KABARBURSA.COM - Hubungan ekonomi antara Indonesia dan China kian menguat seiring konsolidasi strategi dagang China di kawasan Asia Tenggara.
Di tengah tekanan tarif dari Amerika Serikat (AS), China tak hanya memperluas jangkauan pasarnya ke berbagai wilayah, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu mitra dagang utama di kawasan ASEAN.
Rizal Taufikurahman, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, menilai bahwa China telah mempersiapkan langkah-langkah jangka panjang dalam menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.
“Selama ini sebelum dilakukan persiprokal tarif oleh Amerika, China sudah membangun market sendiri,” ujar Rizal dalam Dialog Analis program Kabar Bursa Hari Ini di kanal YouTube KabarBursaCom, seraya menegaskan bahwa ASEAN, termasuk Indonesia, merupakan bagian penting dari strategi diversifikasi tersebut.
Menurut Rizal, stabilitas hubungan ekonomi antara Indonesia dan China merupakan refleksi dari pendekatan China yang tidak hanya berorientasi jangka pendek, melainkan membentuk kemitraan yang strategis.
“Apalagi sekutunya seperti Thailand, kemudian Kamboja, Vietnam, relatif sangat kuat dan membentuk market di kawasan. Dan apalagi ditambah dengan Indonesia, kemudian juga negara-negara ASEAN lain,” kata Rizal.
Posisi Indonesia di mata China bukan hanya sebagai pasar ekspor, tetapi juga sebagai mitra produksi dan investasi. Sejumlah proyek infrastruktur dan energi dalam kerangka kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) menunjukkan komitmen China dalam menjadikan Indonesia sebagai simpul penting dalam jalur perdagangan globalnya.
Rizal menambahkan bahwa peran ini semakin relevan di tengah absennya AS dari perjanjian dagang multilateral seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
“Menunjukkan bahwa China memang betul-betul memanfaatkan kekosongan kepemimpinan Amerika ini di dalam integrasi ekonomi ASEAN,” ungkap Rizal.
Data perdagangan menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke China terus mengalami peningkatan. Walau tidak disebutkan angka spesifik dalam pernyataannya, Rizal menegaskan bahwa tren tersebut selaras dengan pertumbuhan ekspor ASEAN ke China yang mencapai sekitar 11 persen pada tahun 2024.
Fenomena ini menegaskan bahwa Indonesia telah mengambil peran aktif dalam dinamika dagang baru yang terbentuk akibat ketegangan geopolitik global.
China, di sisi lain, juga memanfaatkan relasi baik ini untuk memperkuat posisi tawarnya dalam rantai pasok kawasan. Dengan dukungan dari negara-negara besar ASEAN seperti Indonesia, China dinilai mampu menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah tekanan eksternal dari Amerika.
Tidak hanya dalam konteks perdagangan barang, hubungan China dan Indonesia juga berkembang di sektor investasi, manufaktur, hingga energi terbarukan. Hal ini membuka peluang baru bagi Indonesia untuk memanfaatkan hubungan bilateral ini sebagai jembatan menuju pasar internasional, sekaligus meningkatkan daya saing industri nasional.
Dalam pandangan Rizal, langkah-langkah strategis yang dilakukan China di Indonesia dan negara ASEAN lain adalah bagian dari desain besar untuk mengurangi eksposur terhadap risiko geopolitik. “China itu punya strategi diversifikasi market,” ujarnya.
Menurutnya, strategi ini terbukti efektif ketika tekanan tarif dari Amerika meningkat, tetapi perekonomian China tetap tumbuh berkat sokongan pasar di Asia dan Eropa.
Secara keseluruhan, hubungan ekonomi antara China dan Indonesia tidak hanya memberikan manfaat bilateral, tetapi juga mencerminkan pergeseran struktur ekonomi regional.
Ketika AS lebih fokus pada kebijakan domestik dan proteksionis, China justru memperluas pengaruhnya dengan mengedepankan kerja sama pragmatis.
Ke depan, relasi dagang Indonesia–China akan tetap menjadi salah satu faktor kunci dalam menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, strategi jangka panjang yang diterapkan China memberi ruang bagi Indonesia untuk terus terlibat aktif dalam arsitektur ekonomi Asia yang tengah berubah cepat. (*)