Logo
>

CBRE tak Lolos Semua Kriteria Valuasi dan Kualitas Investasi

Saham CBRE melonjak 140 persen di tengah fundamental lemah. Enam teori investasi klasik menunjukkan valuasi dan kualitas emiten ini jauh dari wajar.

Ditulis oleh Syahrianto
CBRE tak Lolos Semua Kriteria Valuasi dan Kualitas Investasi
Saham PT Cakra Buana Resources Energi Tbk (CBRE) melonjak lebih dari 140 persen dalam sepekan. (Foto: Dok. CBRE)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM — Saham PT Cakra Buana Resources Energi Tbk (CBRE) melonjak lebih dari 140 persen dalam sepekan, dari Rp735 menjadi Rp1.810 per saham. Kapitalisasi pasarnya kini menembus puluhan triliun rupiah, padahal pendapatan setahun terakhir tak sampai Rp70 miliar.

    Kenaikan ini berbarengan dengan rencana akuisisi kapal pipe-laying senilai USD100 juta untuk memperluas bisnis offshore engineering. Narasi ekspansi besar itu tampak cukup untuk membakar euforia, meski laporan keuangan perusahaan bicara lain.

    Per akhir Maret 2025, rasio utang terhadap ekuitas (DER) CBRE mencapai 190 persen. Utang bank jangka panjang Rp108,6 miliar, sementara ekuitas hanya Rp118,4 miliar. Laba bersih semester pertama tahun ini Rp900 juta, kalah jauh dibanding beban bunga tahunan yang bisa menembus Rp13 miliar. Artinya, laba operasional belum cukup untuk membayar bunga.

    Jika diukur dengan teori investasi klasik, posisi CBRE bahkan gagal memenuhi syarat paling dasar. Benjamin Graham, “bapak value investing”, mengajarkan pentingnya margin of safety, harga pasar harus di bawah nilai aset bersih lancar. Aset lancar CBRE hanya Rp44 miliar, sedangkan liabilitas lancar Rp101 miliar. Net current asset value-nya negatif Rp57 miliar. Dalam kacamata Graham, tak ada ruang aman di saham ini; harga sudah jauh meninggalkan nilai ekonominya.

    Dari sisi kualitas keuangan, kerangka F-Score milik Joseph Piotroski memberi hasil yang tak lebih baik. Dari sembilan indikator yang menilai profitabilitas, efisiensi, dan leverage, CBRE hanya lolos sebagian kecil. Laba memang positif dan kas meningkat dari Rp3,25 miliar menjadi Rp5,36 miliar, tapi arus kas operasional minim, dan utang tetap tinggi. 

    Rasio interest coverage di bawah satu kali menunjukkan laba usaha belum menutupi bunga pinjaman. Dalam bahasa Piotroski, ini profil emiten berisiko tinggi.

    Teori Joel Greenblatt soal return on capital dan earnings yield juga memotret hal serupa. CBRE punya laba bersih Rp900 juta dari aset Rp340,7 miliar, tingkat pengembalian modal hanya sepersekian persen. 

    Dengan kapitalisasi pasar yang melonjak, earnings yield-nya nyaris nol. Greenblatt menyebut pola seperti ini “high story, low return”, kisah besar dengan hasil kecil.

    Peter Lynch menilai saham sehat dari keseimbangan antara harga dan pertumbuhan. Dalam model growth at a reasonable price, rasio PEG idealnya mendekati satu. CBRE malah berlawanan arah. Laba turun dari Rp1,94 miliar di kuartal I 2024 menjadi Rp1,33 miliar di 2025, tapi harga saham melonjak 140 persen. 

    Dengan P/E di atas 70.000 kali, logika pertumbuhan tak lagi berlaku. Lynch menyebutnya story stock—saham yang digerakkan oleh imajinasi pasar, bukan kinerja.

    Rasio price to sales versi Kenneth Fisher menambah catatan lain. Dengan pendapatan Rp60–70 miliar dan kapitalisasi pasar di atas Rp100 triliun, P/S CBRE lebih dari 1.400 kali. Fisher menganggap angka di atas 3 sudah sinyal gelembung. Nilai ribuan kali menandakan disconnect total antara harga dan penjualan.

    Prinsip Warren Buffett menutup daftar pengujian. Ia mencari bisnis dengan economic moat, arus kas kuat, dan manajemen disiplin modal. CBRE tak punya ketiganya. Bisnisnya belum stabil, margin tipis, dan ekspansi USD100 juta akan menambah beban utang lebih dari sepuluh kali ekuitas. 

    Dalam kriteria Buffett, perusahaan seperti ini bukan “bisnis hebat pada harga wajar”, tapi “bisnis berisiko pada harga luar nalar.”

    Jika semua teori itu dibaca bersamaan, kesimpulannya sederhana: CBRE tidak lolos satu pun kriteria rasional valuasi dan kualitas investasi. 

    Fundamental lemah, leverage berat, dan pertumbuhan laba tak sebanding dengan nilai pasar. Lonjakan harga lebih mencerminkan spekulasi ketimbang perubahan kinerja.

    Nilai transaksi harian CBRE sudah menembus Rp1 triliun pada 8 Oktober 2025, dengan 152 ribu kali frekuensi. Namun lonjakan itu tidak diikuti pengumuman fundamental baru. 

    Pola perdagangan, bid tebal, likuiditas tipis di sisi jual, menunjukkan karakter pasar momentum. Bursa Efek Indonesia berpotensi memantau pergerakan ini lewat kategori aktivitas tidak wajar (UMA) jika volatilitas berlanjut.

    Fenomena CBRE menjadi cermin kecil pasar yang sedang kehilangan disiplin nilai. Di tengah suku bunga tinggi, banyak emiten memilih tumbuh lewat utang besar, sementara investor ritel mengejar imajinasi cepat kaya. 

    Kombinasi seperti ini menambah risiko ketidakstabilan di level korporasi dan memperlemah kualitas harga di bursa. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.