarif lebih tinggi khusus untuk China serta sektor tertentu seperti otomotif—pendapatan jangka panjang per kapita di AS diperkirakan bakal turun 1,96 persen dibandingkan kondisi tanpa tarif. Kalau negara lain membalas dengan tarif serupa, penurunan pendapatan di AS bisa makin parah, yakni hingga 2,54 persen, dan negara lain pun turut terdampak.
Perkiraan ini belum termasuk pengecualian terbaru untuk produk seperti ponsel pintar dan perangkat elektronik lain.
Model ekonomi lain yang dianalisis oleh Komisi Eropa—berdasarkan situasi per 2 April, ketika Trump mengumumkan tarif resiprokal—menunjukkan hasil serupa. Produk domestik bruto AS diprediksi turun sekitar 0,8 persen tahun ini, sementara Uni Eropa hanya turun sekitar 0,2 persen. Jika retaliasi terus berlanjut, pertumbuhan ekonomi AS bisa anjlok hingga dua persen, dan Uni Eropa kehilangan sekitar setengah persen.
Karena Amerika menerapkan tarif terhadap hampir semua negara, mereka sendiri yang akan terkena dampak paling besar, selain Kanada dan Meksiko. “Negara lain biayanya tersebar, sementara Amerika justru menanggung dampak secara terpusat,” kata Moritz Schularick, Presiden Kiel Institute, lembaga kajian ekonomi yang berbasis di Berlin.
Meski menyakitkan, retaliasi kadang punya makna politis. “Itu menunjukkan bahwa negara punya nyali membela diri,” kata Ignacio GarcÃa Bercero, mantan pejabat perdagangan Uni Eropa. Tapi ia juga mengingatkan bahwa sikap berani tidak selalu harus dibayar dengan langkah serupa.
“Fakta bahwa AS memutuskan menjatuhkan biaya ekonomi besar kepada dirinya sendiri, bukan berarti negara lain harus ikut-ikutan,” ujarnya.
Uni Eropa menyatakan bahwa jika mereka harus membalas, langkahnya tidak akan serampangan atau sekadar membalas satu lawan satu. Justru, mereka akan menyusun strategi agar balasan itu benar-benar menghantam AS dengan keras tapi meminimalkan kerugian bagi Eropa.
Menurut ekonom dari OFCE, Xavier Timbeau, lembaga riset ekonomi negara Prancis, dampak retaliasi bisa berubah tergantung pada strategi pemilihan produk yang dikenai tarif. “Kalau negaranya cerdas, dia pilih produk yang punya pengganti lokal, jadi efek ke konsumen minim,” katanya.
“Ini seperti tinju,” lanjut Timbeau. “Kalau lawan pukul ke tempat yang menyakitkan, lo harus balas ke titik kelemahan dia juga.”(*)