KABARBURSA.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa bauran energi baru terbarukan (EBT) saat ini baru mencapai 14 persen, masih jauh di bawah target 2024 yang sebesar 19 persen.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan pentingnya pencapaian bauran energi yang sejalan dengan target pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai swasembada energi.
“Energy mix yang disampaikan oleh Bu Dirjen (EBTKE) capainya adalah 14 persen. Tahun 2024, target kita sebenarnya 19 persen, masih ada gap, jadi kita perlu percepatan-percepatan,” kata Yuliot Tanjung dalam acara FGD Reviu Peta Jalan (Roadmap) Hidrogen dan Amonia Nasional (RHAN) serta Launching GHES 2025 di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa, 17 Desember 2024.
Menurut Yuliot, pihaknya terus mendorong transisi menuju penggunaan energi baru terbarukan. Salah satu langkahnya adalah penggunaan bahan bakar minyak campuran sawit, atau B40.
Saat ini, lanjut Yuliot, Indonesia telah menerapkan bensin campuran sawit 35 persen (B35), dengan target meningkat menjadi B40 pada 2025.
“Kita harapkan bauran energi ini bisa memanfaatkan potensi yang ada. Dari sektor EBT, potensi yang sudah bisa dimanfaatkan hanya 0,3 persen. Ke depan, kita akan berusaha secara bertahap untuk meningkatkan pemanfaatan potensi energi ini,” jelasnya.
Kementerian ESDM juga mulai merambah penggunaan energi hidrogen dan amonia sebagai alternatif ramah lingkungan. Yuliot menyatakan bahwa kolaborasi strategis dengan mitra dalam dan luar negeri sangat dibutuhkan untuk mendukung perkembangan ini.
“Kementerian ESDM bersama Indonesian Fuel Cell and Hydrogen Energy (IFHE) akan menggelar Global Hydrogen Ecosystem Summit pada tahun 2025. Acara ini akan menjadi pertemuan utama bagi para pemimpin industri, pengambil kebijakan, dan inovator untuk merancang masa depan hidrogen,” ujarnya.
Mengenai gap dalam pencapaian bauran energi, Yuliot mengakui bahwa keterlambatan ini sebagian besar dipengaruhi oleh pandemi COVID-19. Ia menyebutkan bahwa pada 2024, pihaknya akan melakukan tinjauan kembali terhadap bauran energi dan mengevaluasi strategi untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
“Pada tahun 2024 ini kita akan me-review kembali, untuk melihat bagaimana kita bisa mencapai target ke depan. Kami juga akan menyesuaikan dengan kondisi yang ada untuk memastikan pemanfaatan potensi energi baru terbarukan sesuai target,” ujar Yuliot.
Ia juga membuka kemungkinan penyesuaian terhadap target bauran energi yang telah ditetapkan sebelumnya. Yuliot berharap, melalui tinjauan ini, akan ditemukan strategi terbaik untuk mempercepat pencapaian target.
“Kita akan review, tentunya capaian tahun ini seberapa maksimalnya. Jika bisa mencapai 16 persen, maka tahun depan kita mulai dari angka tersebut. Sampai dengan 2029-2030, kita perkirakan capaian maksimalnya. Semua ini akan didetailkan untuk mempercepat tercapainya bauran energi,” pungkasnya.
Swasembada Energi dan Pola Konsumsi Masyarakat
Sementara itu, lembaga riset energi internasional Rystad Energy mengungkapkan bahwa untuk mencapai swasembada energi Indonesia perlu mengubah pola konsumsi energi masyarakat di tengah produksi minyak dan gas yang terus menurun.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga pertengahan Desember 2024, produksi minyak dalam negeri tercatat sebesar 602.278 barrel per hari, masih jauh dari target 635.000 barrel per hari untuk tahun ini.
Country Head Indonesia Rystad Energy, Sofwan Hadi, menjelaskan bahwa pencapaian swasembada energi tidak hanya bergantung pada peningkatan produksi migas, tetapi juga pada perubahan pola konsumsi energi di Indonesia.
“Selama ini, saat berbicara tentang swasembada energi, kita hanya fokus pada bagaimana meningkatkan produksi migas. Padahal, pola konsumsi energi juga sangat penting dalam mencapai swasembada energi,” kata Sofwan dalam diskusi bertajuk ‘Melanjutkan Upaya Mewujudkan Ketahanan Energi untuk Capai Cita-Cita Indonesia Emas’, di Jakarta, Selasa, 17 Desember 2024.
Menurutnya, jika Indonesia terus-menerus menuntut peningkatan produksi tanpa mengurangi konsumsi, negara ini akan selalu menghadapi masalah ketergantungan energi.
“Jika kita terus menarik lebih banyak energi sementara yang kita gunakan sedikit, kita akan selalu kekurangan. Pada akhirnya, solusinya adalah impor energi,” ujarnya.
Sofwan menekankan bahwa untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia perlu mengubah cara berpikir tentang kebutuhan energi.
“Begitu produksi meningkat, kebutuhan kita juga akan meningkat. Akhirnya, kita akan terus mengimpor energi karena konsumsi yang terus bertambah,” jelasnya.
Selain itu, Sofwan juga menyoroti pentingnya penguatan infrastruktur untuk mendukung produksi migas, serta kebijakan yang dapat menarik investor untuk melakukan eksplorasi sumur-sumur migas besar yang ada di Indonesia.
“Resources-nya ada, potensi besar, tapi untuk mengembangkan itu, kita terkendala dengan dana,” katanya.
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa selama periode Januari hingga September 2024, impor migas Indonesia tercatat mencapai USD26,74 miliar. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan periode yang sama tahun 2023, yang tercatat sebesar USD25,76 miliar.