KABARBURSA.COM - Menjelang akhir pekan, bursa saham Asia dibuka melemah pada perdagangan Jumat, 10 Oktober 2025. Koreksi ini mencerminkan atmosfer kehati-hatian yang meluas di pasar global.
Tekanan datang dari penurunan di Wall Street dan bursa Eropa sehari sebelumnya, yang tertekan oleh ketidakpastian politik di Prancis serta berlanjutnya penutupan sebagian pemerintahan Amerika Serikat (government shutdown).
Kedua isu tersebut memperkuat sentimen risk-off, yang membuat investor Asia cenderung menahan diri untuk menambah posisi menjelang akhir pekan.
Pada awal perdagangan, indeks ASX 200 Australia terkoreksi 0,26 persen dan berlanjut turun tipis ke 8.968,30 pada pukul 8:15 WIB. Koreksi ini mengindikasikan bahwa sektor pertambangan dan energi, yang selama ini menjadi penopang bursa Australia, mulai kehilangan momentum setelah harga komoditas seperti minyak dan batu bara menunjukkan volatilitas tinggi.
Investor juga cenderung berhati-hati menunggu arah kebijakan fiskal baru dari pemerintahan Australia yang sedang bergulat dengan tekanan inflasi.
Di Korea Selatan, pasar menunjukkan pergerakan beragam. Kospi sempat naik 0,66 persen saat pembukaan dan kemudian melonjak hingga 1,54 persen ke 3.603,97, ditopang oleh saham teknologi besar dan ekspektasi rebound permintaan semikonduktor.
Namun, Kosdaq, yang berisi saham-saham berkapitalisasi kecil dan menengah, justru turun 0,37 persen. Kondisi ini menandakan pergeseran preferensi investor menuju saham berfundamental kuat.
Penguatan Kospi ini juga mencerminkan harapan bahwa ekspor Korea Selatan, terutama untuk chip dan produk elektronik, akan meningkat setelah data perdagangan menunjukkan perbaikan bertahap.
Nikkei Melemah, Topix Terkoreksi: IHSG Lanjut Menguat?
Sementara itu, pasar Jepang justru melemah. Indeks Nikkei 225 turun 0,48 persen ke 48.346,30, sementara Topix terkoreksi 0,92 persen.
Tekanan di Tokyo muncul karena yen yang melemah ke level terendah sejak Februari, di tengah keraguan investor terhadap kemampuan pemerintahan baru Sanae Takaichi menstabilkan perekonomian dan nilai tukar.
Investor khawatir lemahnya yen, yang sebelumnya mendukung ekspor, kini justru menekan daya beli domestik karena impor menjadi lebih mahal.
Selain itu, sikap hawkish Federal Reserve yang kembali menegaskan kehati-hatian dalam menurunkan suku bunga membuat dolar AS terus menguat dan memperlebar kesenjangan kebijakan moneter antara AS dan Jepang.
Berbeda dengan tren regional, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia justru masih berpeluang melanjutkan penguatan. Setelah mencetak rekor baru intraday di level 8.257 dan menutup perdagangan Kamis dengan kenaikan 1,04 persen ke 8.250, IHSG masih berada dalam tren naik yang solid.
Kinerja ini turut tercermin di pasar global lewat iShares MSCI Indonesia ETF (EIDO) yang diperdagangkan di bursa New York dan naik 1,29 persen ke USD17,65. Optimisme terhadap pasar domestik didukung oleh data ekonomi yang stabil, sentimen stimulus pemerintah, serta daya beli investor ritel yang masih kuat.
Meski demikian, analis memperingatkan bahwa IHSG masih dibayangi oleh aksi jual asing (net sell) yang berlanjut. Kinerja positif indeks sejauh ini sebagian besar ditopang oleh investor domestik yang memanfaatkan momentum teknikal, di mana indeks masih berada di atas garis rata-rata pergerakan 20 dan 60 hari (MA20 dan MA60).
Level support penting berada di sekitar 8.200, sementara area resistance di 8.300 menjadi batas psikologis berikutnya yang akan diuji. Jika mampu menembus level tersebut dengan volume yang kuat, ruang kenaikan ke area 8.365 masih terbuka.
Greenback Semakin Hijau, Yuan dan Rupiah Tergelincir
Dari sisi makro, pasar valuta asing global juga berperan besar dalam membentuk arah pasar saham Asia. Indeks Dolar AS (DXY) naik 0,62 persen ke 99,47, menandakan penguatan greenback terhadap sebagian besar mata uang utama.
Euro tertekan oleh krisis politik di Prancis setelah mundurnya Perdana Menteri Sebastien Lecornu, sementara yen terdepresiasi hingga 153,17 per dolar. Pound sterling relatif stabil di 1,3297, dan rupiah bergerak di kisaran Rp16.568 per dolar, melemah tipis 0,03 persen.
Di sisi lain, yuan China juga tergelincir ke 7,13 per dolar karena investor masih menilai lambatnya pemulihan ekonomi pasca-libur panjang Golden Week.
Kombinasi penguatan dolar dan ketidakpastian geopolitik global membuat pasar Asia memilih bersikap konservatif. Pelaku pasar menunggu sinyal yang lebih jelas dari pertemuan pejabat The Fed, serta perkembangan politik di Eropa, yang berpotensi memengaruhi arus modal internasional.
Walau demikian, beberapa analis menilai pelemahan di awal sesi ini masih bersifat koreksi teknikal jangka pendek. Selama kondisi makro Asia tetap stabil dan inflasi terkendali, fundamental ekonomi kawasan dinilai cukup kuat untuk menopang pemulihan pasar saham dalam jangka menengah.
Dengan latar global yang penuh ketidakpastian, arah pasar Asia hari ini ibarat cermin dari ketegangan antara optimisme domestik dan kehati-hatian global. IHSG menjadi pengecualian positif di tengah pelemahan regional, menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia di tengah turbulensi global.
Namun secara keseluruhan, sesi perdagangan Asia pagi ini tetap dibayangi oleh bayangan dua isu besar dunia: krisis politik Eropa dan kebuntuan fiskal di Amerika Serikat.(*)